part 2

444 Kata
Siena tidak bisa menghapus bayangan pistol yang dilihatnya malam itu. Pertanyaan terus berputar di kepalanya: siapa sebenarnya Bastian Salvatore? Dia mencoba mencari di internet, tapi hasilnya hanya menunjukkan artikel tentang seorang pengusaha muda sukses di bidang ekspor-impor. Tidak ada catatan kriminal, tidak ada skandal besar. Terlalu bersih—dan itu justru mencurigakan. Suatu sore, Bastian mengajak Siena makan malam di restoran atap sebuah hotel mewah. Pemandangan kota berkilau di bawah, angin malam lembut, dan di meja mereka terhidang hidangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Aku bukan pria baik-baik, Siena,” ucap Bastian tiba-tiba sambil memandang ke kejauhan. “Aku sudah tahu,” jawab Siena santai, membuatnya menoleh. “Apa kau tidak takut?” “Aku tidak takut pada kebenaran. Yang aku benci adalah kebohongan.” Bastian menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Duniaku kotor. Ada darah, peluru, dan orang-orang yang selalu ingin menjatuhkanku. Aku ingin kau tahu sebelum melangkah lebih jauh.” Siena mengangkat bahu. “Kalau aku pergi, kau akan berhenti?” “Tidak.” “Kalau begitu, percuma aku pergi.” Beberapa minggu kemudian, Bastian mengajak Siena ke sebuah “makan malam bisnis”. Tempatnya bukan restoran, melainkan ruangan pribadi di lantai atas klub malam yang dijaga pria-pria berbadan besar. Di dalam, beberapa pria duduk melingkar, berbicara dalam bahasa campuran Indonesia dan Italia. Di meja, bukan hanya ada makanan—ada koper berisi uang, dan di sudut ruangan, sebuah peti kayu yang jelas berisi senjata. Siena duduk di sebelah Bastian, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. Salah satu pria menatap Siena dari ujung meja. “gadis cantik ini siapa?” Bastian menjawab tenang tapi tajam, “Dia tidak untuk dibicarakan.” Malam itu, Siena sadar betapa dalamnya ia masuk ke dunia Bastian. Dunia di mana tatapan bisa berarti ancaman, dan senyuman bisa berarti perang. Beberapa hari setelah makan malam itu, Siena merasa dia diikuti. Di jalan pulang, ada mobil yang melambat di belakangnya. Di kampus, ada pria asing yang terlalu sering duduk di bangku dekat gerbang. Suatu sore, sebuah amplop hitam dimasukkan ke dalam tasnya. Isinya hanya satu foto—foto dirinya yang sedang berjalan pulang, diambil dari jarak jauh. Di belakang foto itu tertulis: "Jika kau tetap di sisinya, kau akan mati." Siena menggenggam foto itu erat. Ketika Bastian tahu, wajahnya berubah gelap. “Mereka sudah terlalu berani. Mulai sekarang, kau tidak kemana-mana tanpa aku.” Tapi Siena, dengan tatapan berani yang sama seperti malam pertama mereka bertemu, berkata, “Aku tidak mau jadi gadis yang hanya bersembunyi di belakangmu. Kalau mereka ingin bermain, aku juga bisa melawan.” Bastian terdiam. Untuk pertama kalinya, dia merasa bukan hanya melindungi Siena—dia mungkin juga akan berjuang bersama Siena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN