Pembalasan Ola

1124 Kata
"Udah selesai masalah lo sama Elise emang?" Ola tidak ingin membuang banyak tenaga setiap kali dihadapkan dengan sosok Natan. Setidaknya untuk sekarang saja. Karena memikirkan hubungan Natan dan Elise di masa lalu cukup membuatnya lelah sendiri. Bagaimana bisa ia menghabiskan banyak tenaga hanya untuk membayangkan seberapa banyak kenangan yang diukir calon suami bersama mantan pacar, sampai si mantan pacar susah melupakan calon suami Ola. Ola sendiri yang mengusulkan kepada Natan, agar mereka tidak bertemu dahulu sebelum Elise bersedia pergi dari kehidupan Natan. Paling tidak, Elise tahu diri apa statusnya sekarang. Elise tidak bisa ya, berperan sebagai adik pada umumnya? Mereka berdua putus sudah lama, lho. Masih saja masa lalunya diingat terus. "Aku ngikutin kemauan kamu," kata Natan lesu. Ola berkacak pinggang. "Yang mana?" "Bisa masuk mobil dulu? Kita ngobrol di dalam aja," ajak Natan, meraih tangan Ola lalu membukakan pintu mobil. "Tolong, kali ini aja, La. Aku beneran nggak mau berantem sama kamu." "Siapa juga yang mau berantem sama lo," dengkus Ola. Ia menyadari bahwa terlalu banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar. Ola tidak sekekanakan itu, kok. Ola tahu di mana ia harus bicara dengan Natan. Apa lagi kalau sudah menyangkut perasaan. Ola takut kebablasan, lalu membuat onar tanpa ia sadari. Ola masuk, lalu duduk di samping kursi Natan. Ia meletakkan tas dan bukunya ke atas pangkuannya. Natan menyusul duduk. Ia tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia perlu bicara beberapa mata dengan tunangannya. "Udah beberapa hari ini aku tinggal di apartemen." Natan memberitahu. "Oh, jadi pindah?" sahut Ola, menyilangkan kedua tangan. "Itu yang kamu mau, kan?" timpal Natan memelas. Seketika Ola merasa bersalah. Raut wajah Natan telah menunjukkan bahwa lelaki itu lelah. Ia lelah menghadapi dua orang perempuan di hidupnya. Pertama, calon istrinya. Dan kedua, mantan pacarnya. "Aku pindah, karena takut kamu mikir aneh-aneh antara aku sama Elise. Harus aku bilang berapa kali supaya kamu percaya?" Ola menghela napas. Ia menurunkan kedua tangannya. "Intinya apa, Nat? Udah bisa bikin Elise ngelepas lo belum?" "Tanpa aku jelasin, pun, dia tahu aku mau nikah sama kamu." Natan hampir meninggikan suaranya. "Biar dia tahu, kalau dia masih nekat, gimana?" Natan mengusap wajahnya. "Itu urusan dia. Yang penting, aku udah nggak punya perasaan apa-apa sama dia. Hubungan kita udah lama berakhir." "Lo sadar nggak, sih," ujar Ola menunjuk Natan. "Dia berani ngejar lo sampai sekarang, karena mikir kita cuma dijodohin doang. Dia pasti merasa gue sama lo nggak punya perasaan makanya dia nekat." Natan mendesah. "Terus, aku harus apa?" "Pertegas ke dia sekarang juga. Lo suka siapa, dan lo mau mempertahankan siapa. Gue, atau Elise." Ola memantapkan hatinya. Ia sudah memikirkan ini dari jauh-jauh hari, kok. Kalau pada akhirnya Natan memilih kembali ke Elise, Ola cukup menyiapkan hati, mencari destinasi sebagai tempat pelampiasan atas patah hatinya. Bukannya harus begitu, ya? Mungkin Ola akan menghabiskan hari-harinya tanpa Natan. Tentu saja sedih, ia kecewa, tapi kalau hati sudah bicara, menemukan siapa tambatan hatinya, Ola bisa apa selain menerima? *** "Cari makan yuk, Ke," ajak Langen, menjawil lengan temannya dari belakang. "Pengin jajan, nih! Enaknya makan apa ya?" Kerin memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Padahal beberapa hari ini lo banyak jajan, ngemil, ngunyah nggak berhenti." Kerin menggeleng heran. "Sebelum makan, pasti selalu bilang ke gue, 'Ke, ingetin gue kalau makan terlalu banyak!' tapi tiap gue ingetin, lo bilang dikit lagi, gitu!" Langen tersenyum malu. Ia menunjukkan deretan giginya. "Ya gimana dong, kalau makanannya enak, kadang suka nggak bisa berhenti." Kerin