Pagi itu, Bastian duduk di meja makan sambil memandangi secangkir kopi yang mulai dingin. Siena duduk di seberangnya, menunggu ia bicara.
“Aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini,” kata Bastian akhirnya. “Kalau aku ingin hidup bersamamu… aku harus keluar.”
Siena terkejut. “Kau serius?”
“Aku tidak mau setiap hari melihatmu dalam bidikan musuhku. Aku mau kita bisa berjalan di jalanan tanpa harus memikirkan siapa yang mengikuti.”
Tapi keluar dari dunia mafia bukan seperti berhenti bekerja di kantor biasa. Itu berarti memutus semua hubungan, mengembalikan wilayah, dan… memastikan semua lawan tidak akan memburunya lagi.
Pertemuan damai dengan bos-bos mafia lain seharusnya menjadi langkah pertama Bastian untuk keluar. Tapi begitu ia dan Siena tiba di gudang pertemuan, mereka sadar ini bukan negosiasi—ini jebakan.
Belasan pria bersenjata mengepung, dipimpin oleh salah satu lawan terbesarnya, Christian
“Kau pikir bisa keluar dengan mudah, Salvatore? Dunia ini tidak punya pintu keluar,” ucap Chris sambil menodongkan senjata.
Baku tembak pecah. Bastian mendorong Siena ke balik tumpukan peti, lalu bergerak lincah menembak musuh satu per satu. Siena, yang diam-diam membawa pistol kecil pemberian Bastian, ikut melindungi punggungnya.
Peluru bersiul di udara, peti kayu berhamburan, suara teriakan bercampur dengan dentuman senjata.
Pertarungan berakhir ketika Bastian berhasil menembak Chris. Tapi sebelum mati, Chris melepaskan tembakan terakhir yang mengarah ke Siena. Bastian, tanpa pikir panjang, melompat dan menjadi tameng hidup. Peluru itu menembus pinggangnya.
Siena menjerit, menahan tubuh Bastian yang mulai lemas.
“Kau bodoh… kenapa lakukan itu?”
Bastian tersenyum lemah. “Karena aku sudah memilih… kebebasan kita, atau nyawaku. Dan aku tidak menyesal.”
Dengan bantuan anak buah yang tersisa, mereka berhasil keluar dari gudang. Bastian dibawa ke rumah aman lainnya. Luka itu parah, tapi ia bertahan. Dan saat ia membuka mata lagi dua hari kemudian, Siena masih ada di sana, memegang tangannya, seperti janji yang tak pernah ia langgar.
Beberapa bulan setelah pertempuran terakhir, kehidupan Siena dan Bastian berubah drastis. Mereka pindah ke sebuah kota kecil di tepi pantai, jauh dari hiruk-pikuk dan bau mesiu.
Bastian sekarang mengelola sebuah kafe kecil yang menghadap laut. Tangannya, yang dulu akrab dengan dinginnya pistol, kini sibuk membuat kopi untuk pelanggan tetap. Siena melanjutkan kuliahnya secara online sambil membantu di kafe.
Setiap sore, mereka duduk di beranda, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Tidak ada suara tembakan, tidak ada tatapan mencurigakan dari orang asing—hanya deburan ombak dan tawa kecil di antara mereka.
Namun kadang, ketika malam terlalu sunyi, Bastian masih terbangun. Matanya menatap ke luar jendela, seolah menunggu sesuatu yang mungkin datang. Dan Siena, yang mengenalnya lebih dari siapa pun, hanya menggenggam tangannya erat.
Epilog
Di pasar kota kecil itu, seorang pria asing dengan jas abu-abu mengamati mereka dari kejauhan. Dia menyalakan rokok, meniupkan asap ke udara, lalu tersenyum tipis sebelum berjalan pergi.
Siena tidak pernah melihatnya. Tapi Bastian sempat menangkap sosok itu lewat pantulan kaca toko. Dia tidak mengatakan apa-apa pada Siena, hanya menggenggam tangannya saat mereka berjalan pulang.
Di depan rumah, di bawah langit malam yang penuh bintang, Bastian menatap Siena lama.
“Apapun yang terjadi nanti, aku janji… aku tidak akan melepaskanmu.”
Siena tersenyum, menatapnya dengan mata yang tak lagi takut. “Dan aku janji… kita akan selalu pulang bersama.”
Mereka berciuman di bawah cahaya lampu jalan, sementara di kejauhan, bayangan masa lalu mungkin saja sedang menunggu untuk kembali.