"Hhhmmm mencurigakan..." gumam Ana sambil menyipitkan matanya, firasatnya tidak enak.
"Udahlah sono siapin sarapan." Kata Jino sembari mengibaskan tangannya.
"Iya, iya! Nyuruhnya kayak gue pembokat aja sih." Sungut Ana.
"Ya lo kan emang pembokat pribadi gue." Kata Jino.
"Dihhhh... gue kasih sianida entar makanannya." Kata Ana.
"Kasih cinta aja gimana?" goda Jino sembari menaik-turunkan alisnya.
"Ogah!" seru Ana sembari bergegas pergi meninggalkan Jino yang tertawa.
•••
Jino sudah rapih dan wangi, ia kemudian bergegas ke meja makan, dan menemukan Ana sedang sibuk menghidangkan masakannya.
"Masak apa jadinya?" tanya Jino.
"Liat aja sendiri." Balas Ana.
Jino pun melirik meja makan, ikan goreng dengan bayam yang direbus.
"Biar sehat ada sayurnya." Kata Ana.
"Tapi cuman direbus gini?" kata Jino.
"Ya emang kenapa? Gak boleh kebanyakan garem sama gula, ikannya udah pakek garem. Udah makan aja, protes mulu." Kata Ana.
"Siapa yang protes? Kan cuman nanya." Kata Jino kemudian duduk pada salah satu kursi meja makan.
"Makasihnya mana?" tanya Ana.
"Iya makasih ya istriku." Balas Jino sambil tersenyum antara iklas dan tidak.
Tapi senyuman Jino hilang saat ia baru menyadari sesuatu. "Belum mandi ya?"
Ana nyengir. "Kan masak dulu, baru mandi. Kalau mandi dulu baru masak, entar bau lagi."
"Logic sekali. Udah sana mandi." Kata Jino sembari menggerakan kepalanya mengarah keluar dapur.
"Mau makan dulu." Kata Ana sembari duduk di kursi meja makan yang lain.
Jino menggelengkan kepalanya.
"Lo tuh ya, mestinya bersyukur punya suami ganteng kayak gue, harusnya terus jadi rajin mandi, ngerawat diri, lebih care juga sama gue. Kalau gue selingkuh gimana?"
Ana terdiam sejenak, kemudian menggendikan bahunya.
"Kan gue gak cinta sama lo, jadi kalau lo mau selingkuh silahkan." Kata Ana cuek dan santai.
Jino mendengus sembari berucap. "Awas aja lo nyesel."
"Emang lo beneran mau selingkuh? Atau aslinya lo udah punya pacar? Tapi karena dijodohin sama gue jadi lo diputusin?" kata Ana sama sekali tidak terlihat terbeban dengan perkataan Jino barusan.
"Gue gak kepikiran buat selingkuh sih, males cari cewek hehehe. Gue juga gak punya pacar." Balas Jino jujur.
"Kenapa? Katanya lo ganteng, tapi kok gak laku?"
Ekspresi Jino berubah datar mendengar penuturan Ana.
"Emang mata lo rabun ya? Kan keliatan kalau gue ganteng, tanpa perlu gue bilang gue ini ganteng." Kata Jino.
"Masih gantengan doi." Ucap Ana.
"Oh jadi lo punya doi?" tanya Jino.
"Gak sih.’’ Gumam Ana. ‘’Jadi kenapa lo gak punya pacar?"
"Males aja, gak penting, masih muda ini. Eh gak taunya gue malah udah nikah." Kata Jino.
Ana menganggukan kepalanya mengerti. "Gue juga males cari pacar. Cowok tuh resek."
"Cewek juga ribet." Timpal Jino.
"Ya udah impas, makanya cowok cewek harus jadi satu."
Jino dan Ana kemudian sama-sama tertawa tanpa sebab. Pembicaraan ringan ini, mungkin akan menjadi awal mereka dekat dan menjalin hubungan yang lebih baik.