mendecakkan lidah. Ia melingkarkan sebelah tangannya ke bahu Langen. "Ini bukan bentuk pelampiasan lo karena udahan sama Lando, kan?" Langen tidak terima. Ia menurunkan tangan Kerin sambil menatap temannya sebal. "Nggak ada hubungannya sama dia," elaknya. "Masa?" ejek Kerin. Ada benarnya, sih. Oh, bukan. Akh! Bagaimana menjelaskannya, ya? Sebagian yang dibilang Kerin barusan itu benar. Banyak makan, mengemil, salah satu bentuk pelampiasan Langen setelah putus dari Lando. Selain menyibukkan diri dengan bekerja, Langen jadi suka jajan di sana sini dengan alasan supaya lebih cepat melupakan Lando. Tapi, mana bisa Langen mengakuinya begitu saja pada Kerin? Tidak mungkin. Langen lebih suka menyimpan perasaannya sendiri daripada nantinya ia akan menjadi bahan ledekkan perempuan itu. "Jam segini, biasanya Lando lagi apa, ya?" pancing Kerin. Langen melotot. Sontak, ia menepuk sebelah bahu Kerin. "Ngapain lo mikirin Lando? Udah pindah haluan dari Alvo ke dia?" "Boleh, nggak?" goda Kerin. "Jangan sembarangan!" sembur Langen, jelas tidak terima. "Lho, kenapa? Gue sama dia lagi jomlo. Gue nggak masalah walau dia mantan tunangan teman gue. Asal udah selesai aja masa lalunya," tambah Kerin. Kalau Alvo adalah versi lelaki, maka Langen adalah orang paling gengsi mengakui perasaan versi perempuan. Makanya Kerin senang sekali menggoda Langen. Berpura-pura melihat Lando bersama seorang perempuan, atau dirinya yang bertingkah seakan menargetkan Lando. "Kalau lo suka sama Lando, Alfa gimana, Ke?" tanya Langen. "Buat lo, haha," tawa Kerin. Langen cemberut mendengar jawaban dari Kerin. Sebentar, Kerin tidak sungguhan menyukai Lando, kan? Mana mungkin, sih. Kerin tidak akan semudah itu berpindah haluan. Apa lagi sama Lando, yang jelas mantan tunangan Langen. "Muka lo panik banget, sumpah," seru Kerin sambil menunjuk hidung Langen. Perempuan itu meraba wajahnya. Seperti kata Kerin barusan, Langen kelihatan panik. "Gue cuma bercanda doang," ujar Kerin masih tertawa. "Nggak beneran suka sama Lando, kali!" Karena yang Kerin suka sekarang, itu, Alfa. *** "Capek banget gue lihat lo rebahan mulu. Jalan, gih. Sama teman atau gebetan baru." Langen, baru datang langsung mengeluarkan aura mengajak bertengkar dengan Ola. Baru beberapa hari lalu mereka akur, lho, sampai Tanya Sandra heran sendiri kenapa dua anak perempuannya tiba-tiba menjadi akrab. Dan hebatnya, tidak adu mulut sama sekali. Kalau biasanya, ya, jangan ditanya lagi. Selalu rusuh. Di mana pun ada Langen dan Ola, maka di situ aja perdebatan, perkelahian, tapi tidak sampai saling jambak-jambakkan, sih. "Lo sana, gih, cari gebetan biar nggak gangguin gue mulu!" sembur Ola, kesal. "Dih! Gue, sih, nggak butuh gebetan, ya! Tanpa gebetan, gue bisa pergi sendiri, belanja sendiri, mandiri nih, gue. Nggak kayak lo," ledek Langen. Kesabaran Ola sudah menipis. Ia menyambar salah satu bantal, lalu melemparnya ke arah Kakak sepupunya itu. "Berisik!" umpat Ola. "Balik ke kamar lo, deh! Awas aja sampai gue balas, terus lo nggak terima, ya," ancamnya. Langen terbahak. "Mau balas gimana? Lo aja nggak punya tenaga! Kenapa? Udah habis buat mikirin Natan sama Elise, ya?" Ola bangun lalu duduk di atas ranjang. Ia mencari ponselnya. Ternyata benda itu ada di atas meja nakas. "Mau telepon siapa, sih? Oh, Natan pasti!" seru Langen, makin semangat menggoda Ola. Ola menyunggingkan senyum tipis. Suara lelaki di seberang sana menjawab teleponnya lebih cepat. "Halo, Bang Lando, gue ada titipan salam dari Kak Langen buat lo." Ola melirik Langen di ambang pintu. Perempuan itu sontak panik sendiri. "Iya, kata Kak Langen, dia kangen sama lo. Mau jalan, tapi nggak teman. Kira-kira, lo mau temenin dia jalan nggak, ya?" Langen mendelik. Memang dasar sepupu kurang ajar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN