Kamulah teman terbaikku

1064 Kata
"Ya. Sekarang secepatnya kalian pergi dari sini, daripada orang-orang di sini, menangkap kalian berdua demi sayembara itu. Ingat, jangan percaya dengan siapapun yang tidak kalian kenal." Ibu Rosean memperingati kami. Kami mengangguk lantas memutuskan untuk mengikuti perintah Ibu Rosean. *** Untuk sementara waktu, aku dan Kiku tinggal di asrama sekolah. Ibu Rosean yang menunjuk kamar kosong yang bisa kami tempati. Tentunya, aku dan Kiku berpisah karena berbeda asrama. Berbekal kartu yang menyerupai ATM, bernama Student ID-Card, aku bisa mendapatkan kamar asrama yang pas untuk kutinggali. Kamar yang bernomor tiga puluh tiga, ditinggali oleh satu siswa yang sekelas denganku -- satu kamar diisi dua orang saja dengan fasilitas yang memadai. Gedung asrama laki-laki dan perempuan terpisah, dibatasi dengan dinding besi setinggi sepuluh meter. Ada peraturan ketat yang berlaku di sana, aku sudah mengetahuinya saat Ibu Rosean menjelaskannya padaku. Penghuni asrama ini, sebagian besar adalah murid-murid yang berasal dari kota lain. Karena aku menemukan ras-ras yang berbeda, juga bersekolah di sini. Sekolah pilot robot tempur yang terbaik, ada di setiap kota, tapi karena keadaan yang darurat, banyak dari para warga berbagai ras lari ke kota Venus karena ketahuan menentang Yupiter Alliance. Mereka yang mengungsi, bersembunyi di sekolah ini, dan mengisi setiap kamar asrama bagi para pelajar. Aku sudah menemukan kamar yang kucari. Lantas kutempelkan Student ID-Card pada kotak hologram hijau yang terpasang di pintu kamar. Suara 'pip' terdengar saat proses scan, hingga muncul suara wanita seperti mesin. "ID anda sudah kami terima. Alzian Ekadanta, anda resmi menjadi pemilik kamar tiga puluh tiga ini." Setelah itu, pintu terbuka otomatis. Aku masuk, langsung terkesiap saat menemukan seorang laki-laki yang duduk di pinggir ranjang. "Ah, kamu!" Tunjukku padanya. "Kamu ... Alzian Ekadanta itu 'kan?" tanya laki-laki berambut pirang dengan telinga dan ekor menyerupai Rubah. "Iya. Aku partner-nya Kiku." "Aku sudah tahu itu." Laki-laki berambut pirang itu bersedekap d**a seraya menyilangkan kaki. Dari sikapnya itu, aku bisa menebak ia adalah tipe orang yang sombong. "Jadi, kamulah yang menjadi teman sekamarku?" "Ya. Atas perintah Ibu Rosean." "Kalau begitu, mari kita berkenalan dulu." Ia bangkit berdiri dari tempat tidur. Tangannya terulur padaku. Aku menyambut uluran tangannya dengan senyuman. "Aku, Tolya West, ketua kelompok Andromeda. Panggil aku Tolya." "Tolya. Iya, aku Zian." "Salam kenal." "Salam kenal juga." Kami bersalaman. Aku tidak tahu mengapa aku bisa berbicara lancar dengan ras manusia Rubah seperti Kiku dan lainnya. Di gendang telingaku, mereka berbahasa yang sama seperti di dunia asalku. Tolya tersenyum, namun tiba-tiba satu tangannya yang bebas langsung meninju perutku. Akibatnya, aku memuntahkan darah dari mulut karena efek perutku yang ditinju kuat. Aku ambruk dan berlutut. Memegang perutku yang terasa sangat sakit. "Ukh, kenapa kamu memukulku, Tolya?" Aku mendongak. Memandang tajam Tolya yang kini berwajah mengerikan. Tidak sampai di situ, Tolya mendaratkan tendangan ke punggungku hingga wajahku mencium lantai yang terasa dingin. Aku merasa tubuhku lumpuh. Aku tidak bisa bergerak untuk membalas kelakuan Tolya padaku. "Ternyata ... kamu benar-benar lemah, manusia biasa," ucap Tolya yang berlutut di depan mataku, "kamu tidak pantas menjadi partner Kiku. Kiku itu tidak tulus berteman denganmu. Jadi, jangan berharap Kiku mengajarimu untuk mempelajari apapun di sini karena kamu tidak memiliki sihir." Gigi-gigiku menggeretak kuat karena mendengar perkataannya. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. "Kiku tulus berteman denganku! Kamu salah menilainya! Justru kamu dan teman-temanmu sudah mengkhianatinya!" Tolya terdiam. Aku menatapnya dengan tajam. Lantas Tolya berwajah suram. "Aku tahu kalau aku dan teman-temanku bersalah karena meninggalkannya bersama kakaknya saat diserang Yupiter Alliance. Kami melakukan itu demi menyelamatkan diri, yang ternyata memutuskan dia untuk keluar dari kelompok Andromeda ini," ungkap Tolya dengan nada sedih, "andai waktu itu, aku tidak mendengar kata-kata Sanna, pasti Kiku tidak sebenci ini pada kami." Aku yang mendengarnya, merasa muak. "Penyesalan selalu datang di paling akhir. Kalian telah mengorbankan nyawa satu teman demi kepentingan diri sendiri. Kalian memang pantas disebut ... pembunuh!" Saat itu juga, pukulan keras menimpa bagian belakang kepalaku. Membuat keningku berbenturan dengan lantai. Bisa kulihat, cairan merah membasahi wajahku. Kepalaku sakit. Mataku berkunang-kunang. Samar-samar kudengar suara Tolya yang nyaris pelan di gendang telingaku. "Aku bukan pembunuh!" Kegelapan menyelimuti pandangan. Aku kehilangan kesadaran. *** Aku sadar saat ada seseorang yang mengguncang-guncang tubuhku. Aku tersentak, dan mendapati Kiku yang berada di depanku. "Kiku?" "Syukurlah. Kamu sudah sadar, Zi." Tertangkap wajah sedih Kiku, yang membuatku tertegun. Mata Kiku sayu seperti habis menangis. "Kiku, ada apa?" "Tolya menghajarmu, ya?" "Iya." "Aku sudah memberinya balasan yang setimpal." "Maksudmu? Kamu balik menghajarnya?" "Ya. Seperti dia yang melumpuhkan tubuhmu dengan sihir Paralyse." "Sihir Paralyse?" "Iya. Karena itu, kamu tidak bisa bergerak untuk membalasnya." Kiku membantuku turun dari tempat tidur. Ternyata kami tiba di tempat lain, bukan di kamar yang kutempati dengan Tolya. "Kita ada di mana?" "Di kamarmu yang baru." "Hah? Jadi, Tolya di mana?" "Tolya dihukum. Dia disekap di penjara selama sebulan ini." "Ada hukuman penjara juga di sekolah ini?" "Iya. Itu bagi murid yang jahat." Kiku mengangguk. Aku termangu. Kemudian Kiku menggenggam tanganku erat. "Sekarang kamu sudah tidak apa-apa lagi. Aku sudah menyembuhkan lukamu dengan sihir heal." "Terima kasih, karena kamu sudah menolongku lagi, Kiku." "Ya. Itu sudah menjadi tugasku sebagai partner-mu." "Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana aku dipukul oleh Tolya?" "Dari Bookpad yang kuberikan padamu. Di sana, ada sensor peringatan bahaya yang tersambung dengan Bookpad-ku. Jadi, aku bisa tahu kalau kamu mengalami kejadian yang buruk dan langsung ber-teleport langsung ke tempatmu." "Oh. Hebat sekali." "Ya. Aku akan berusaha melindungimu dari siapapun yang menyakitimu, Zi." Kiku menatap mataku lekat-lekat. Jantungku berdebar-debar tidak karuan. Kedua pipiku terasa memanas. Apa lagi Kiku menunjukkan senyum termanis yang mampu melelehkan jiwaku. Kami saling bertatapan dalam suasana yang sunyi. Aku sengaja terbatuk agar Kiku melepaskan tanganku. "Maaf, aku tidak sengaja." "Tidak apa-apa, Zi." "Sekarang sudah jam berapa?" "Jam delapan pagi." "Hei, kita terlambat!" Aku panik. Mondar-mandir untuk mencari sesuatu. Kiku memperhatikanku, langsung menunjuk diriku. Dalam sekejap mata, aku sudah berpakaian seragam sekolah dengan sihir yang digunakan Kiku. Aku berhenti, mematung sebentar. "Sudah siap. Kamu tidak perlu buru-buru mencari pakaian seragam sekolahmu, Zi." "Ya. Ini yang kucari." "Kamu itu lucu." Tawa Kiku menggema halus di kamar bernuansa futuristik itu. Aku mematung lagi, baru kali ini, bisa melihat tawa Kiku yang sangat mempesona hatiku. Menurutku, ia adalah gadis tercantik dari gadis-gadis yang pernah kutemui di dunia asalku. Bak bidadari yang turun dari kahyangan, Kiku memberikan kenyamanan selama aku tinggal di tempat asing ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN