***
“Di sebelah mana sih ramennya?” Tanyaku yang mencari-cari tempat ramen yang Airin maksud.
“Ujung sana. Ini kenapa tumben banget ya ada Pasar Malam? Jadi ramai banget.”
“Gue juga gak ngerti kenapa malam ini bisa ramai gini. Yuk.” Aku menggenggam tangan Airin di tengah-tengah ramainya pengunjung Pasar Malam dadakan ini.
Suasana di sini benar-benar ramai hingga membuat udara menjadi agak sedikit panas, banyak pasangan muda-mudi yang datang, banyak juga keluarga yang membawa anak-anaknya untuk bermain beberapa wahana yang di sediakan di Pasar Malam ini.
Tawa canda anak-anak kecil saling bersahut-sahutan ikut meramaikan tempat ini, mereka telihat sangat gembira sambil berlari memegang permen kapas dan balon berbentuk karakter di tangan masing-masing. Ada juga yang menangis karena takut saat menaiki wahana Ombak Banyu. Rasanya, seperti lama sekali aku tidak pernah mendatangi Pasar Malam lagi, dulu ketika aku masih kecil, aku pernah menginap di rumah Tante ku di daerah Kayu Manis, Jakarta Timur. Saat malam, mereka mengajakku dan Bella untuk pergi ke Pasar Malam yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka, saat itu adalah pertama kalinya aku ke Pasar Malam dan mencoba menaiki Ombak Banyu, aku dan Bella pun menangis waktu menaikinya, tetapi saat selesai, aku malah ingin menaikinya lagi.
“Aduuuh.” Ucap salah seorang perempuan yang tidak sengaja bertabrakan denganku yang tengah asyik memperhatikan sekitar sambil melamun.
“Eh, maaf Mbak. Ma...af.” Aku terdiam, tidak menyangka jika perempuan yang aku tabrak adalah pacar barunya Aldy.
Perempuan itu juga sempat terdiam menatapku beberapa saat.
“Iya gak apa-apa, maaf juga, ya?” Jawabnya tersenyum lalu pergi dengan tegesa-gesa sambil membawa beberapa kantong pelastik yang berisi makanan jajanan Pasar Malam. Ia terlihat seperti sedang ada yang menunggunya di depan sana, aku mencoba menelusuri pandanganku ke tempat ia pergi, aku merasa jika yang sedang menunggunya di ujung sana adalah Aldy, tapi aku tidak berhasil melihatnya karena jaraknya yang cukup jauh dan terhalang oleh kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang.
“Lo gak kenapa-kenapa, Nyn?” Tanya Airin.
“Rin, barusan tadi yang gue tabrak itu pacar barunya Aldy.”
“Hah? Sumpah? Kok bisa ketemu di sini?”
“Gue juga gak tahu, tapi gue yakin dia kesini sama Aldy.” Ucapku sambil kembali mencoba menelusuri pandanganku ke arah perempuan itu pergi.
“Pantes aja tadi dia agak kaget waktu lihat lo.” Jawab Airin yang ternyata memperhatikan raut wajah perempuan itu.
“Yaudah yuk, nanti keburu malam.”
Kami melanjutkan langkah dan akhirnya berhasil keluar dari kerumunan orang-orang di Pasar Malam, dan tiba lah di depan ruko kecil penjual Ramen seperti yang Airin katakan tadi di kantor. Kami pun langsung masuk dan memesan makanan karena sudah lapar sejak tadi. Malam itu, aku dan Airin saling bercerita masing-masing, Airin tidak membahas soal Aldy sama sekali, ia benar-benar ingin membuat aku tersenyum dan mengembalikan mood ku yang berantakan. Lagi-lagi, aku merasa begitu beruntung memilikinya sebagai sahabatku.
***
*Drrrttt* Handphone ku berdering, aku meraba meja kecil di samping tempat tidur ku untuk meraihnya.
“Halo, Nyn.” Ucap seorang laki-laki dari ujung telepon.
“Ya, ada apa, Ndri?” Aku bangun dari tempat tidur dan merubah ke posisi duduk.
“Aku tadi pagi jemput loh kerumah, tapi kamu udah berangkat naik motor.”
