Tatapan mata Embun penuh cinta. Ya, Embun tahu Adhitama begitu menyayanginya. Dilihat dari sikapnya selama ini. Tak pernah sekali pun dia membentak atau berkata kasar pada Embun. Bahkan, dengan suka rela membantu mengerjakan seluruh tugas rumah. Wanita mana yang tidak bahagia menikah dengan pria langka seperti Adhitama?
Akan tetapi, Embun tak boleh egois. Embun belum bisa membahagiakannya. Belum mampu memberikan keturunan, bahkan tak akan pernah bisa menghadirkan sosok malaikat kecil dalam rumah tangga mereka.
“Mas … kamu harus mau menikah lagi. Aku akan tetap mencari calon istri yang baik untukmu.” Embun menatap Adhitama dengan tersenyum.
“Sudah berapa kali kubilang, jangan pernah memintaku menikah lagi! Jangan konyol kamu!” sentak Adhitama sambil membuang muka.
Embun berjingkat mendengarnya membentak. Baru kali ini dia berkata kasar.
“Mas … kamu nggak mau punya anak?” tanya Embun lagi.
“Aku mau punya anak, tapi dari kamu!” Adhitama kembali menoleh pada Embun dan menatap dengan tajam.
Embun menelan ludah. Lalu, tersenyum kecut. Bagaimana caranya mengatakan padanya kalau Embun mandul? Tidak akan pernah ada makhluk kecil dalam rahimnya ini. Embun memegang perut dengan perasaan pilu.
Adhitama terdengar mendengkus. Lalu, dia melangkah meninggalkan Embun yang dilingkupi perasaan sedih. Embun menatap kepergian pria tersayang dengan pilu.
“Aku mau punya anak dari kamu.” Kata-kata dari Adhitama terus terngiang di telinga. Hatinya makin nyeri, bagaimana mungkin Mas Adhitama bisa memiliki anak dariku? Aku ... mandul dan tak akan pernah bisa mempunyai anak. Batin Embun.
Tuhan ... bagaimana caranya agar aku bisa mengatakan pada Mas Adhitama akan kondisiku yang sebenarnya? d**a terasa sesak saat teringat kata-kata dokter kalau aku memang mandul dan tak bisa memberikan keturunan padanya. Ya, aku harus terus membujuk Mas Adhitama agar mau menikah, bagaimanapun caranya. Embun terus berkata dalam hati.
Ketika sedang merenung tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Embun segera melangkah untuk membuka pintu. Betapa terkejutnya Embun ketika melihat siapa yang datang.
“Mama ...,” lirih Embun.
Tampak mamanya Adhitama tersenyum dengan sinis. d**a Embun berdebar tak keruan. Kemudian, Embun pun menyilakan Mama masuk.
“Gimana? Udah berhasil bujuk Tama buat nikah lagi?” tanya Mama dengan wajah sinis.
“Maaf, Ma ... belum. Mas Tama bilang nggak mau nikah lagi,” ucap Embun dengan pelan.
“Dasar istri nggak becus! Nggak bisa ngasih keturunan, tapi suruh cerai nggak mau. Bujuk suami supaya nikah lagi juga nggak bisa! Kamu bisanya apa?” Mata Mama melotot menatap Embun.
Embun langsung menunduk. Mata Embun berkaca-kaca dan d**a berdenyut nyeri.
“Kenapa nggak bilang kalau kamu itu mandul?! Hah!” sentak Mama.
“Maaf, Ma ... Embun nggak bisa.”
“Mama ini udah tua! Udah pengen gendong cucu, hampir tujuh tahun kalian menikah, tapi belum juga kasih cucu. Kata Tama suruh sabar. Eh, nyatanya istrinya mandul! Dasar istri nggak berguna! Dari dulu Mama udah punya firasat jelek, ternyata memang benar.”
Kata-kata Mama begitu menyakitkan. Ya, satu bulan yang lalu Mama yang memaksa Embun untuk periksa kandungan. Meski Adhitama melarang, karena katanya tidak perlu periksa hal yang tidak penting. Adhitama bilang kalau sudah waktunya diberi amanah pasti nanti bakal hamil juga. Namun, tanpa sepengetahuan Adhitama, Mama mengajak Embun ke dokter. Dan vonis dokter membuat Embun hancur dan terpuruk. Embun ... mandul.
Sejak saat itu perlakuan Mama begitu buruk pada Embun. Beliau juga yang menyuruh Embun untuk memaksa Adhitama menikah lagi. Meski sebenarnya tak rela berbagi suami, tetapi Embun harus melakukannya, semua demi kebahagiaan Mama dan Adhitama. Embun menyetujui permintaan Mama, tapi dengan syarat tidak pernah mengatakan pada Adhitama kalau Embun mandul.
“Heh, malah ngelamun! Kalau kamu nggak bisa ngebujuk Tama, maka Mama sendiri yang mencarikan istri kedua Tama!” Setelah berkata seperti itu Mama pergi meninggalkan Embun yang tengah gundah gulana. Mama sama sekali tak memikirkan perasaan Embun. Dia tak pernah berpikir bahwa ucapannya menyakit hati Embun. Ah, pada siapa aku harus mengadu? Embun bertanya dalam hati.
Buliran bening yang sedari tadi ditahan, akhirnya jatuh juga. Tangis Embun makin pecah.
“Mas Tama ... maafkan Embun, nggak bisa jadi istri yang sempurna.”
Embun mendekap lutut dengan kedua tangan, tergugu menangisi nasib dan takdir hidupnya. Embun bukan seorang istri yang sempurna dan baik untuk Adhitama.
Lalu, Embun segera mengusap air matanya dengan kasar. Kemudian, memutuskan untuk pergi. Daripada nantinya Mama yang mencarikan istri untuk Adhitama, lebih baik dia saja yang mencari. Setidaknya jika hasil pilihan Embun sendiri maka tak akan terlalu sakit. Mungkin ....
Kemudian, Embun segera bersiap untuk pergi. Lalu, menuju panti asuhan tempatnya dibesarkan dulu. Ya, Embun seorang yatim piatu dan tinggal di panti sejak bayi. Ibu Asih--pengurus panti--bilang menemukan Embun di teras panti. Dan tidak tahu siapa yang menaruhnya di sana. Mungkin saja memang sengaja membuangnya. Embun mendesah pelan, orang tuanya saja tidak menginginkan.
Embun pun segera memesan taksi online. Tak berapa lama pun taksi datang, Embun segera mengatakan ke mana tujuannya. Tak perlu waktu lama, tibalah dia di panti.
Bu Asih begitu bahagia melihat kedatangan Embun. Sudah lama sekali Embun tidak pernah berkunjung kemari. Embun segera menghambur ke pelukannya. Kemudian, menumpahkan segala gundah yang ada di hati. Embun menangis di pelukannya.
“Embun, kamu kenapa? Datang-datang langsung nangis. Ada apa?” Bu Asih mengurai pelukan dan menatap Embun dengan tatapan penuh tanda tanya.
Embun hanya menggeleng. Tak sanggup rasanya bercerita. Embun tak mau membuatnya sedih.
“Embun, jangan ada yang disembunyikan dari Ibu. Ibu ini ibumu, meski bukan yang mengandung dan melahirkanmu.” Bu Asih mengusap rambut Embun dengan lembut.
Napas ditarik dengan panjang. Kemudian, dengan memantapkan hati, Embun mulai menceritakan masalah yang menimpa. Dia juga mengatakan kalau akan mencari istri kedua untuk Adhitama.
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu? Apa kamu sanggup dimadu?” tanya Bu Asih.
“Insyaallah Embun siap, Bu. Semua demi Mas Tama dan Mama. Mama sangat menginginkan cucu dari Mas Tama. Karena Mas Tama putra satu-satunya.” Embun mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Kenapa kamu nggak jujur kalau kamu mandul?”
“Embun nggak siap kalau harus kehilangan Mas Tama, Bu. Embun takut Mas Tama akan ninggalin Embun kalau tahu Embun mandul.” Embun kembali terisak.
Bu Asih membelai rambut Embun dengan penuh kasih sayang. Kemudian, memeluknya dengan erat. Beliau memberi kekuatan dan semangat. Perasaan Embun sedikit tenang setelah berbagi kisah dengan Bu Asih. Beban sedikit berkurang.
Embun juga bilang pada Bu Asih kalau istri kedua Adhitama, dia yang akan mencarinya. Karena Embun harus tahu seperti apa wanita yang akan mendampingi Adhitama. Pun harus yang cocok dengan Embun. Bu Asih hanya memberi nasihat, agar semuanya dipikirkan dulu masak-masak.
“Jangan sampai kamu nanti menyesal, Embun.” Ucapan Bu Asih akan selalu Embun ingat.
***
Bersambung