•••
Mood Jino jadi lebih baik hari ini, hanya karena tertawa bersama Ana, padahal ia tidak tahu apa yang membuat mereka banyak tertawa selama berbincang. Padahal mereka hanya membahas hal-hal ringan, bahkan kebanyakan random.
Membuat Jino entah kenapa jadi ingin lebih cepat bertemu Ana lagi.
Ia akhirnya memutuskan untuk menyuruh Ana ke kantor. Ia pun mengambil ponselnya, untuk mengirimi gadis itu pesan.
To: Ana
Entar jam makan siang ke kantor ya? Sekalian mau gue kenalin ke temen-temen gue.
•••
Jantung Ana berdegub keras, perutnya terasa mual, dan kepalanya sedikit pusing karena melihat banyak orang di sekitarnya yang menyapa. Padahal ini di kantor orang tuanya sendiri. Langkah kaki Ana pun jadi sangat lamban saat memasuki kantor, matanya bergetar, dan ia sangat sulit untuk menjawab sapaan orang-orang, meskipun hanya sekedar dengan senyuman.
Saat matanya melihat kantin, Ana lebih mempercepat langkahnya untuk masuk ke sana, agar bisa segera bertemu dengan Jino yang katanya menunggu di sana. Dan benar saja, cowok dalam balutan kemeja putih, dasi biru, dan celana hitam itu ada di sana, ia langsung tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya ke arah Ana, begitu Ana muncul.
Ana dengan terburu-buru menghampiri Jino. Tidak ada yang Ana kenal di sini selain Jino. Ia memang hampir tidak pernah ke kantor orang tuanya, bahkan meskipun ada acara penting sekalipun. Orang tuanya juga tidak pernah memaksa, meskipun sering menyuruh.
Ana duduk di sebelah Jino. Sementara di depan Jino, ada tiga orang teman-teman Jino, yang sebelumnya sedang bercengkrama. Namun setelah kehadiran Ana, mereka pun memfokuskan diri pada gadis itu.
Jino pun akhirnya mulai memperkenalkan ketiga temannya itu pada Ana. "Kenalin temen-temen gue, ini yang buluk Felix-"
"Anj-"
"Shut, gak boleh ngomong kasar di depan istri gue, entar dia takut.’’ Jino memotong kalimat temannya yang bernama Felix, saat cowok berkulit tan itu hendak mengumpat. Jino kemudian melanjutkan lagi acara memperkenalkan teman-temannya. ‘’Nah ini sodaranya 8ball, namanya Jazmi, kita sama-sama Oppa nih.’’ Jino berucap sembari menunjuk cowok dengan senyuman manisnya.
‘’Satu lagi namanya Injun atau Randy, kalau dia mah Kokoh." Teman terakhir dengan postur tubuh kecil itu pun akhirnya ikut diperkenalkan juga.
Orang ganteng temenannya sama yang ganteng juga ya? Batin Ana.
"Ana," ucap Ana sambil cengengesan kikuk. Ia tidak tahu harus bagaimana, hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang membuat Ana jadi bingung harus bersikap seperti apa.
"Mau pesen sesuatu? Biar gue pesenin." Kata Jazmi sembari tersenyum lembut.
"Ee... gak usah, bisa pesen sendiri." Tolak Ana.
"Gak usah sungkan gitu." Ucap Jazmi.
"Iya nih Na, canggung banget sih. Santai ajalah." Celetuk Jino. ‘’Apa lagi lo kan anak Bos di sini, semua orang di sini bisa lo suruh-suruh.’’
"Ya udah aku pesen soda aja sama kentang." Kata Ana pada akhirnya.
"Ya udah, bentar ya?" setelah itu Jazmi bergegas pergi untuk memesan.
"Sama gue pakek gue-lo, sama orang lain pakek aku." Cibir Jino.
"Biarin." Bales Ana sembari sedikit menjulurkan lidahnya pada Jino.
Selama menunggu pesanan, Randy dan Felix terus mengacak Ana bicara, tapi Ana hanya membalas seadanya.
"Pengen pulang." Bisik Ana pada Jino setelah Randy dan Felix punya topik berdua.
"Dih, baru juga dateng." Balas Jino.
"Gak enak ketemu banyak orang." Kata Ana.
"Biasain, entar gue bakal kenalin lo sama lebih banyak orang. Lo tuh harus berubah, jangan ngerem terus di rumah sampe gak punya temen."
"Enakan gak punya temen, terbebas dari punya musuh."
Jino berdecak sembari menatap Ana tajam. "Itu sama aja kayak lo gak hidup b**o. Hidup itu ya gini, ada yang bakal suka dan benci sama lo, namanya juga hidup bersosialisasi. Tapi yang namanya sosialisasi itu penting."
Ana memilih diam sembari mengembungkan pipinya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Untungnya Jazmi tak lama datang dengan membawa pesanannya.
"Makasih." Ucap Ana sembari menerima pesanannya dari tangan Jazmi.
"Sama-sama. Sering-sering main sama kita, biar Jino gak jomblo sendirian. Kadang kita nongkrong sambil bawa pasangan, tapi Jino selalu sendirian. Waktu makan mie tek-tek di alun-alun, kita ngobrol sama pacar, dia malah ngobrol sama Ibu-Ibu penjual mie tek-teknya." Ana sontak tertawa mendengar cerita Jazmi.
"Yee lebih berfaedah ngobrol sama Ibu-Ibu penjual mie tek-tek." Sahut Jino.
"Faedahnya naon?" tanya Felix.
"Menghibur si Ibu, karena diajak ngobrol cogan." Balas Jino percaya diri.
"Dih," cibir Felix.
Jino lalu mulai asik mengobrol dan bercanda dengan teman-temannya, sementara Ana hanya diam sembari memakan kentang gorengnya. Sungguh, Ana ingin pulang.
Tapi tidak lama kemudian, Randy mengingatkan kalau jam makan siang segera habis. Mereka pun mulai buru-buru bersiap pergi dari kantin untuk kembali kerja, termasuk Jino.
"Ya udah gue balik kerja dulu. Besok-besok gue kenalin sama lebih banyak temen gue." Kata Jino sembari beranjak berdiri. Dia jadi yang paling terakhir pergi.
"Gak mau," balas Ana.
"Emang enak apa? Hidup tanpa temen? Emang gak kesepian?" tanya Jino.
"Ya kesepian, tapi males aja kenalan sama orang asing." Balas Ana.
"Ya udah kalau kesepian, tapi gak mau kenal sama orang asing. Kita punya anak aja, biar lo ada temen tapi bukan orang asing."
Ana sontak merengut mendengar penuturan Jino.
"Lo tuh ancemannya gitu mulu." Gerutu Ana.
"Ya biarin, pokoknya kalau lo gak nurut sama gue, ancemannya itu. Gue gini buat kebaikan lo sendiri. Udah nih uang, buat ongkos balik. Entar gue makan malem di rumah, pengen ayam goreng." Kata Jino sembari memberikan lembaran uang sepuluh ribu dan lima ribu.
Tapi Ana menengadahkan tangannya lagi, meskipun sudah menerima lima belas ribu itu.
"Ya udah mana uang buat beli ayamnya?" tagih Ana.
Jino berdecak, padahal Jino hampir memasukan kembali dompetnya ke saku celana.
"Harga ayam?" tanya Jino.
"Sekilo bisa 35 atau 40-an, atau 45. Belum bumbu-bumbunya, bumbu-bumbu sukanya mahal." Balas Ana.
"Buset mahal banget."
Jino akhirnya memberikan dua lembar 100 ribuan pada Ana.
"15 ribunya balikin." Kata Jino.
"Dih peritungan. Suami itu gak boleh perhitungan, apa lagi ngasih uang belanja. 15 ribunya buat ongkos, dah ya istrimu pulang dulu, bye!’’
Jino mendengus kemudian menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ana.[]