part 1

510 Kata
Meikarta malam itu basah oleh hujan yang tak kunjung reda. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke aspal, membuat kota seperti berlapis kaca. Di sebuah kafe kecil dekat kampus, Siena duduk sendirian di pojok ruangan, mengetik cepat di laptopnya. Rambut hitamnya tergerai, matanya fokus pada layar, bibirnya sesekali mengerucut saat mengetik kalimat yang tidak pas. Pintu kafe terbuka. Angin malam yang dingin masuk, membawa serta aroma hujan dan aroma lain—aroma yang anehnya terasa berbahaya. Seorang pria masuk, jas hitamnya basah di bagian bahu, sepatu kulitnya memantulkan cahaya lampu. Matanya tajam, wajahnya tegas, seolah setiap gerakannya terukur. Pria itu, Bastian Salvatore, langsung menarik perhatian semua orang di kafe. Tapi pandangannya berhenti pada Siena. Bukannya terintimidasi, gadis itu malah menatap balik, matanya seakan berkata: “Apa kau pikir aku akan menunduk?” Bastian mendekat, berdiri di sebelah mejanya. “Boleh saya duduk?” suaranya rendah, dalam, nyaris seperti bisikan yang menyimpan ancaman. Siena menutup sedikit laptopnya. “Kalau mau duduk, duduk saja. Tapi berhenti menatap seperti mau menembak.” Bastian tersenyum tipis. “Kau berani bicara begitu pada orang asing?” “Aku tidak takut pada orang asing,” jawab Siena datar. “Yang menakutkan itu kalau orang dekat tapi penghiant.” Bastian mengangkat alis. Dia jarang sekali menemui wanita yang berani menantangnya secara langsung. Dan sejak malam itu, rasa penasaran mulai tumbuh di hatinya. Dua hari setelah pertemuan itu, Siena melihat mobil sport hitam yang sama terparkir di depan kampus. Saat ia keluar, pria berjas hitam itu sudah berdiri di sana, bersandar santai pada mobilnya. “Aku sedang lewat,” katanya singkat, seolah tidak mau terlihat terlalu tertarik. Tapi Siena tahu, tidak ada pria yang ‘kebetulan lewat’ di depan kampus dua kali dalam seminggu. “Aku juga kebetulan lewat setiap hari ke perpustakaan,” balas Siena , menatapnya. “Tapi aku tidak memarkir Ferrari.” Bastian tertawa kecil. “Kau suka membaca?” “Aku suka mencari tahu,” jawabnya, lalu melangkah pergi. Hari-hari berikutnya, Siena mulai melihat Bastian di tempat-tempat yang ‘tidak sengaja’ sama dengannya. Kafe favoritnya. Taman kecil dekat kampus. Bahkan di toko buku yang jarang dikunjungi orang. Setiap kali mereka bertemu, tatapan mereka seperti percikan api yang belum padam. Malam itu, Siena baru pulang dari mengerjakan tugas kelompok. Jalanan sepi. Suara langkah kaki mengikuti dari belakang. Tiga pria mabuk mulai mendekat, bau alkohol menyengat. “Halo, cantik… pulang sendirian?” salah satu dari mereka mencoba meraih tangannya. Siena mundur, matanya tajam. “Lepas, atau kupatahkan tanganmu.” Mereka tertawa, tidak menganggap serius ancamannya. Lalu suara deru mesin mobil sport memecah kesunyian. Mobil hitam berhenti mendadak, pintunya terbuka, dan Bastian keluar. Tangannya memegang pistol kecil yang berkilat di bawah lampu jalan. “Sentuh dia, dan kalian akan menyesal,” ucapnya pelan tapi mematikan. Para pria itu langsung kabur, meninggalkan Siena yang masih terkejut. “Kau selalu bawa pistol?” tanyanya. “Aku selalu bawa perlindungan,” jawab Bastian, menatapnya dalam. “Mulai malam ini, kau adalah milikku.” Siena menatapnya lama. Entah kenapa, meski tahu pria ini berbahaya, hatinya justru berdebar bukan karena takut… tapi karena tertarik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN