Jino pulang dengan kondisi benar-benar lelah, dan malah menemukan Ana dalam kondisi bergulung di dalam selimut sembari main ponsel.
Padahal Jino sudah punya harapan tinggi sebelum pulang, akan ada gadis cantik yang sudah bersih dan wangi menyambutnya di depan pintu, membawakan tas kerja, menyiapkan air hangat, teh dan makan malam. Karena Jino juga sudah mengabari pada gadis itu, sudah mau pulang. Untuk kode.
Jino menghela napas sembari mengurut pelipisnya sejenak. Ia kemudian meletakan tas kerjanya di lantai, di sudut dekat pintu, lalu berjalan melangkah mendekati ranjang.
Ana sudah tahu Jino pulang, tapi milih bodo amat.
Jino menarik selimut yang menggulung tubuh Ana, hingga sekujur tubuh Ana terlihat, dan membuat Jino seketika naik pitam. Bagaimana tidak? Rupanya gadis itu belum mandi. Padahal sudah malam.
"Ana!" bentak Jino kesal. Ana hanya melirik sebagai respon, membuat wajah Jino memerah karena emosi yang meletup. Batinnya, percuma gadis cantik kalau begini, dia tetap menjadi seperti seonggok sampah.
"Lo belum mandi juga hah?!" marah Jino.
Ana beranjak duduk, dan menatap Jino tanpa rasa takut meskipun Jino sudah terlihat sangat marah sampai hampir meledak. "Ini protes! Karena lo udah nyium gue sembarangan!" kata Ana yang membuat ekspresi marah Jino sedikit lebih tenang, tapi tetap saja, Jino masih marah.
Pria itu memutar kedua bola matanya malas, kemudian menatap Ana dengan tatapan sulit diartikan –mungkin lebih ke tatapan mencoba sabar.
"Gue suami lo. Jadi gak salah dong kalau lo nyium lo, bahkan ngelakuin lebih dari itu, juga gak masalah!’’ Jino tanpa sadar bicara dengan nada tinggi di akhir. Dinding kesabaran Jino mulai rapuh.
"Jangan ngatas namain lo suami gue terus dong! Kalau gue gak setuju, sama aja itu tindak pelecehan!"
Dinding kesabaran Jino yang rapuh, akhirnya ambruk juga. Kalau ini film animasi, mungkin kepala Jino sudah berasap lalu meledak. Meladeni Ana seperti meladeni bocah 5 tahun yang tantrum.
Jino tak lama membuka dasinya, disusul dengan kancing teratas kemejanya, serta menggulung lengan bajunya sampai sesiku.
Tanpa berkata apa-apa, Jino tiba-tiba meraih tubuh Ana dan meletakannya di bahu seperti mengangkut karung beras.
Ana tentu saja jadi panik, ia pun memukuli b****g Jino sembari berteriak "Mau ngapain?!"
"Mandi, sama gue. Biar gue gosok badan lo, sampe merah-merah, sampe berdarah sekalian." Balas Jino.
"Psikopat lo!"
Jino menulikan pendengarannya. Ia pergi membawa Ana ke kamar mandi, sesampainya di sana, Jino memasukan tubuh ke dalam bath up, kemudian menyalakan shower hingga seluruh tubuh Ana basah, tapi masih dengan pakaian lengkap.
"Jino!" protes Ana.
Ana kemudian beranjak berdiri, ia mengambil shower dan mengarahkannya pada Jino, hingga tubuh Jino ikut basah kuyub dengan kondisi masih memakai pakaian lengkap juga.
Jadi terasa lebih dingin karena basah kuyub dengan pakaian. Jino tidak terima, ia masuk ke dalam bath up dan mencoba merebut shower itu dari Ana, tapi malah membuat pancuran air shower kemana-mana. Kadang mengenai Ana, kadang mengenai Jino sendiri.
Karena posisinya berdiri, Jino mulai merasa lelah. Ia akhirnya berhenti memperebutkan shower. Tangannya beralih meraih sampo. Jino membuka tutup botolnya, dan menuangkan isinya di atas kepala Ana, sebelum meremas-remasnya hingga berbusa.
Ana tidak terima, ia ingin membalas perbuatan Jino dengan menjambak rambutnya. Namun karena tinggi badan yang cukup berbeda jauh, Ana tidak sampai untuk meraih kepala Jino, ia malah hanya melompat-lompat dengan tangan yang berusaha meraih.
Kaki Ana pun akhirnya tergelincir, membuatnya jauh ke depan, menimpa tubuh Jino yang otomatis ikut terjatuh ke belakang. Brak! Beruntung kepala Jino tidak sampai membentur bagian pinggir bath up, karena Jino berhasil mengontrol diri.
Posisi Ana jadi berada di atas tubuh Jino, Jino memperhatikan wajah Ana yang memerah karena menahan marah, kesal, sekaligus malu karena posisi mereka yang seperti ini. Semuanya bercampur jadi satu.
"Bisa gak lo gak kekanakan, gak malu sama diri sendiri? Disuruh mandi aja susah, heran." Celetuk Jino.
Ana terdiam, hanya matanya yang bergerak sebagai respon. Membuat pandangan Jino pun jauh ke matanya yang indah.
Jino pun menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak Ana, ia mengangkat tubuh gadis itu dan mendudukannya di atas bath up. Ana hanya diam tidak melawan, ia malah menundukan kepalanya. Dan seolah membiarkan Jino melakukan apapun padanya.
Jino pun duduk di hadapan Ana, dan membersihkan kepala serta rambut Ana dengan lebih benar dan lembut. Lagi-lagi Ana hanya diam, sepertinya dia sedang merasa bersalah.
Selesai membersihkan kepala dan rambutnya, Jino beralih hendak membuka kaos Ana untuk menyabuni tubuh gadis itu. Tapi Ana hanya diam tidak mau mengangkat kedua tangannya. Yah Jino mengerti, mana mau ia membuka baju di depannya, dan membiarkan tubuhnya disabuni? Dicium saja marah. Jadi Jino tidak memaksa.
Jadi Jino hanya menuangkan sabun di atas puff, lalu menyerahkannya pada Ana.
"Mandi yang bener, yang bersih. Gue mandi di kamar mandi deket dapur aja. Habis ini lo bisa nyiapin makan malem sama teh anget?"
Ana tidak langsung merespon, namun akhirnya ia menjawab iya dengan nada lirih, tanpa sedikitpun menatap Jino.
Jino pun keluar dari dalam bath up, ia pergi ke lemari tempat penyimpanan handuk terlebih dahulu untuk mengganti bajunya yang basah. Karena air akan menetes dari bajunya yang basah, jadi tidak mungkin ia pergi ke kamar mandi dekat dapur dengan kondisi pakai baju basah. Nanti bisa-bisa lantainya banjir.
"Belajar buat gak kekanakan. Lo udah nikah, udah punya suami, lo udah pasti tau tanggup jawab seorang istri tuh apa, belum lagi entar jadi Ibu." Ujar Jino sembari sibuk membuka satu persatu bajunya, namun ia melapisi terlebih dahulu bagian bawahnya dengan handuk sebelum melepas celananya.
Ana akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Jino dengan tatapan sendu.
Jino yang sebelumnya membelakangi Ana, berbalik sambil tersenyum.
‘’Meskipun kita nikah karena perjodohan, status kita tetap nikah. Dan nikah itu ada tanggung jawabnya masing-masing yang harus dijalanin, suka gak suka.’’
•••
Jino baru saja selesai mandi dan langsung ke dapur. Ia sudah mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman. Berupa kaos oblong putih, serta celana bahan selutut warna hitam.
Sesampainya di dapur, saat ia mendekati meja makan. Jino melihat ada nasi goreng dengan tambahan krupuk dan timun yang ada di atasnya, serta segelas besar teh manis hangat yang terhidang di atas meja makan.
Jino tersenyum sembari menarik salah satu kursi meja makan, kemudian duduk di sana. Tapi Jino akhirnya baru menyadari kalau Ana tidak ada di dapur, membuat Jino curiga nasi goreng ini bukan buatan Ana. Bisa saja kan Ana pesan online? Karena malas masak. Atau yang lebih parah, jangan-jangan ini buatan Mama mertuanya?
"Ana!" teriak Jino memanggil.
Tak lama Ana muncul di dapur, dengan penampilan yang membuat Jino terdiam sejenak. Gadis itu mengenakan gaun tidur tanpa lengan, dengan rok selutut, dan bahannya sedikit transparan. Ya bagaimana Jino tidak terpana? Dari awal bertemu dengan Ana, gadis itu hanya pakai kaos dan celana panjang, hitam-hitam pula. Bahkan saat acara makan malam keluar sekalipun.
"Ini lo yang masak?" tanya Jino setelah tersadar dari lamunannya.
"Ya siapa lagi? Mama sama Papa kan lagi keluar kota." Balas Ana sembari duduk di kursi yang ada di hadapan Jino.
Jino seketika baru teringat akan hal itu, pantas pekerjaannya hari ini sangat banyak. Tiap atasan pergi keluar kota karena pekerjaan, pekerjaan bawahan jadi lebih banyak.
