Aku belum terbiasa beradaptasi, berusaha belajar untuk menggunakan sihir dan mengendarai robot tempur. Aku berharap secepatnya aku menguasai keduanya agar bisa membantu Kiku untuk melawan Yupiter Alliance. Aku tidak mau terus-terusan dilindungi seorang gadis. Itu terkesan membuatku lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Menanamkan tekad ingin melindungi Kiku, aku memantapkan hati agar bisa menjalani sekolah pilot robot tempur sihir ini. Tentunya bersama Kiku yang telah menjadi sahabat terbaikku.
"Hei, Zian. Kamu kenapa?"
Tubuhku digoyang-goyang lagi oleh Kiku. Aku tersadarkan dari lamunan yang panjang.
"Eh?"
"Kamu melamun, Zi."
"Aku tidak melamun."
"Lalu, apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak ada."
"Ya sudah. Kita berangkat sekarang yuk."
Kiku meraih tanganku. Aku terseret oleh arahannya. Kami ber-teleport langsung ke kelas.
Tiba di sana -- kelas II Ultimate -- kami menemukan keributan. Pasalnya, Tolya dihajar oleh Kiku, yang telah diketahui seluruh penghuni sekolah.
Semua mata tertuju pada kami yang baru saja datang. Kami terpojok di dekat pintu. Gadis Rubah berambut ungu, maju. Ia menghampiri kami.
"Kiku, apa benar kamu yang telah menghajar Tolya?" tanya gadis berambut ungu itu.
"Kalau benar, kenapa?" jawab Kiku yang balik bertanya.
"Karena kamu, Tolya dipenjara selama sebulan. Hanya demi membela manusia biasa ini, kamu tega menghajarnya!"
Suara gadis berambut ungu itu meninggi, aku terdiam. Kulirik Kiku. Gadis berambut putih itu maju selangkah, melepaskan tanganku dan menunjuk wajah gadis berambut ungu itu.
"Pengkhianat seperti kalian, memang pantas dihajar! Kalau perlu, aku akan menghajarmu sekarang, Sanna!" sanggah Kiku dengan suara yang sangat keras.
Gadis yang bernama Sanna, langsung membalas perkataan Kiku. "Kami bukan pengkhianat!"
"Kalau bukan pengkhianat, jadi lebih tepat disebut pembunuh, begitu?"
"Kiku! Kamu! Keterlaluan!"
Sanna mengacungkan tangannya ke depan. Mulutnya komat-kamit, membaca sebuah mantra dengan bahasa yang aneh. Dari belakang tubuhnya, muncul lingkaran ungu yang mengeluarkan semburan air menyerupai naga. Serangannya itu meluncur cepat menuju Kiku. Sebaliknya Kiku terdiam. Serangan Sanna terserap oleh perisai transparan yang melindungi Kiku. Membuat Sanna menggeram kesal.
"Dasar, kamu selalu menggunakan sihir perisai, Kiku!" Sanna sekali lagi menyerang Kiku dengan serangan yang sama. Tapi, serangannya tidak berhasil mengenai Kiku.
"Diam!" Kiku langsung menghantam Sanna lewat sihir anginnya yang membuat Sanna terpental jauh. Tubuh Sanna tertabrak meja besi. Ia terkapar, tidak sadarkan diri. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, berwajah pucat saat Kiku memandang mereka.
"Aku tahu kalian berpikiran sama dengan Sanna!" sahut Kiku tegas, "siapapun yang menyakiti partner-ku, sama artinya menyakitiku. Aku akan memberikan hukuman setimpal bagi mereka yang menyakiti partner-ku."
Semuanya terdiam. Kiku yang dikenal sebagai pilot nomor satu di Magic Pilot School ini, mampu membuat semua orang takut padanya. Di sisi wajah cantiknya yang bisa memikat hati laki-laki, ada sisi sadis yang bisa muncul ketika melindungi orang-orang terdekatnya. Juga ada sisi hangat, yang mampu membuat orang-orang terdekatnya merasa nyaman saat bersamanya.
Aku, satu-satunya orang terdekat yang dipunyai sekarang. Aku yang menjadi orang yang dilindunginya. Ia juga menganggapku sebagai saudaranya yang hilang. Karena itu, ia mati-matian membelaku di saat aku disakiti seperti ini.
Kiku menoleh. Ia menunjukkan wajah yang berseri-seri. "Mulai sekarang, aku pastikan tidak akan ada yang menyakitimu, Zi."
Aku terpana lalu mengangguk pelan dengan senyuman. "Iya."
***
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa, aku melewati semua hambatan yang terjadi dengan kekuatanku sendiri. Meskipun, aku belum bisa menggunakan sihir, tapi ada Kiku yang dengan sabar mengajariku tentang sihir.
Kerap kali saat Kiku tidak ada, aku sering dihina oleh orang-orang di sekitarku. Ingin rasanya aku membalas mereka, namun perasaan kesal itu, aku simpan di hati agar tidak menimbulkan masalah yang besar.
Hari ini, kejadian yang sama terjadi, aku dihajar oleh sekelompok senior yang duduk di kelas III. Aku diculik saat aku keluar asrama pada malam hari.
Di gudang sekolah, aku dianiaya. Tanpa melakukan perlawanan, aku pasrah menerima apa yang terjadi hingga pintu gudang sekolah yang dikunci dengan sihir, meledak hebat karena ada seseorang yang menembak pintu tersebut.
"Lepaskan dia! Kalau tidak, aku akan menembak kalian!" ancam Kiku yang bertampang mengerikan sambil mengacungkan senjata canggih menyerupai AK-47M pada sekelompok senior itu.
Salah satu dari senior itu berseru dengan wajah pucat. "I ... itu ... gadis monster yang mengerikan itu!"
"Lari! Sebelum nyawa kalian terancam!"
"Tunggu, bos!"
"Cepat, kalian lambat sekali!"
Semua orang berlari tunggang langgang sebelum Kiku menghabisi mereka. Aku yang sudah terkapar di lantai dengan tubuh penuh lebam, hanya menatap sayu kaki Kiku yang mendekat. Gadis itu meletakkan senjata itu ke lantai lalu meraih tanganku sembari mengucapkan sesuatu. "Izarsteta!"
Cahaya putih yang hangat menyelimutiku. Aku memejamkan mata karena silau. Kemudian cahaya itu menghilang, bersama aku berusaha bangkit. Perasaan sakit lenyap, aku duduk di lantai. Menatap Kiku yang berwajah sendu.
"Maaf, karena aku, kamu selalu mengalami hal yang buruk, Zi," katanya dengan nada yang bergetar, "andai aku tidak memanggilmu ke sini, pasti kamu tidak mengalami kejadian ini."
"Tidak apa-apa, Kiku. Aku sudah terbiasa mengalami ini. Kamu tidak boleh menyalahkan dirimu," sahutku berusaha menghibur Kiku.
"Tapi...."
"Terima kasih karena kamu menolongku lagi. Lalu aku berjanji, aku juga akan melindungimu demi membalas kebaikanmu selama ini."
Saat mengatakan itu, aku menggenggam tangan Kiku. Gadis itu terpaku, kemudian mengangguk pelan.
"Zian, kamu." Garis kurva tipis tercipta di wajah Kiku. "Kalau begitu, atas izin Kepala Sekolah, aku akan mengajarimu untuk mengendarai robot tempur."
Aku tercengang. "Yang benar?"
"Iya. Benar."
"Ini yang kutunggu-tunggu selama ini. Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak mempunyai Manna."
Semangatku hilang tiba-tiba. Kepalaku tertunduk lesu. Kiku yang duduk berhadapanku, memberikan solusi terbaik untukku.
"Tanpa Manna pun, kamu bisa mengendarainya, Zi."
Aku mengangkat kepala. Mengerutkan kening tanda tidak mengerti.
"Bagaimana caranya?"
"Kamu bisa menggunakannya lewat mode simulator."
"Mode simulator?"
"Iya."
Kiku mengangguk seraya tersenyum. Ia mengeluarkan Bookpad dari kantong mantelnya. Layar virtual digital tercipta saat telunjuknya menekam tombol yang berada di sisi atas Bookpad.
"Ini sama seperti latihan simulator pada pesawat terbang. Kamu hanya duduk dan seakan mengendarai robot tempur seperti gambar ini," jelas Kiku yang menunjuk ke layar Bookpad. "Kamu bisa menggunakan Centauri-ku sebagai latihan simulator pertamamu."
Aku mengangguk paham. "Oke. Aku ingin mencoba sekarang."
"Ayo, kita pergi sekarang!"
Kiku menarik tanganku. Kami bergegas meninggalkan tempat itu.
***
Di atap sekolah ini, Kiku mengajakku untuk latihan simulator. Ia bertindak sebagai guru, dan aku yang menjadi muridnya harus mematuhinya.
Kami berhadapan cukup jauh. Rambut dan pakaian kami berkibar-kibar karena diterpa angin sepoi-sepoi. Aku memperhatikan Kiku dalam diam.
"Di sini, kita akan mulai latihan," ucap Kiku yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi, "izsaukt, Centauri!"
Portal berbentuk lingkaran tercipta di udara. Muncul robot tempur berbentuk Rubah berkaki empat dari dalamnya, langsung mendarat di samping Kiku. Getaran kuat terjadi saat kedua kaki Centauri bersentuhan dengan lantai. Ia menggeram, bersuara khas Rubah asli.
Kiku memandangku dengan wajah yang serius. "Aku telah mengaktifkan Centauri. Ayo, kita masuk sekarang!"
Aku mengangguk cepat. "Ya."