Hujan turun deras malam itu. Bastian berdiri di ruang tamu apartemennya, pistol di tangan, matanya tajam menatap jendela. Siena berdiri di belakangnya, berusaha membaca ekspresinya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Siena
Bastian menoleh, lalu meletakkan pistolnya di meja. Ia berjalan mendekat, menatap Siena lama.
“Kalau sesuatu terjadi padaku… janji kau akan pergi jauh dari sini, dan tidak pernah kembali.”
Siena menggeleng cepat. “Jangan bicara begitu.”
“Aku serius,” suara Bastian tegas. “Aku bisa melawan peluru, musuh, dan pengkhianat. Tapi aku tidak akan sanggup kalau kau yang harus aku kubur.”
Siena menggenggam tangannya erat. “Kalau aku pergi, siapa yang akan memastikan kau masih manusia?”
Bastian terdiam, lalu memeluknya erat, seolah takut kehilangan di detik berikutnya.
Beberapa hari kemudian, Bastian mendapat informasi bahwa salah satu orang kepercayaannya membocorkan lokasi gudang penyimpanan senjata ke kelompok lawan. Nama itu membuatnya sulit percaya: Mike, pria yang sudah seperti saudara sendiri.
Saat konfrontasi terjadi, Mike tidak membantah. “Kau terlalu lemah sejak ada perempuan itu, Bastian. Kau lupa dunia ini butuh darah, bukan cinta.”
Bastian meninju Mike hingga jatuh. “Kau sudah memilih pihakmu. Sekarang kau bukan siapa-siapa.”
Tapi pengkhianatan itu tidak berakhir di sana—mike membocorkan sesuatu yang lebih berbahaya: kebiasaan dan rute perjalanan Siena.
Hari itu, Siena baru saja keluar dari perpustakaan kampus ketika sebuah van hitam berhenti mendadak di depannya. Dua pria bertopeng keluar, menutup mulutnya, dan menyeretnya masuk.
Ketika Bastian mendapat telepon, suaranya terdengar tenang tapi mematikan.
“Kalau kau ingin dia hidup,” kata suara di seberang, “datang ke dermaga jam dua pagi. Sendirian. Tanpa senjata.”
Bastian menutup telepon, matanya penuh amarah. Tapi di balik amarah itu, ada ketakutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ia tahu, kali ini bukan sekadar perang antar geng—ini adalah perang pribadi, dan hadiahnya adalah nyawa wanita yang dia cintai.