Seharian ini Embun menghabiskan waktu di panti. Sampai lupa kalau hari ini hari spesialnya dengan Adhitama. Begitu teringat, Embun langsung melihat ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. Embun pun berpamitan pada Bu Asih.
Embun pulang dengan d**a yang berdebar-debar. Apalagi tadi Embun lupa tidak izin. Kini, rasa takut merajai hati. Embun pun membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Dengan langkah pelan Embun berjalan menuju ruang tengah, Adhitama tak ada. Lalu, Embun meletakkan tas dan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya Embun ketika melihat pemandangan yang ada di depan mata. Seketika Embun merasa bersalah. Adhitama menelungkupkan wajah di meja makan. Ada sepotong kue, sebuket bunga mawar, dan beberapa makanan. Serta lilin yang sudah meleleh.
Perlahan Embun mendekat dan mengusap lengan Adhitama. Adhitama pun mendongak dan mengerjap.
“Kamu dari mana, Yang? Kenapa pulang semalam ini?”
Embun gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana pun terasa tegang.
“Jawab jujur, Embun! Apa kamu selingkuh? Apakah kamu habis kencan dengan pria lain?” Suara Adhitama meninggi dan matanya tajam menatap wajah Embun.
Embun pun langsung terkejut dengan pertanyaan Adhitama. Tak biasanya dia marah seperti sekarang ini. Mata Embun berkaca-kaca.
***
Kata-kata Adhitama begitu menyakitkan. Embun menarik napas dalam. Setelah sedikit tenang, wanita itu duduk di depan suaminya.
“Maksudmu apa Mas? Mana mungkin aku melakukan hal keji seperti itu? Bukankah selama ini aku nggak pernah pergi tanpa pamit? Ini tadi aku ada acara mendadak dengan Bu Asih dan lupa nggak meneleponmu.” Embun mencoba menjelaskan.
“Seberapa penting urusanmu dengan Bu Asih? Sampai lupa hari ini anniversary kita, hah?” Sorot mata Adhitama tajam menghunus jiwa.
“Maaf … Mas, aku memang salah.” Embun menunduk.
“Jangan-jangan kamu memintaku menikah lagi karena udah bosan denganku! Atau bahkan memiliki pria idaman lain! Jawab jujur, Embun!” bentak Adhitama.
Mata Embun membola. Tak pernah menyangka Adhitama akan menuduh seperti itu. Tujuh tahun pernikahan, kenapa dia tak bisa mengerti Embun?
“Astaga, Mas! Kamu ngomong apa, sih? Tega kamu menuduhku selingkuh!” Embun membalas menatap tajam Adhitama.
“Lalu dari mana kamu, hah? Jawab! Kalau nggak bisa jawab berarti memang benar, kamu baru kencan dengan pria lain!” Adhitama mengepalkan tangan dan memukul tembok.
Embun hanya bergeming. Tak mampu berkata-kata.
“Nggak bisa jawab, kan? Berarti tuduhanku benar!” Adhitama tersenyum miring.
Akhirnya, meluncurlah setetes cairan bening dari pelupuk mata Embun. Tetapi, Adhitama tak minta maaf, dia justru melenggang keluar meninggalkan Embun.
“Mas! Tunggu!” Embun menarik lengan Adhitama.
“Apalagi?”
“Kamu marah?”
“Menurutmu gimana? Hari ini seharusnya kita merayakan hari jadi pernikahan yang ketujuh, tapi kamu malah kelayapan nggak jelas!” Pria alis tebal itu menepis tangan Embun dengan kasar.
“Mas aku nggak kelayapan!” sentak Embun.
“Lalu apa? Ditelepon suami nggak bisa. HP nggak aktif!”
Embun hanya membisu. Kemudian, mengembuskan napas secara kasar.
“Ponselku lowbat, Mas. Tadi lupa bawa power bank.” Embun menjawab dengan tetap menunduk.
“Halah alesan! Emang sengaja kamu matiin, kan? Agar bisa leluasa berduaan dengan pria lain. Aku nggak pernah menyangka kamu seperti itu, Embun!” Kemudian, terdengar langkah kaki menjauh.
Embun mendongak, ternyata Adhitama pergi. Embun pun berteriak memanggilnya, tetapi tak digubris.
“Sebegitu besarkah kesalahanku sampai kamu sangat marah, Mas? Padahal aku berkata jujur. Aku juga mau membahas soal calon istri untukmu.” Embun bergumam sendiri.
Kemudian, Embun menuju kamar dan membersihkan diri.
Waktu berputar dengan cepatnya. Sudah hampir satu jam berada di kamar, menunggu Adhitama masuk. Namun, dia tak kunjung datang.
“Sepertinya Mas Tama bener-bener marah.” Embun mengembuskan napas kasar, lalu berbaring.
***
Esok pagi, berjalan dengan normal. Embun pun melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.
“Mas udah bangun?” Embun bertanya tanpa rasa bersalah ketika melewati ruang tengah tempat Adhitama tidur semalam.
“Hhmm.”
“Kamu masih marah, Mas?”
“Bukan urusanmu! Aku mau mandi!” Adhitama bangkit dan melangkah menuju kamar mandi.
“Mas … tunggu! Biar kujelaskan, agar kamu nggak salah paham dan menuduh macam-macam lagi.” Embun meraih lengan Mas Adhitama dan memegangnya erat.
Adhitama pun terdiam. Lalu, tiba-tiba pria itu melepas tangan Embun dan melangkah menuju kamar.
Embun menghela napas. Hatinya terasa amat pilu. Lalu, dia melangkah ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Adhitama.
Tiga puluh menit berlalu, Embun telah menyelesaikan semua tugas. Kini, dia duduk manis di ruang makan menanti kehadiran suami tercinta. Tak lama kemudian, muncullah Adhitama. Wajahnya masam tak ada senyum sedikit pun.
Setelah Adhitama duduk, Embun mengambilkan nasi dan lauk untuknya.
“Mas ….” Embun membuka suara.
“Hmmm.” Hanya dehaman yang keluar dari mulut Adhitama.
“Maafkan aku kalau kemarin keluar nggak izin dulu. Karena takut nggak bakal kamu izinkan.”
Adhitama hanya terdiam. Tak menyahut ucapan Embun. Dia masih menikmati sarapannya. Andai Adhitama tahu apa yang terjadi kemarin, terutama perkataan Mama. Apakah Adhitama akan tetap semarah ini?
“Mas, kamu masih marah? Kenapa hanya diam?”
“Menurutmu gimana? Semalam aku udah nyiapin segala macam, untuk merayakan hari jadi pernikahan kita. Kamu malah pergi tanpa pamit, sampai malam pula. Suami mana yang nggak marah. Hah?” Adhitama berkata dengan penuh penekanan tanpa melihat wajah Embun.
“Maaf, Mas. Sekali lagi aku minta maaf. Sebenarnya kemarin aku … mencari calon istri untukmu.” Embun berkata dengan pelan. Meski sebenarnya Embun belum menemukan calonnya, tetapi setidaknya memiliki pandangan siapa yang akan Embun kenalkan.
Mata Adhitama membulat sempurna. Lalu, terdengar suara sendok dibanting. Embun berjingkat.
“Apa maksudmu, Embun?! Mencari calon istri?!” Iris hitam itu menyelisik Embun dengan tajam.
Embun pun mengangguk.
“Kamu bener-bener keterlaluan, Embun!” benta Adhitama.
“Keterlaluan apa Mas? Aku nggak berduaan dengan pria lain, tapi ketemu Bu Asih dan membahas tentang calon istrimu.” Embun memandang Mas Adhitama dengan tersenyum tipis.
“Sudah kubilang berkali-kali, aku nggak mau nikah lagi!” Adhitama menggebrak meja makan, membuat Embun terkesiap.
“Tapi kenapa, Mas?”
“Aku nggak mau menyakitimu. Hanya kamu wanita yang kucintai dari dulu, sekarang, bahkan sampai nanti.”
“Mas semua demi kebaikan kita. Apa kamu nggak mau punya anak? Kita sudah tujuh tahun menikah, tapi belum juga punya momongan.”
“Kebaikan apa? Oh, jangan-jangan kamu punya pria simpanan, ya?” Adhitama tersenyum miring.
“Astaga, Mas. Kenapa kamu berpikiran kayak gitu? Aku nggak pernah punya hubungan dengan pria lain. Semua kulakukan demi kamu. Aku yakin kamu pasti ingin menggendong bayi, kan?”
“Jangan pegang-pegang! Muak aku disuruh nikah terus!” Adhitama menggebrak meja, lalu bangkit dan meraih tas yang ditaruh di sampingnya.
“Mas! Kita belum selesai bicara! Jangan pergi dulu!” teriak Embun.
“Bosan kalau yang kamu bicarakan hanya pernikahan keduaku terus!” Adhitama melambaikan tangannya, lalu melangkah meninggalkan Embun.
“Besok aku akan ajak calon istrimu ke sini, agar kalian bisa saling kenal, Mas!” teriak Embun lagi.
Seketika Adhitama menghentikan langkahnya. Lalu, menoleh dan menatap Embun dengan tajam. Seolah-olah hendak berbicara, tetapi urung. Kemudian, melenggang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***
Bersambung