"Tumben pakek baju kayak gitu?" tanya Jino to the point sambil mulai makan.
"Gak suka? Ya udah gue ganti nih." Balas Ana dengan nada ketus, sembari beranjak berdiri.
"Nanya doang elah, baperan amat.’’ Kata Jino sembari melirik Ana dengan tatapan malas.
Jino melirik jam dinding yang berada di atas kulkas. Sudah jam 10 malam rupanya, peraturan pertama yang Jino buat untuk Ana kan, harus sudah tidur jam 9, lewat dari jam itu, maka Ana akan dapat hukuman.
Jino sontak menyeringai. "Oh, jadi udah nyerahin diri sendiri buat dihukum ceritanya?"
Ana tidak menjawab, wajahnya hanya berubah jadi merah, kemudian ia langsung membuang muka.
"Kalau lo belum siap gue gak akan maksa, lo udah bikinin gue makan sama teh, jadi ya udah gak papa." Kata Jino.
Ana seketika menatap Jino dengan ekspresi senang.
"Beneran? Yes! Ya udah dadah." Ana langsung beranjak dari kursi, dan pergi ke kamarnya dengan melompat senang seperti anak kecil.
Jino berdecak melihatnya, ia malah jadi berpikir untuk tetap menjalankan hukumannya.
"Nanti kalau habis makan, gue ke kamar dan lo belum tidur! Bakal tetap jadi ya!" seru Jino.
•••
Terbiasa tidur diatas jam 12, membuat Ana kini sulit untuk terlelap. Tapi ia takut kalau Jino benar-benar akan melakukan itu padanya. Sungguh Ana benar-benar takut. Dia hampir tidak pernah melakukan skinship dengan orang asing, jangankan skinship, berinteraksi dengan orang asing saja hampir tidak pernah.
Jadi Ana tidak bisa membayangkan kalau ia harus melakukan skinship dengan Jino. Cukup ciuman tadi siang, dan itu rasanya benar-benar aneh.
Ana berjenggit terkejut saat mendengar pintu kamar dibuka. Ana buru-buru menutup matanya dan pura-pura tertidur.
"Udah tidur?" suara Jino tak lama terdengar.
"Na? Udah tidur benerkan? Jangan bohong ya? Ya udah malem." Tak lama terdengar bunyi ranjang yang berdecit, disusul dengan beban tambahan di kasur Ana yang dapat Ana rasakan, menandakan ada orang lain yang menempati kasur Ana.
Jino rupanya sudah membaringkan tubuhnya di samping Ana.
•••
Ana bangun lebih awal dari biasanya, karena tidur lebih awal juga, meskipun rasanya sulit.
Ana beranjak duduk, sambil menguap lebar dan merentangkan kedua tangannya ke atas.
"Enak juga tidur pakek gaun tidur." Monolog Ana. Ia kemudian terdiam untuk mengumpulkan nyawanya sejenak.
Setelah nyawanya terkumpul Ana beranjak berdiri, ia kemudian menolehkan kepalanya ke belakang sejenak, ke arah ranjang, dan menemukan Jino masih terlelap.
Ana berjalan ke arah pintu balkon yang terbuat dari kaca, kemudian membuka gorden dan tirainya hingga cahaya matahari masuk dan menerpa Jino.
Jino mengernyitkan kening, namun ia tidak terbangun, malah berbalik badan jadi memunggungi pintu balkon.
Ana berjalan mendekati Jino, kemudian menyentuh bahunya sambil sedikit diguncang.
"Jino, masuk kantor jam berapa?" tanya Ana.
"Agak siang. Udah siapin sarapan sama baju buat ke kantor aja sana." Balas Jino masih dengan mata terpejam. Namun nada Jino bicara terdengar memerintah, membuat Ana kesal.
Ana mengerucutkan bibirnya. "Gak enak banget sih nyuruhnya, emangnya gue pembokat apa?"
Jino jadi membuka matanya, kemudian melirik Ana yang berdiri di sampingnya.
"Ya udah sayang kuuu... siapin sarapan ya? Jangan pakek telur ceplok sama kecap lagi, terus hari ini aku mau pakek baju yang nuansanya cerah." Kata Jino.
"Ya gak gitu juga nyuruhnyaaa..." balas Ana.
"Aelah serba salah. Jangan lupa lo juga harus mandi." Kata Jino.
"Males ah."
"Kalau lo gak mau mandi, entar gue bikin lo harus mandi, mau?"
Kening Ana mengernyit. "Hah? Emang gimana caranya?"
Jino beranjak duduk, kemudian menatap Ana. "Jadi gak tau? Mau gue contohin?"[]