Beberapa kali aku pasrah menerima serangan yang bertubi-tubi menyiksa tubuhku. Meskipun tidak menimbulkan luka yang serius, tapi efeknya membuat tenagaku melemah. Sanna tersenyum sinis saat aku tidak bergerak lagi.
"Kamu sangat lemah, ya, manusia biasa. Baru saja diserang dengan sihir air tingkat rendah itu, kamu sudah terkapar seperti ini. Kheh, kamu tidak akan bisa melawanku jika tidak memiliki Manna." Sanna tertawa psikopat. "Benar, kan, teman-teman?"
"Benar," sahut Kokio dan Azlea kecuali Aiyin yang terdiam.
"Oh ya, tidak seru rasanya jika aku tidak menyiksamu dengan senjata andalanku."
Sanna mengambil senjatanya dari portal sihir. Aku yang tidak bisa fokus lagi dengan keadaan sekitar, merasa punggungku ditusuk sesuatu. Rasanya panas sekali.
"Hentikan! Sanna, kamu gila! Jangan tusuk dia dengan pisau itu!"
Indera pendengaranku yang masih fokus, masih bisa menangkap pembicaraan mereka. Suara yang berusaha menghentikan aksi gila Sanna adalah Aiyin.
"Aiyin! Apa yang kamu lakukan?"
"Aku terpaksa menghentikanmu, Sanna!"
"Aaah!"
Suara teriakan Sanna bersatu dengan bunyi benda yang menabrak tembok. Kulihat, Aiyin menghampiriku. "Ekadanta, bertahanlah."
"Kamu." Mataku perlahan-lahan terpejam. Selimut kegelapan menutupi tubuhku.
***
Aku terbangun tiba-tiba saat teringat Kiku.
"Kiku!"
Spontan, aku membelalakkan mata lalu menyadari sesuatu.
"Ini ... kamarku."
Suasana dingin dengan cahaya terang, menyambutku. Keheningan yang menguasai tempat ini, membuatku terpaku.
Aku ingat tentang kejadian yang menimpaku. Sanna yang menyerangku hingga aku tak sadarkan diri. Lalu Aiyin yang menolongku. Apa itu berarti Aiyin yang membawaku ke sini dan mengobatiku?
Aku tidak merasakan sakit lagi. Tubuhku terasa segar dan enteng. Kulirik jam weker digital yang tergeletak di meja di samping ranjangku. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Apa? Sudah pagi? Wuaaah! Aku terlambat!"
Aku buru-buru turun dari ranjang, bergegas pergi ke kamar mandi yang kebetulan ada di kamar itu. Tak lama kemudian, aku sudah berpakaian seragam sekolah dan langsung berlari keluar dari kamar.
Di lorong yang dipenuhi banyak siswa berbagai ras, aku melewati mereka dengan napas yang memburu. Kecepatan lariku terlampau melebihi pelari tercepat di dunia, hingga tanpa sadar aku sudah tiba di gedung sekolah.
Saat memasuki ruang lobi sekolah tersebut, aku mengerem lari karena menyadari suasana yang sepi.
"Hei, Zian!" Di sana, ada seorang gadis yang memanggilku. Ia baru datang dari arah lorong lain -- lorong menuju ke ruang kelas dan ruang-ruang lainnya.
"Kiku." Aku tertawa senang seraya berlari kecil untuk menghampirinya. Kiku menghentikan langkahnya dan bersedekap d**a.
"Hari ini, hari libur. Kita tidak bersekolah."
"Eh? Aku melupakan itu."
Aku ternganga. Kiku menggeleng pelan.
"Itu tidak masalah."
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Kiku?"
"Aku baik-baik saja. Manna-ku sudah terisi penuh."
"Oh, syukurlah."
"Lalu, sesuai kesepakatan kemarin, aku akan melatihmu secara militer hari ini."
"Eh? Latihannya sekarang?"
"Iya."
"Baiklah."
Aku mengangguk seraya tersenyum. Kiku menggandeng tanganku. Kami beranjak pergi ke tempat latihan. Di gedung latihan yang terpisah dari gedung sekolah, Kiku melatihku secara militer. Berbagai latihan fisik ala Tentara, kupraktekkan di bawah arahan Kiku.
Dua jam kemudian, aku ambruk di lantai yang dingin. Kiku berdiri di dekatku seraya bersidekap d**a.
"Latihan seperti ini, gunanya untuk apa?" tanyaku dengan napas yang terengah-engah.
"Supaya badanmu selalu prima dan kuat. Jadi, kamu bisa menghadapi musuh terkuat nantinya," jawab Kiku yang tersenyum, "pokoknya kamu latihan seperti ini setiap hari. Jangan mengeluh. Oke?"
"Oke."