“Oh, iya kah? Ya ampun, maaf banget ya, iya aku tadi berangkat bawa motor, Ndri. Aku kira kamu gak jemput.” Aku berbohong padanya hanya karena tidak mau menyakiti perasaannya jika tahu kalau saat itu aku sangat sedang ingin sendiri.
“Gak kok, gak apa-apa. Aku malah gak enak karena kamu jadi harus bawa motor sendiri. Maaf ya.” Ucapnya.
“Eh, gapapa kok, Ndri. Lagian udah lama juga aku gak bawa motor sendiri, hehe.”
“Nyn? Besok kamu ada waktu? Mau makan malam di luar” Tanyanya.
“Hmm, boleh, aku free kok besok.”
“Yaudah, sampai ketemu besok malam ya, Good Night.”
Aldy saja sudah bahagia, harusnya aku juga bahagia. Dan aku akan memulai bahagiaku bersama Andri, meskipun aku tidak tahu akan bagaimana status hubungan kami ke depannya, setidaknya sekarang, Andri ada di sini. Menghabiskan hari-hariku bersamanya akan membuatku perlahan melupakan Aldy, bukan?
***
Aku mengenakan dress berwarna merah dan flatshoes berwarna hitam serta rambut tergerai dengan satu penjepit rambut di sisi kanan. Ini adalah salah satu outfit kesukaan Aldy, Aldy bilang aku selalu cantik mengenakan outfit apapun, namun di outfit yang satu ini cantikku terlihat berkali-kali lipat.
“Kak, ada yang datang.” Teriak Airin dari bawah bersamaan dengan bunyinya notifikasi chat dari Andri yang mengabarkan jika ia telah sampai.
Aku menyelesaikan make up ku dan langsung turun ke bawah untuk menghampirinya.
“Siapa, Nyn?” Tanya Mama yang berjalan dari arah dapur menghampiriku.
“Andri, teman satu sekolahku dulu.” Aku langsung mengenalkan Andri ke Mama saat ia turun dari mobil dan Mama menghampiri kami yang sedang berdiri di teras depan rumah.
“Teman sekolahnya Arnyn?” Tanya Mama.
“Iya, Tante, kebetulan saya mau ajak Arnyn makan di luar, boleh?” Tanyanya setelah mencium tangan Mama.
“Oh, iya boleh silakan. Pulangnya jangan malam-malam ya.”
Kami berangkat menuju tempat makan langgananku dengan Aldy, karena Andri masih belum cukup banyak tahu tempat-tempat makan yang enak disini, jadi akhirnya aku yang menentukan tempatnya.
“Kamu suka banget sama udang ya, Nyn?” Tanyanya saat melihatku yang lagi-lagi memesan udang saat kami pergi makan bersama.
“Hehe, iya nih.”
Sebenarnya aku tidak terlalu suka udang, udang saus Padang seperti ini adalah makanan kesukaannya Aldy, tapi akhir-akhir ini, dimana aku sering merindukannya, aku selalu memesan makanan kesukaannya.
Aku dan Andri hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk makan, Andri kemudian mengajakku berjalan menuju taman yang jaraknya tidak jauh dari sini.
Kami berjalan di tengah ramainya kendaraan yang berlalu-lalang, banyak sekali pedagang kaki lima yang berjajar menawarkan dagangannya kepada orang-orang yang melintas.
Tak lama pun kami sampai di taman, tidak terlalu sepi, tidak juga terlalu ramai, tapi cukup nyaman untuk jalan berdua seperti ini, udara yang sedikit sejuk dan pemandangan lampu-lampu taman yang menyala dengan warna yang bermacam-macam di setiap sudut memberikan kesan yang menenangkan.
Perlahan Andri menggenggam tanganku, aku membalas genggamannya dengan sedikit lebih erat, tidak ada yang kami katakan, hanya saling berpandang dan tersenyum ke satu sama lain. Lalu kami memutuskan untuk duduk di kursi taman yang posisinga menghadap ke arah jalan.
“Udah lama banget ya, kita gak jalan berdua kayak gini.” Ucapnya.
Aku mengangguk sambil tersenyum, ku sandarkan kepalaku di bahunya dan kemudian ia mengusap kepalaku dengan lembut, aku masih ingat betul rasanya, tidak berubah sama sekali, tetap hangat dan nyaman seperti saat pertama ia mengusap kepalaku di waktu semasa sekolah dulu.
