Dermaga itu sunyi, hanya terdengar suara ombak memecah tiang beton. Bastian datang sendirian seperti yang diminta, tanpa senjata terlihat… tapi ia sudah menyiapkan rencana. Di bayangan gudang dekat dermaga, beberapa anak buah setianya menunggu sinyal.
Dari kejauhan, ia melihat Siena diikat pada kursi, mulutnya disumpal kain, cahaya lampu sorot membuat wajahnya pucat. Di belakangnya, berdiri Mike, tersenyum dingin.
“Lepaskan dia, Mike” kata Bastian datar.
“Kau datang sendiri. Bagus,” jawab Mike. “Sekarang aku akan mengambil semuanya darimu—uangmu, kekuasaanmu… dan wanitamu.”
Seketika, suara tembakan meledak dari arah gudang. Anak buah Bastian menyerbu, baku tembak pecah. Bastian bergerak cepat, menumbangkan dua orang dengan tangan kosong, meraih pistol dari musuh, lalu menembak rantai yang mengikat Siena.
“Lari ke belakangku!” teriaknya.
Mereka hampir mencapai pintu keluar dermaga ketika Mike muncul dari sisi kanan, menodongkan pistol. Siena menjerit saat suara tembakan terdengar. Bastian terdorong ke depan, darah mengalir dari bahunya.
"Bastian!” Siena memeganginya, mencoba menghentikan darah dengan tangannya sendiri. Tapi Bastian, meski kesakitan, tetap berdiri dan menembak balik, membuat Mike terjatuh ke air hitam dermaga.
Anak buah Bastian menarik mereka ke mobil, melaju cepat meninggalkan lokasi. Di kursi belakang, Siena menatap Bastian yang mulai kehilangan kesadaran.
“Kau tidak boleh mati… kau janji akan melindungiku,” suaranya bergetar.
Bastian hanya tersenyum lemah. “Dan aku akan menepatinya… sampai napas terakhirku.”
Bastian dirawat di rumah aman selama seminggu. Siena hampir tidak pernah meninggalkannya, bahkan tidur di kursi sebelah tempat tidurnya.
Suatu malam, saat luka Bastian sudah membaik, ia membuka mata dan melihat Siena tertidur sambil memegang tangannya. Dengan suara serak, ia memanggil, “siena…”
Gadis itu terbangun, matanya langsung berkaca-kaca. “Kau membuatku takut setengah mati.”
Bastian mengangkat tangannya, menyentuh wajahnya. “Aku tidak pernah takut pada peluru… tapi aku takut kehilanganmu.”
Air mata Siena jatuh, tapi ia tersenyum. “Kau tidak akan kehilangan aku. Bahkan kalau dunia ini hancur sekalipun, aku tetap di sisimu.”
Di ruangan yang sunyi itu, di tengah luka dan ancaman yang belum berakhir, mereka akhirnya mengucapkan kata yang selama ini tertahan.
“Aku mencintaimu.”
.