Dengan lesu, aku mengacungkan jempol. Kemudian aku memejamkan mata karena kelelahan.
***
Setiap hari, Kiku melatihku secara militer. Ia juga mengajariku untuk menggunakan berbagai senjata. Sampai aku menemukan senjata yang cocok untukku. Kini aku sudah terlatih dengan baik. Menjadikan fisikku prima dan kuat seperti yang diharapkan Kiku. Selama itu juga, aku sudah menghafal banyak mantra sihir meskipun belum bisa mempraktekkannya secara langsung.
Tetap dicap sebagai manusia biasa yang lemah, aku selalu diremehkan dan dihina oleh orang-orang sekitarku. Namun, selama ada Kiku di sampingku, orang-orang tidak akan berani menyakitiku karena Kiku akan membalas mereka dengan hukuman yang berat.
Di sinilah aku sekarang, di perpustakaan. Aku sedang mencari tahu agar bisa memiliki sihir secepatnya.
Komputer-komputer hologram berbaris-baris rapi di ruangan yang berbentuk persegi panjang. Nuansa perak mendominasi tempat ini dengan lantai bening yang mengkilap. Suhunya cukup dingin karena ada mesin pendingin.
Jarak antara lantai dan langit-langit, kuperkirakan sekitar tujuh meter. Di tengah langit-langit, ada lampu kristal sebesar bola basket, menyala terang bak Matahari.
Beberapa orang terlihat mengisi kursi-kursi. Mereka sedang mencari sesuatu melalui komputer hologram. Tentunya mereka tidak bisa menggunakan internet karena komputer-komputer hologram tersebut diprogramkan hanya untuk menyimpan banyak e-book. Karena itu, hatiku bergerak untuk mencari buku yang membahas tentang mendapatkan kekuatan sihir. Siapa tahu buku tersebut ada di sini.
Kiku tidak ikut bersamaku. Ia dipanggil Ibu Rosean untuk melakukan sesuatu. Sebelum pergi, Kiku mengingatkanku untuk segera kembali ke asrama karena jam pelajaran sudah selesai sejak pukul satu siang.
Tapi, aku tidak mengatakan kalau aku pergi ke perpustakaan. Aku tidak ingin membuat Kiku khawatir dan aku tidak mau dilindungi olehnya lagi. Seharusnya aku yang melindunginya karena aku seorang laki-laki. Atas dasar itu, membuat aku berusaha keras agar mendapatkan kekuatan sihir itu. Apapun caranya, aku akan melakukannya.
Sudah sejam aku di sini, namun buku yang kucari tidak ditemukan.
"Ah, tidak ada juga." Aku kecewa seraya menunduk. "Sia-sia saja, aku mencarinya."
Di tengah keputusasaan yang menimpaku, tiba-tiba muncul suara seorang gadis yang hinggap di gendang telingaku. "Hei, kamu sedang mencari apa, ya?"
Aku mengangkat kepala untuk melihat sosok yang kini berdiri di samping kursi yang kududuki. "Kamu...."
"Aku Daisy. Kita teman sekelas."
"Ya. Kamu yang selalu duduk di dekatku."
"Benar. Karena Kiku selalu bersamamu, jadinya aku tidak bisa mendekatimu."
Daisy Bellbloue, itulah nama lengkap gadis Rubah berambut biru itu. Ia dikenal sebagai gadis pendiam dan selalu memakai kacamata saat belajar. Kini kusaksikan sendiri, Daisy bersikap hangat padaku.
Aku tersenyum saat ia duduk di kursi kosong yang ada di samping kursi yang kududuki. Daisy dengan senyum manis yang menghanyutkan, ia meletakkan dua tangan di atas pahanya.
"Kalau boleh tahu, apa yang sedang kamu cari, Alzian?" tanyanya dengan nada yang lembut. Saat ini, ia tidak memakai kacamata sehingga aku bisa melihat iris birunya yang indah.
"Aku sedang mencari buku yang membahas tentang bagaimana manusia biasa sepertiku bisa memiliki kekuatan sihir," jawabku seraya menatap layar hologram berbentuk persegi yang mengudara di atas meja bening bak kaca.
"Oh. Dulu, buku itu ada di sini. Judulnya Asal Usul Negeri Sembilan Planet, yang menceritakan bagaimana caranya manusia biasa bisa mendapatkan kekuatan sihir. Tapi, entah mengapa buku itu tidak ada lagi di perpustakaan ini. Bahkan kamu tidak akan bisa menemukannya lagi di mana-mana."
"Begitu, ya. Aaah, aku menyerah."
Badanku terasa lemah karena tidak mendapatkan petunjuk agar mendapatkan kekuatan sihir itu. Percuma saja jika mengandalkan kekuatan fisik dan senjata canggih, tapi hal tersebut belum bisa melawan Yupiter Alliance.