“Kamu tahu gak? Kenapa malam ini gak ada bintang?” Ia menatap ke atas langit.
“Enggak.” Aku menatap ke arah yang sama sambil menggeleng.
“Bintangnya malu, kalah bersinar sama kamu.”
Aku angkat kepalaku yang tersandar di bahunya lalu memukulnya pelan sambil tertawa tersipu malu.
“Aduh, kok dipukul sih?”
“Gombalnya nyebelin, aku malu tahu.”
Dia tertawa sambil mencubit kedua pipiku lalu merebahkan kepalaku ke bahunya lagi.
“Nyn?”
“Hmm?”
“Apa malam ini kamu bahagia?”
“Iya, kalau kamu?”
“Selalu, terlebih saat sama kamu.”
Aku melihat ke arahnya sambil tersenyum, ia masih asyik menatap langit, tapi aku yakin, ia tahu jika aku tersenyum saat mendengar ucapannya.
“Ndri?” Aku kembali mengangkat kepalaku dari bahunya lalu memandangnya.
“Ada apa?”
“Aku minta maaf soal dulu.”
“Soal apa?”
“Ngejauh dari kamu waktu aku tahu kamu suka sama adik kelas itu.”
Ia mengusap kepalaku sambil tersenyum.
“It’s okay. Itu masa lalu, Nyn. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena dulu pernah ngejauh juga, apalagi waktu aku tahu kamu pacaran sama David.”
“Haha, ternyata kamu juga masih ingat, ya?”
“Jangan salah, ingatanku tuh kuat tahu.” Ia tertawa hingga memperlihatkan gigi kelincinya yang membuatnya terlihat begitu manis, banyak sekali perempuan dari kelasku, kelasnya, dan bahkan anak perempuan kelas lain yang sangat menyukainya ketika ia sedang tertawa, termasuk aku. Susunan gigi yang kecil-kecil dan rapi sangat pas dengan bentuk bibirnya yang tipis dan mungil.
“Oh iya, Nyn, mobil di rumah kamu ada dua. Punya Papa dua-duanya atau salah satunya ada yang punya kamu?”
“Yang putih mobil aku.”
“Kok aku jarang lihat kamu pakai mobil?”
“Sebenarnya aku belum begitu lancar, itu sebabnya kenapa aku lebih pilih naik motor, haha.”
“Yuk, aku ajarin.” Ia bangun dari tempat duduknya dan menarik tanganku menuju tempat mobilnya yang ia tinggalkan di parkiran dan pulang menuju arah rumahku.
“Kok pulang?”
“Belajarnya di komplek rumah kamu aja, sepi, di sini banyak kendaraan yang lalu-lalang.”
Beberapa menit kemudian kami tiba di daerah rumahku, ia turun dan membukakan pintuku lalu membawaku pindah posisi di sisi kanan dimana tempat setir berada.
“Gak takut mobil kamu kenapa-kenapa? Aku belum begitu lancar, loh.”
“Tenang aja, injak gasnya pelan-pelan ya.”
Selama hampir satu jam ia mengajariku menyetir keliling komplek, Andri sangat berbeda dengan Aldy. Di saat Aldy membentukku sebagai pribadi yang harus selalu bergantung padanya dan tidak pernah mengizinkanku untuk menyetir sendirian karena rasa khawatirnya yang begitu besar, Andri malah mengajarkanku agar pandai menyetir. Tidak, bukan karena Andri tidak khawatir denganku, ia hanya ingin aku lancar mengendarai mobil saja. Setelah sekian lama, aku kembali merasakan seperti ini lagi, belajar berani untuk menyetir tapi tanpa mendengar Aldy mengoceh dengan nada khawatirnya. Banyak yang berkata bahwa Aldy adalah pacar yang sangat posesif, ia tidak pernah mengizinkan aku untuk bebas dan bahagia dengan caraku sendiri, tanpa mereka tahu, aku telah cukup bahagia dengan cara Aldy memperlakukanku. Ada luka yang pernah ia rasakan sehingga ia terbentuk menjadi pribadi yang seperti sekarang ini.
Dulu, sekitar 5 tahun yang lalu, Aldy begitu dekat dengan adik Mamanya, Om Farhan. Dekat sekali, bahkan ia lebih dekat dengan Omnya di banding dengan Papanya sendiri, jika Aldy punya masalah di rumah maupun di luar rumah, ia akan berlari menuju rumah Om Farhan untuk bercerita. Om Farhan pula yang telah mengajari Aldy bagaimana caranya menyetir mobil di saat dulu Papanya tidak bisa mengajarinya karena begitu sibuk dengan urusan kerjaan.
Beberapa bulan setelah itu, Om Farhan mengalami gangguan dalam penglihatannya, kadang fokus, namun kadang pandangannya kabur. Aldy sering memaksanya untuk mengunjungi Rumah Sakit agar tahu apa yang salah dengan penglihatannya, namun Om Farhan selalu menolaknya, ia adalah orang yang takut sekali dengan Dokter dan segala apapun yang berhubungan dengan Rumah Sakit, tak terkecuali jarum suntik. Akhirnya, Aldy selalu mengantar Om Farhan kemanapun, termasuk ke tempat kerjanya, karena menurut Aldy, terlalu berisiko jika Om Farhan mengendarai mobil seorang diri dengan keadaan yang seperti itu.
Hingga pada suatu ketika, Aldy jatuh sakit, ia di rawat di Rumah Sakit selama hampir satu minggu, Om Farhan memutuskan untuk berangkat kerja mengendarai mobil sendiri, di hari ketiga Om Farhan nekat mengendarai mobil dengan keadaan matanya yang seperti itu, apa yang di khawatirkan Aldy selama ini pun terjadi, om Farhan mengalami kecelakaan, mobil yang ia kendarai menabrak mobil lain dari arah berlawanan, nyawanya tidak tertolong saat hendak di bawa ke Rumah Sakit, sejak saat itu Aldy masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri, itu sebabnya kenapa ia tidak pernah mengizinkanku untuk mengendarai motor atau mobil sendirian, apalagi Aldy tahu jika mataku telah mengalami rabun jauh sejak aku bekerja karena terlalu sering menatap layar komputer.
Ia hanya belum bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya, dan ia juga hanya takut jika harus kehilangan orang yang sangat ia sayangi untuk kedua kalinya. Aku mengerti akan ketakutannya, itu sebabnya kenapa aku tidak keberatan jika ia amat sangat melarangku untuk berkendara sendirian. Fyuh, lagi-lagi aku tetap memikirkan Aldy meskipun aku sedang bersama Andri.
“Makasih ya, buat hari ini.” Ucapku ketika kami sampai di depan rumahku.
“Makasih juga ya buat hari ini. Salam buat Mama, ya?” Ia menutup kaca mobilnya, membunyikan klakson lalu melaju perlahan.
Moodku jauh lebih baik di banding kemarin, entah kenapa, aku berharap akan terus bisa seperti ini dengan Andri.
“Kamu putus sama Aldy?” Tanya Mama yang sedang duduk di depan tv kemudian melihatku baru masuk ke dalam rumah.
“Iya, Ma. Bahkan lebih buruk.”
“Maksudnya?”
Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya.
“Gak ada yang ngucap kata putus di antara aku sama Aldy. Aku cuma bilang break waktu itu, tapi gak lama, Aldy punya pacar baru.”
“Lalu, Andri sekarang pacar baru kamu?”
“Bukan, masih teman.”
Aku beranjak dari sofa menuju tangga untuk ke kamar.
“Nyn, cinta selalu tahu kemana ia harus pulang, kan?”
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
“Mama selalu mendukung apapun keputusan kamu, Mama gak pernah ngatur kamu harus bergaul sama siapa, berpacaran sama siapa, yang penting kamu bahagia. Hati kamu lah yang paling tahu apa yang dia mau, jangan pernah membohongi diri kamu sendiri ya, Nyn. Dan jangan pernah gunakan orang lain untuk pelampiasan kamu saat kamu belum bisa melupakan masa lalu kamu.”
Aku hanya sedikit tersenyum sambil mengangguk dan melanjutkan langkah menuju kamar.
Mama benar, yang harus aku yakini sekarang adalah, apakah aku benar-benar bahagia bersama Andri di saat aku masih dapat mengingat Aldy? Aku tidak boleh menyakiti Andri, tapi, aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan, yang aku tahu, aku hanya harus mencari kebahagiaanku yang telah hilang, itu saja.