Membujuk Suami
Hari sudah mulai malam, Adhitama, suami Embun, belum juga pulang. Embun menanti sambil melihat beberapa foto wanita. Ya, foto-foto para wanita ini ingin dia tunjukkan pada suaminya tercinta. Mungkin menurut orang-orang Embun wanita bodoh dan konyol, sebab menginginkan sang suami menikah. Namun, semua itu dilakukan demi kebaikan Adhitama.
Embun rela dimadu, bahkan seandainya suaminya menikah lagi dan mengajak istri mudanya tinggal serumah, Embun rela. Tak masalah bagi Embun. Toh memang Embun yang mencari wanita kedua itu.
“Sayang, aku pulang.” Tiba-tiba suara bass seorang pria memanggil dari luar. Lalu, pintu kamar pun terbuka.
Tampak seorang pria memakai kemeja warna biru tua motif kotak-kotak tersenyum.
Embun pun tersenyum menyambut Adhitama pulang.
“Lihat, Mas. Cantik nggak?” Embun menyodorkan satu lembar foto pada Adhitama.
Pria rambut lurus yang disisir ke belakang itu mengernyitkan dahi. Dia melepas dasinya, lalu duduk di samping sang istri.
“Sampai kapan kamu terus menunjukkan foto wanita lain padaku, Yang?” tanyanya dengan nada sinis.
“Sampai kamu mau menikah lagi, Mas. Kamu pilih satu, yang mana ini?” Embun tersenyum sambil menatap foto para wanita di genggaman.
“Aku nggak mau menikah lagi!” Pria rambut hitam lurus itu melotot tajam, sedang Embun hanya bergeming.
Lagi-lagi Adhitama marah ketika Embun membahas soal pernikahan keduanya. Ya, Embun ingin sekali melihat Adhitama menikah. Ingin melihatnya menggendong dan menimang bayi. Meski bukan dari rahim Embun, tapi dia akan menyayangi seperti anak kandung sendiri. Meski hati kecilnya menolak Adhitama menikah lagi, tapi semua demi kebahagiaan suami tercinta.
“Mas, kamu ini aneh, deh. Di luar sana banyak pria yang selingkuh di belakang istrinya, menikah diam-diam. Kamu justru nggak mau nerima tawaranku.” Embun hanya geleng-geleng sambil menatap wajah Adhitama.
“Meski kamu menyuruhku seribu kali. Aku tetap nggak mau nikah lagi! Hanya kamu wanita yang ada di hatiku, nggak ada yang lain.” Adhitama menggenggam erat tangan Embun, lalu menciumnya.
Sudah tujuh tahun lamanya, mereka menjalani biduk rumah tangga, tetapi tak kunjung dikaruniai seorang malaikat kecil. Meskipun Adhitama bilang tak mengapa, tapi Embun yakin di lubuk hati yang paling dalam menginginkan seorang buah hati.
“Pokoknya aku nggak mau kalau sampai kamu tetap ngotot mau mencarikan aku istri!” Adhitama bangkit dan melangkah keluar.
“Mas! Kamu mau ke mana? Kita belum selesai bicara!” teriak Embun.
“Capek aku di rumah terus! Selalu diminta menikah lagi!” sentak Adhitama sambil lalu.
“Mas! Semua demi kebaikan keluarga kita! Apa kamu nggak mau punya anak?”
Adhitama berhenti, lalu menoleh pada Embun.
“Apa katamu? Demi kebaikan keluarga kita? Apanya yang baik? Justru akan jadi gunjingan orang-orang! Semua akan menganggapku suami yang nggak setia!” Adhitama tersenyum miring.
“Tapi ini beda, Mas. Aku yang memintamu menikah lagi! Bahkan akulah yang akan mencarikan istri. Jadi, anggapan orang-orang itu nggak akan pernah terjadi.” Embun meraih lengan Adhitama, tapi seketika ditepis dengan kasar.
“Lepas!” Adhitama melangkah meninggalkan Embun.
Embun pun bergeming dan hanya menghela napas dalam. Menatap kepergian suami tersayang dengan perasaan masygul. Jiwa dirundung gundah gulana.
Adhitama tidak tahu apa yang menimpa Embun. Embun tidak bisa memberikannya keturunan. Mandul. Ya, Adhitama memang tidak tahu kalau Embun mandul. Sebab, Embun merahasiakan darinya, tidak memberitahukan padanya hasil pemeriksaan dari dokter kandungan. Yang dia tahu, Embun hanya kurang subur.
Sesungguhnya hati Embun teramat sakit. Wanita mana yang rela dimadu? Tak ada satu wanita pun yang sanggup berbagi suami.
“Maafkan aku, Mas. Semua demi kebaikan kita bersama. Aku akan tetap mencarikan istri yang baik untukmu. Meskipun kamu menolak.” Embun bermonolog, sambil tersenyum hambar.
Pandangannya kembali pada foto yang tergeletak di kasur. Segumpal daging dalam d**a terasa begitu perih, kala menyaksikan beberapa pose cantik dari wanita calon istri Adhitama. Embun sengaja mencari wanita yang shalihah. Berpenampilan syar‘i, agar bisa menjadi penerang bagi keluarga mereka.
Malam makin larut. Embun melihat benda bulat yang menempel di dinding, jarum pendek menunjuk angka sebelas. Akan tetapi, Adhitama belum juga pulang. Sebegitu marahkah dia, hingga larut begini tak kunjung kembali?
Nomornya tidak aktif, ketika dihubungi oleh Embun. Pria alis tebal itu benar-benar membuatnya panik. Embun mencoba untuk tidur, tapi tak bisa. Pikiran tak tenang dan kalut. Khawatir terjadi sesuatu pada Adhitama.
“Sebenarnya kamu ke mana, sih, Mas? Sebegitu marahkah padaku?” Embun mengembuskan napas kasar.
Kemudian, Embun berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar. Berharap Adhitama segera pulang. Waktu terasa berputar dengan lambat. Malam makin larut dan hawa dingin menusuk tulang. Namun, pria yang Embun tunggu tak jua muncul dan deru mobilnya pun tidak terdengar. Embun merasa sedikit bersalah. Mungkinkah sifatnya berlebihan? Apa seharusnya Embun tak memaksanya menikah lagi? Tapi ... keinginan ibu mertua bisa secepatnya menimang cucu tak bisa diwujudkan oleh Embun. Ah, sungguh dilema.
Ingin tidur, tapi pikirannya kalut. Akhirnya, Embun bangkit dan melangkah keluar. Menunggu Adhitama di ruang tengah. Makin larut suasana kian mencekam. Sunyi dan senyap. Embun mencoba menghubungi Adhitama, tetapi sama saja masih tidak aktif. Berkali-kali dihubungi tetap saja tidak bisa. Sial! Embun melempar ponsel ke sembarang tempat.
Kemudian, Embun merebahkan badan di sofa. Memejamkan mata sambil menahan rasa nyeri di hati. Napas ditarik dengan kasar.
Embun menggeliat ketika merasakan seseorang mengusap pipinya dengan lembut.
“Sayang, bangun.” Suara bass seorang pria di telinga. Embusan napas hangatnya menerpa, membuat Embun langsung membuka mata.
“Mas Tama ….” Embun bangkit dari tidur.
Pria hidung bangir itu menatap Embun sambil tersenyum.
“Kenapa tidur di sini?” tanya Adhitama sambil duduk di samping Embun.
“Aku nunggu Mas semalaman. Makanya tidur di sini. Kamu ke mana Mas? Aku bingung di rumah. Nomornya nggak aktif pas aku telepon!” Embun bersungut-sungut.
“Rasain! Makanya jangan bikin suamimu ini kesal.” Adhitama menjawil ujung hidung Embun sambil tertawa kecil.
“Ih, emangnya aku bikin kesel apa, Mas? Nggak ada, deh, kayaknya.” Bibir Embun monyong.
“Jangan pernah memintaku untuk menikah lagi!” Pria kulit putih itu menatap Embun tajam.
Embun langsung menunduk. Bagaimana mungkin Embun berhenti menyuruhnya menikah lagi? Embun menghela napas dengan berat.
“Hei, kamu denger, kan, yang aku bilang barusan.” Adhitama mengangkat dagu Embun, sehingga kedua pasang mata mereka beradu pandang.
***
Bersambung