bc

Penjara untuk Perempuan

book_age18+
390
IKUTI
1.5K
BACA
dark
family
goodgirl
drama
tragedy
sweet
no-couple
mystery
feminism
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Nadya Aura Amelia sangat terobsesi dengan mimpinya, sangat berambisi yang menjadi yang paling hebat dan nomor satu di dunia modelling. Ia sangat menantang keras tindakan seksual yang sering terjadi di balik gemerlapnya dunia model namun ia terjebak dengan obsesinya sendiri sehingga membuatnya terjerumus pada dunia gelap. Leonna adalah seorang traveler kuliner dengan, perempuan bertato yang ingin menghempaskan stigma masyarakat yang menilai seseorang dari penampilannya dan menentang keras aksi rasialisme yang terjadi di kampus, tempatnya mengajar dan membantu Mariana, mahasiswa dari Papua yang dianggap beda dan selalu digunjing karena rasnya, tidak lupa dengan misi Mariana membebaskan Antonio sang kakak dari jeratan kasus yang menjebak kehidupan sang kakaknya. Bersama sahabatnya, Zahira juga memiliki misi, membantu Eryna, kepala desa sekaligus ibu rumah tangga yang ingin menentang budaya patriarki di lingkungannya dengan cara memajukan desa terpencil yang sudah tertinggal bisa menjadi sukses dan membawa kesejahteraan bagi penduduk. Dengan tujuannya ini, Zahira bisa menunjukkan pada ayahnya yang menentangnya untuk menempuh pendidikan tinggi, bila ia akan menjadi perempuan sukses, dapat memperbaiki ekonomi keluarga tanpa harus dipaksa menikah dengan pria yang dijodohkan oleh ayahnya.

Ini tentang lima perempuan yang melawan banyak hal yang menjadikan mereka terpenjara. Apakah mereka bisa membebaskan diri dari penjara masyarakat yang menganggap perempuan tidak ada apa - apanya?

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB - 1
Nadya              Dalam jiwa ini aku yang paling berkuasa menentukan jalan hidupku. Tubuhku membawaku ke mimpi besar yang sudah lama ku tunggu. Aku bahagia terlahir menjadi seorang perempuan, kecantikan yang kumiliki bukan sekedar angan - angan semu. Mereka banyak yang iri padaku. Menginginkan menjadi aku, apa yang aku punya, dan semua yang membuat mereka pada akhirnya cemburu. Aku bangga. Sangat bangga pada keglamoran yang sudah berhasil aku raih. Sukses menjadi tujuan utamaku saat ini.            Nadya Aura Amelia. Namaku kini sangat bersinar dan sudah mencapai kejayaannya untuk pantas ku sombong kan diri pada mereka yang meragukan mimpi yang kumiliki. Sekarang menjadi model terkenal bukan suatu mimpi lagi. Bukan hayalan, bukan ilusi, tapi fakta yang harus mereka akui. Dan tidak ada satu pun orang yang bisa melarang apa yang aku ingini. Mau itu mama dan papaku, aku tidak peduli. Ada Marco, kekasihku yang selalu setia menemaniku bekerja hampir tiap hari dan mendukung apapun yang kulakui. "Hai sayang," sapaku setelah selesai berganti baju dan mengakhiri pemotretan hari ini. Marco menungguku di depan mobilnya, ketika aku datang padanya, aku langsung memeluk dan mencium bibirnya yang merah namun asap yang menguar dari mulutnya sebenarnya sangat ku benci. Aku menjauhi wajahku dari wajahnya. Ia seakan memahami yang tidak kusuka. Dibuangnya seputung rokok itu. "Harusnya kamu terbiasa sama kebiasaan aku ini. Ini cuma asap rokok doang, Nad." Aku melepas pelukannya dari tubuhku. "Bukan aku yang harus terbiasa, tapi kamu yang harus terbiasa sama hal yang gak aku suka. Aku gak mau tubuh aku bau asap atau apapun itu yang buat tubuh aku jadi kotor. Paham?" Seorang Nadya memang sangat memerhatikan penampilan, aroma, dan kebersihan. Semua itu harus aku jaga, bagiku kesempurnaan tanpa harus bertemu celah yang menjijikkan yang sangat gak aku suka. "Kalo kamu masih mau jadi pacar aku, kamu harus ikuti mau aku. Sederhana, 'kan?"  Marco bersikap berserah dan pasrah dan memang harus begitu. Ia harus mengikuti mauku, aturanku, kalau memang dia masih mau menjadi kekasihku. Dibukanya pintu mobil untukku lalu kita berdua pergi ke club untuk memenuhi janjiku pada Marco untuk menemani dia ke acara ulang tahun temannya. * * * *                                                                        Aku tidak suka alkohol. Aku tidak suka minuman keras. Minuman ini hanya akan membuat fisikku jadi rusak. Kalau bukan karena Marco aku malas datang ke sini. Aku tidak suka dunia malam apalagi apa yang tersedia di sini. Bau - bau alkohol adalah hal yang kubenci. Aku menaruh gelas, kusisakan sedikit sirup saja dan kumulai mencari Marco yang tiba - tiba saja hilang dan tidak kembali setelah berkali - kali kuhubungi. Aku tidak tau pasti Marco ada di mana. Cahaya yang berkelap-kelip serta penerangan yang minim membuatku kesulitan mencarinya di tengah orang - orang yang sedang berdansa. Bau alkohol menguar di hidungku, tangan - tangan nakal kurasakan mulai ada yang menggerayangi bokongku namun aku segera menangkis dan mendorong pria itu. Dan ia terjatuh begitu saja di bawah kaki - kaki yang tengah mengikuti irama.            "b******k!" Cowok yang tak ku kenal bangun dan langsung menunjuk - nunjuk aku. "Gila Lo ya!? Berani Lo buat gue jatuh, mau malu - maluin gue Lo!" Cowok itu membanting botol minumannya hingga suaranya menarik perhatian sekitar. Dasar cari perhatian.             "Lo yang gila! Pangkat apa Lo berani nyentuh - nyentuh gue, hah!?" bentakku emosi. Kuyakini semua orang pasti sedang asyik menonton perdebatan kami.             "Heiii... Hei... Hei... Ini diskotik, siapa aja yang ada di sini bebas melakukan apa yang dia mau, semua perempuan sexy - sexy ini pake baju minim untuk menarik perhatian lelaki, 'kan? Untuk dipandang dan untuk dinikmati, dan termasuk menyentuh...." Ia mendekati ku dan tangannya mulai mengarah ke payudaraku tapi bukan Nadya kalau aku hanya diam saja diperlakukan serendah itu. Ku tampar wajahnya tanpa rasa takut.              "Jangan Lo pikir Lo bisa menyamaratakan gue dengan yang lain ya," cecarku tambah emosi ketika dia merendahkan harga diriku.              "Kurang ajar!" Wajahnya sudah memerah, matanya memancarkan kebencian padaku. "Kalo gitu Lo harus terima akibatnya udah berurusan sama gue!" Lelaki yang memiliki tubuh jangkung itu langsung menarik tanganku dan memelukku erat berusaha mencium wajahku. Aku memberontak, aku berusaha mendorongnya, satu orang pun tidak ada yang berusaha mau menolongku sampai akhirnya seseorang menarik kerah kemeja kotak - kotaknya dari belakang dan memberikan bogeman mentah pada wajahnya sampai hidungnya ku lihat berdarah. Marco terus menghajarnya sampai babak belur, sampai penjaga diskotik itu datang. Ini sudah tidak beres. Keluar dari sana, aku langsung menghubungi pengacaraku, kenapa aku menghubunginya? Semua yang kulakukan harus terencana dan aku sudah menyiapkan semua hal sebelum sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Marco sudah melukai orang lain. Aku rasa, aku harus berhati - hati supaya kasus ini tidak sampai ke meja hijau karena tidak mungkin kalau lelaki tadi tidak melaporkan kekerasan tadi pada polisi.              "Iya... Saya gak mau nama saya atau pacar saya, Marco terjerat kasus," kataku serius.              "Sayang...." Aku mengangkat rendah tanganku, telapak tangan mengarah padanya, isyarat untuk menunda bicara kepadaku dulu.             "Oke, saya percayakan pada anda." Sambungan terputus. Marco gelisah, tapi aku tetap tenang. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan.             "Kamu mau bilang apa tadi?" tanyaku.             "Kamu buat apa hubungi pengacara kamu itu?" tanyanya serius             "Untuk jaga - jaga, kalo aja cowok tadi lapor ke polisi." jawabku santai.             "Aku bisa urus semua itu Nadya, aku laki - laki, aku gak butuh perlindungan dari pacar aku sendiri, aku---"             "Aku gak peduli kamu suka atau gak, yang jelas aku gak mau nama aku rusak gara - gara kejadian yang tadi. Itu yang paling penting," selaku tidak peduli apapun tentang pendapatnya. Pembicaraan selesai walaupun dia mau bicara lagi pun tidak akan aku pedulikan. Dan untungnya dia tahu watakku seperti apa. Dia lebih memilih untuk bungkam. Dan yah, aku tidak suka perkataanku ditentang dengan alasan, "aku seorang lelaki" seakan aku sebagai perempuan tidak bisa melebihi kemampuan mereka. * * * * Mewarisi sifat keras kepala dari papaku ternyata membawa diriku bisa berjalan sejauh ini. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Rasanya sangat - sangat membanggakan bisa memamerkan apa yang aku punya pada teman - teman SMA-ku yang dulu membully ku dan meremehkan mimpiku. Aku tau, bahwa aku selama ini selalu menjadi bahan obrolan ter-hot untuk pentolan - pentolan di SMA-ku, mau itu yang seangkatan denganku, atau kakak tingkat atau juga di kalangan adik kelasku. "Iya, Nadya yang dulu katanya keluarganya berantakan itu?" "Nadya yang bokapnya selingkuh sama ibu Helma yang ngejabat jadi anggota partai politik itu, 'kan?" "Sama siapa, sih, sodaranya yang katanya dihamilin gitu," "Aduh, dari keluarga berantakan, nggak jelas, bisa jadi model gimana ceritanya?" "Ah, Lo, kek gak tau aja dia, 'kan dari keluarga yang gitu - gitu juga berduit, maen orang dalem lah."               Aku mungkin dulu tidak banyak bicara dan memilih bungkam. Aku tahu, masalah keluargaku sudah banyak yang tahu, bahkan tersebar luas. Semua orang memojokkanku, aku dijudge jelek dan rendah oleh mereka, sampai aku tidak punya orang terdekat semasa aku sekolah. Dan bahkan ketika reunian pada sore hari ini, aku memang sengaja datang untuk memamerkan prestasiku. Semakin mereka membicarakanku, semakin pula aku mengangkat dagu tinggi - tinggi. Berjalan dengan anggun bak seorang putri. Dipandangi dari ujung kepala sampai kaki. Di aula ini, aku akan berbicara untuk membungkam mulut - mulut mereka yang tidak tahu apa - apa dan sehebat itu mereka berani membicarakan tentang diriku yang bahkan seujung kuku saja mereka tidak akan pernah tahu sama sekali. Aku dan perjuanganku menjadi model yang diidolakan dan dikagumi oleh semua orang.               "Okee, setelah tadi kita lihat penampilan permainan musik teman - teman kita, gue mau mengajak salah satu alumni yang dulu bener - bener primadonanya di sekolah walau pun auranya dingin, ya Lo taulah cuek - cuek gimana gitu, 'kan yaa tapi tetep keliatan cantikkkkk bahkan tambah tambah cantik lagi dan hebat, dia sekarang udah jadi model, udah terkenal, siapa lagi kalo bukan Nadya Aura Ameliaaaaaa!!! Beri tepuk tangannya teman - teman!!!" seru MC yang aku senang dia telah membanggakan namaku di depan banyak orang yang membuatku semakin percaya diri.               Semua orang memberi sorakan, tepuk tangan yang meriah padaku. Dan orang - orang yang tidak berguna yang kerjaannya cuma menggosipkan tentang diriku saja akan aku buat semakin panas dengan menunjukkan prestasiku. "Selamat sore semua..." Ku sapa mereka dengan senyum bibir yang membentang di wajahku. Mereka menyapaku dengan tatapan terkagum - kagum. Siapa yang tidak terpukau denganku kecantikanku? Berdiri dengan rasa percaya diri, rambut panjang lembut yang menjuntai, jenjang kakiku yang terbuka menampilkan kulit putih yang bersih, tubuhku yang dibalut dress sepanjang atas lutut berwarna cream, mataku yang bulat nan elok indah yang seolah ku gunakan hanya untuk menghipnotis mereka. "Aku Nadya. Nadya Aura Amelia. Siswi kelas IPS 1 yang namanya dikenal dengan prestasi - prestasinya di sekolah dan juga..." Ku tatap segerombolan orang - orang yang sejak dulu sampai sekarang selalu menjadikanku yang paling rendah. "Siswi yang selalu dijadikan bahas pergunjingan, gosip murahan, dan anak yang selalu dibilang berasal dari keluarga yang nggak benar." Mereka semua langsung diam. Ekspresinya seolah maling yang tertangkap basah. "Saya berterima kasih pada ucapan - ucapan kalian yang dulu, yang akhirnya perkataan kalian itu menjadi cambukan bagi saya untuk menunjukkan siapa saya sebenarnya. Keluarga saya memang berantakan tapi itu tidak berlaku bagi hidup saya. Saya memang punya orang - orang yang kuat di belakang saya tapi saya mampu berdiri di atas kaki saya sendiri tanpa bantuan siapa pun atau apapun itu. Dan sekarang, hari ini kalian bisa melihat siapa saya sebenarnya. Nadya Aura Amelia." Aku merasa puas, aku merasa sangat bangga pada diriku dan pencapaian semua yang kulakukan dalam hidupku dan kini aku akan membawa berita bahagia ini pada mamaku. Di pemakaman. "Mah... Gimana kabar mamah sekarang? Mamah baik - baik aja, 'kan di sana? Aku yakin, Tuhan sangat sayang sama mamah. Makanya, mamah lebih cepat pergi." Setiap ada waktu jadwal kosong, aku menyempatkan untuk datang ke pemakaman mamah. Aku merapihkan makam mamah dan membersihkannya supaya makam mamah nggak kotor dan terlihat tidak terurus. Dulu, aku berpikir akan merawat mamah sampai menua tapi nyatanya takdir berkata lain. "Aku kangen sama mamah, kangennnnn banget, mamah tau," aku menarik napas dalam - dalam. Rasa sesak ini sungguh sangat tidak tertahankan. "Aku..." Air mataku menetes di pusara makam mamah. "Aku udah jadi perempuan yang kuat mah, walau mamah gak ada di samping aku." Dan air mataku sudah tumpah ruah. Aku menangis untuk kesekian kalinya di sini. "Aku bukan Nadya yang cengeng kayak dulu lagi, Mah, aku udah jadi Nadya yang baru. Nadya yang gak akan bisa dihancurkan kehidupannya. Gak akan aku biarkan satu orang pun mengusik aku, mamah dan kak Dinda. Gak akan."                Kemarahan ini memang sudah lama ku pendam. Rasa ingin membalaskan dendam. Memang sering ingin kulampiaskan namun aku tahu semua akan sia - sia. Aku hanya menjalani apa yang ada di depan mata. Dan aku tidak akan melepaskan kesempatan yang ada. Bagaimana masa lalu yang pernah terjadi, aku balaskan pada hari ini. Tidak aku biarkan untuk terjadi kembali. Hari sudah sore, langit biru kini sudah mulai berubah jadi sendu. Angin menerbangkan daun - daun yang lepas dari rumahnya. Aku berhenti melangkah, hp ku berdering. Ku lihat namanya itu, hatiku jadi kembali suram. "Ada apa?" Aku langsung bertanya tanpa basa basi. "Papahmu ingin kamu pulang, dia lagi sakit." "Bukannya ada kamu di sana. Apa kamu gak bisa merawat papa saya?" sindirku telak langsung. "Dia mau kamu di sini. Dia butuh kamu." Aku menarik napas lalu kuhembuskan, gusar. Baiklah, kali ini aku mengalah saja. Aku juga sudah lama tidak pulang ke rumah. Aku jadi mau tau, jadi apa lelaki yang masih kusebut papa itu tinggal tanpa ada anak - anak kandungnya. "Oke, saya pulang." * * * * "Papa sangat senang kamu akhirnya mau menemui papa setelah sekian lama," ungkap papa sangat bahagia dan antusias ketika bertemu dengan aku. "Nadya kamu tau, papa kamu ini tiap hari kepengennya minta mama masakin masakan kesukaan kamu terus, lho. Terus juga kalo dia kangen, papa kamu ini maunya makan yang biasa kamu makan," ujarnya dibuat semakin mungkin sikapnya yang tidak akan kemakan olehku, mau bagaimanapun sikap dia padaku.               Haris dan Helma. Mereka adalah kedua orang tuaku tapi hanya satu orang yang berlaku menjadi orang tua kandungku dan hanya dia yang kuanggap walau aku ada rasa benci untuknya. Memang sudah lama aku tidak pulang ke rumah semenjak aku memutuskan tinggal mandiri setelah aku lolos seleksi model majalah remaja. Selama itu, Papa memang menahan kepergianku tapi aku tetap kekeh pergi. Aku pikir, tidak adanya aku, Papa akan terpukul dan hubungan mereka tidak akan bertahan lama karena rasa sesal tapi nyatanya sampai sejauh ini mereka makin mesra saja dari hari ke hari. Terbukti, dari mereka bercerita di meja makan ini, tangan mereka tidak pernah lepas, saling menggenggam di hadapanku saat ini. Rasanya bikin aku muak sekali. "Kamu kok diam aja, sayang?" tanya papa," kamu sakit? Gak enak badan?" berondong pertanyaan beliau lontarkan padaku yang lebih memilih diam sejenak. Ku taruh sendok dan garpu di atas piring. Menyatukan kedua tangan di atas meja tuk menopang dagu, ku tatap mereka dengan sikap dinginku. "Kalo bicara siapa yang sakit bukannya Papa, yah, yang sedang sakit sekarang?" Ekspresi mereka berubah total. "Oh, atau itu cuma akal - akalan kalian aja biar aku pulang ke rumah?" "Iya, cuma akal - akalan papa karna papa tau kamu sangat sayang sama papa, papa yakin kamu pasti bakal khawatir sama papa kalo tau keadaan papa sedang tidak baik - baik aja." "Oh, sudah jelas. Terima kasih buat makan malamnya. Aku rasa aku harus pulang." Aku sudah siap - siap berdiri, dan bergegas pergi. Sambil berjalan, ku ambil tas yang kuletakkan di sofa. "Nadya!" Aku berhenti. Ku menoleh ke belakang menatap papa yang menghampiriku. "Papa melakukan semua ini semata - mata papa sangat sayang sama kamu, nak. Papa mau kamu pulang." "Kenapa? Kenapa hanya aku yang papa harapkan? Apa aku cuma satu - satunya anggota kandung keluarga papa di rumah ini? Ketika papa selingkuh dari mama, ketika papa malah membuang kak Dinda begitu saja, ketika papa membiarkan semua orang yang ku sayang pergi hanya untuk satu perempuan yang berdiri di sana," aku menunjuk Helma yang masih berdiri di dekat meja makan. "Papa telah membiarkan hidup aku hancur gitu aja. Pertahankan dia, Pah. Pertahankan wanita itu yang udah buat keluargaku berantakan sama seperti papa yang menghancurkan hati tiga orang perempuan yang pernah tinggal di rumah ini. Lebih baik aku mati dari pada aku bernapas di tempat yang sama bersama kalian." Rumah ini sudah lama tak bernyawa lagi. Kehangatan di rumah ini sudah lama hilang, dingin bagai suhu manusia yang sudah mati. * * * *              "Maaf... Iya... Aku udah di Bandung, iya... aku tau tapi aku udah ada janji sama orang. Ini urusan kerjaanku, aku juga mau ketemu sama dia tapi waktunya belum ada. Iya... Yaudah, nanti kalo aku ada waktu aku ke sana." Tepat saat selesai teleponan, Tami datang. Aku sudah lama menunggu dia di lobby. "Janjian jam tujuh tapi batang idungnya jam delapan baru muncul."              "Iya, maaf, namanya juga tadi ada masalah sedikit sama mobil. Yaudah, kita mau makan di mana?" Aku berhenti berjalan, kupelototin, sih, Tami ini dengan ekspresi kesal. "Jangan bilang kamu belum nentuin tempatnya." Aku paling benci kalau diajak pergi tapi yang ngajak malah gak tau mau pergi ke mana. Gak ada perencanaan untuk apa? Hidup saja harus punya banyak rencana.               "Eh, iya, iya.... Udah ada kok. Emosian melulu." Kita lanjut jalan. "Aku, 'kan cuma nanya mana tau kamu mau makan ke tempat yang mana gitu sebelum kita langsung temuin kenalan yang aku bilang tadi sore." Aku masuk ke dalam mobil segera memasang seatbelt.               "Kita langsung aja pergi aja ke tempat yang kamu bilang." Cowok berambut ikal itu tidak banyak komentar. Segera ia melajukan mobil ke tempat tujuan. Kami janjian di Golden Monkey tempat ngebeer di Bandung yang memang sedang hits terletak di jl. Ir. H. Juanda. Katanya, kenalannya ada di sana. "Kamu suka minum?" tanya Tami ketika kita sudah di dalam tempat tersebut. "Aku gak suka minum, aku pesan yang lain aja."               Tami nampak terkejut. "Lho? Kenapa?" "Kenapa harus ditanya? Aku terbiasa hidup sehat. Jadi, apapun yang masuk ke dalam tubuhku, sangat- sangat aku perhatikan," balasku. Tami cuma mengangkat kedua alisnya saja. "Okey, ah... Itu dia. Pak Jordan!" Orang yang memiliki perut buncit dan berjas berwarna merah itu menoleh ke belakang. Ke arah kami. Aku rasa pria memakai berkacamata ini sekitaran umur 50 tahun ke atas terlihat rambutnya sudah banyak yang memutih. "Tami... Ahaha... Mari.. mari..." Tami mengajakku duduk di sofa bersama dengan Pak Jordan dan satu perempuan yang aku rasa dia rekan kerjanya karena memakai pakaian kantor juga. "Apa kabar pak? Wah... Saya seneng banget akhirnya bisa ngobrol - ngobrol lagi bareng Bapak." "Hahaha... Kamu ini, sibuk banget kayaknya kerja, ya?" tanyanya tapi matanya mencuri-curi pandang ke arahku. "Iya, nih, Pak, sibuk banget tapi saya enjoy aja, nikmatin. Terlebih bisa kerja bareng sama model cantik di sebelah saya. Uwih, udah capek juga nggak kerasa." Aku hanya tersenyum tipis menimpali ucapan Tami. Tidak terlalu aku ambil hati. Pujian yang dia beri, sudah aku dengar dari banyak lelaki. "Jadi dia yang mau kamu kenalin ke saya?" tanyanya seraya mengendikkan dagunya ke aku. "Iya, Pak." Ia berdeham, "Hm... Nadya?" Sambil melihat tubuhku dari bawah sampai atas terus berulang seakan-akan tengah menilai diriku. Aku tersenyum pada lelaki itu. "Nadya Aura Amelia," kataku menambahkan ucapannya yang seolah menggantung menyebut namaku, mungkin dia tidak tahu nama kepanjangan ku. "Saya Jordan Bramantoso. Saya sudah dengar tentang kamu, nama kamu memang banyak digemari, banyak agensi yang ingin menjadikan kamu sebagai model mereka, iya... Saya yakin pasti bayaran kamu sangat mahal sekali." "Namanya juga model terkenal, Pak," sahut Tami. Dasar manusia berisik. Siapa yang diajak bicara, dia malah nyambung saja kayak kabel kontak. Tidak ada etika. "Dunia modelling itu tidak selamanya nama kita akan bersinar, kamu pasti tau, akan banyak generasi ke depannya model - model yang lainnya datang sebagai pendatang baru, saingan kamu akan banyak. Butuh kerja keras supaya nama kamu terus mendapatkan panggung. Kesuksesan itu tidak selamanya abadi, tapi kalo kamu terus buat nama kamu bersinar, kesuksesanmu tidak akan pernah berhenti. Bisa aja kamu mendapat gelar seorang ratu model, bener gak? Hahaha." "Jadi... Point pentingnya apa?" tanyaku langsung, tidak suka berbelit-belit. "Saya akan bantu kamu mendapatkan panggung itu. Nama kamu saya pastikan akan ikut berderet dijajaran model - model internasional. Kalau kamu tertarik dengan bekerja sama bareng saya, ulurkan tangan kamu?" Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. Tanpa pikir panjang, aku menerima kerja sama ini dan serangkaian tanda tangan kontrak juga berbicara banyak hal dan siapa saja yang sudah berhasil bekerja sama bareng dia. Ambisi memang melekat dalam diriku. Meraih cita dan keinginan akan aku lakukan bagaimana pun caranya walau harus menempuh rintangan sekalipun tapi aku tidak menyerah secepat itu. Waktu adalah emas. Dan emas itu yang harus aku dapatkan dan tidak akan aku sia – siakan. * * * *               Sialan. Tami memang sangat menyusahkan. Terlalu banyak minum bir sampai mabuk, aku juga yang harus repot menuntunnya masuk ke mobil dan aku jugalah yang membawa mobil ini untuk mengantarkannya pulang ke apartementnya. "Aku sudah bilang, jangan terlalu banyak minum. Nyusahin orang juga, 'kan akhirnya. Akh!" Tubuhnya ini berat banget, kebanyakan dosa apa ini orang. Semua orang jadi melihat ke arah kami. Untung saja aku memakai masker untuk menutupi wajahku dan Hoodienya yang sengaja aku pakai agar tidak ada orang yang mengenaliku. Aku tidak mau ada berita miring tentangku yang membopong seorang fotografer ke mobil. Aku buka mobil, lalu ku dorong dia masuk, tangannya yang memang melingkar di leherku ini sempat - sempatnya menarik tubuhku. Jadi, terjatuh ke atas d**a bidangnya. "Oh, Nadya... Kenapa, sih, ada perempuan secantik kamu. Beruntung banget aku bisa ketemu sama kamu." Ujarnya tidak karuan, aku menyingkirkan tangannya dari wajahku. Segera aku masuk ke mobil dan menuju apartementnya. "Alamat apartement kamu di mana?" tanyaku setelah melepas masker.  "Emh... Di hati kamuuulah sayanggggg." "Gak waras, nih, orang." Aku geleng - geleng kepala. "Bisa ikut gila gue kalo ngomong sama orang lagi mabok." Karena tidak mau terlalu lama berurusan sama dia. Aku berusaha menggeradah saku celananya untuk mengambil dompet biar kuperiksa, mana tau ada kartu yang menunjukkan alamatnya. "Eh... Sayang... Sayang... Jangan gitu, ah, kalo mau grepe - grepe jangan di sini..... Di kamarrr ajaaa...." Waktu dia ngomong langsung ku tarik tanganku. Aduh, bego banget kamu, Nad! Bangunin burung yang lagi tidur, udah kayak gini gimana mau diatur.  "Lo bisa diem gak, sih!" Aku udah kesal. Kayaknya buat bicara pelan - pelan, calm, demi jaga image udah gak ada guna di depan dia. "Gue mau liat kartu nama Lo, gue dari tadi nanya alamat Lo tapi malah jawabnya ngelantur!" "Emh... Sayang...." Dia ngulet gak jelas astaga. "Ah... Kan, udah aku bilang ada di hati kamuuuu...." Tiba - tiba dia meluk aku dari samping. Aku mendorong wajah dan badannya dengan satu tangan tapi terlalu berat dan dia malah makin mendekat, bibirnya berusaha untuk mencium wajahku. Aku kehilangan keseimbangan mengendarai mobil sehingga saat ada mobil yang lain di depanku, aku segera membanting stir dan mobil ini mengarah pada sekerumunan orang di bahu jalan dan perlahan kerumunan itu berlarian mendengar suara klakson ku yang sempat ku bunyikan. Semua berlarian, aku tidak keburu berhenti karena mobil ini melaju cepat dan akhirnya menabrak gerai kecil hingga hancur. Aku mendorong Tami dengan kedua tanganku dan menampar wajahnya sampai ia tersadar walau matanya sayu menatapku. Aku menyandarkan punggungku dan kedua tanganku memegang kepalaku dengan perasaan dan jantung yang berdebar cepat tak karuan. "Habis... Tamat riwayat gue!" []

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Saklawase (Selamanya)

read
69.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Dear Pak Dosen

read
434.2K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
486.9K
bc

Si dingin suamiku

read
501.1K
bc

For my Baby

read
256.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook