Semuanya memandang sinis ke arah Riska. Terutama Fatur dan Galih yang terlihat jelas bahwa mereka tak menyukai sesosok gadis itu.
"Memangnya, Rifki mau sama kamu?" tanya Fatur sinis. Ia melipat kedua tangannya di depan dadaa seraya menatap sengit ke arah Riska.
"Ya jelas nggak. Mana mau Rifki sama cewek yang sikapnya sok manis di depannya aja!" ketus Galih yang berhasil menyulut api amarahnya.
Riska mengepalkan tangannya erat-erat. Jika tidak mengingat keberadaan Ustadz Rifki, mereka sudah habis ditangannya. Tetapi, ia harus sabar. Demi menarik hati lelaki yang telah menjadi pelabuhan cintanya.
"Gimana ya? Sikap gue emang manis sih, tapi cuma di depan orang yang gue sayang. Kalo kalian semua mah, gue anggep temen. Ya jadi, gue jadi diri gue yang sebenernya. Begitu juga dengan Bang Revan. Dia bukan hanya sekadar kakak, tapi juga sahabat gue." tutur Riska membuat keduanya bungkam.
Ustadz Rifki memijit pelipisnya. Ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa mengabari yang lain. Karena mereka masih sibuk berdebat dengan gadis itu.
"Lo punya masalah apa sih, sama gue?!" tanya Riska berteriak. Ia sudah kehabisan kesabaran menghadapi mereka berdua.
"Nggak ada sih. Kita cuma nggak suka sama kamu yang terus ngejar-ngejar Rifki. Sudah jelas, dia nggak tertarik sama kamu." tutur Galih dengan amarah yang menggebu. Ia dan Fatur merasa kasihan dengan sahabat mereka yang merasa risih dengan keberadaannya. Meskipun, sahabat mereka tak pernah menunjukkan kerisihannya, tetapi keduanya cukup peka.
"Gue yang ngejar-ngejar Ustadz Rifki, kenapa lo berdua yang repot?" sarkas Riska menatap tajam keduanya.
"Eh, itu si Rifki udah duluan." teriak Asep menunjuk ke arah lelaki yang berada beberapa langkah di depan mereka.
Sontak, semuanya menyusul.
Riska mendesah. Ia bukan hanya ditinggalkan oleh Ustadz Rifki saja, tetapi mereka yang tadi bersamanya sudah pergi meninggalkannya juga.
"Tungguin dong!! Jangan ninggalin!!" teriak Riska berlari menyusul mereka semua. Namun sepertinya, kesialan tengah menimpanya. Ia tergelincir batu hingga membuatnya jatuh tersungkur.
Bruk!
"Akh!"
Ustadz Rifki dan yang lain segera menoleh ke belakang. Mereka mendapati Riska yang tengah memegangi lututnya. Tergopoh-gopoh, mereka menghampiri gadis itu. Riska mendongakkan kepala. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia sudah tak kuasa membendung air matanya.
"HWAAA... GAMIS GUE ROBEK!!!" teriaknya histeris seraya menunjukkan bagian gamisnya yang sobek—tepat di bagian lututnya.
"Cuma robek doang aja, sampe nangis segitunya!" cibir Fatur.
Riska menyayangkan gamis yang baru sekali dipakai harus sobek akibat bergesekan dengan aspal dan gamis itu adalah gamis terbagus dari gamis lainnya yang ia beli di pasar. Mungkin, hari ini adalah hari kesialannya. Pertama, sudah capek-capek ia pergi ke pasar dan memasak, malah ditolak. Kedua, kedatangan Fatma yang membuatnya naik darah. Ketiga, Fatur dan Galih yang terus mengajaknya ribut. Keempat, masalah Ustadz Rifki yang tak ramah padanya. Dan yang kelima, gamis kesukaannya telah sobek akibat batu sialan itu.
"Heh, bukannya gitu! Masalahnya ini gamis baru gue pake dan gamis ini adalah gamis yang paling bagus dari gamis-gamis yang gue beli di pasar, hwaa..."
Ustadz Rifki menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Gadis itu selalu saja berulah hingga menghambat perjalanan mereka menuju perkebunan, yang seharusnya sudah sampai.
"Mending kamu pulang. Ganti baju dan minta jahitkan gamismu pada Bi Arum." titahnya.
"Anterin." pinta Riska seraya menunjukkan puppy eyes padanya.
"Pulang sendiri."
"Nggak mau. Ustadz Rifki harus anter Riska pulang!" kekehnya.
"Jangan manja."
"Biarin! 'Kan sama calon suami ini."
Ustadz Rifki mendesah. Gadis itu benar-benar tak ingin kalah dengan siapapun.
"Saya sudah ditunggu sama Revan di perkebunan." ucapnya yang sama sekali tak berkeinginan untuk mengantar Riska pulang.
Riska masih terduduk di aspal. Ia menatap kecewa ke arahnya. Selama ini, tak pernah ada orang yang menolak untuk mengantarnya pulang. Bahkan, teman laki-lakinya pun sampai berebut. Lain halnya, jika ia berada di desa. Hanya untuk mendapatkan Ustadz Rifki saja harus berjuang keras. Kalau bukan karena permintaan kriteria sang Mama yang menginginkan calon menantu tampan, mapan, berbudi pekerti luhur/baik, dan terutama sholeh, ia tak akan mengejar cintanya. Namun, karena dirinya juga sudah jatuh hati pada Ustadz Rifki, maka ia pun akan tetap memperjuangkannya.
"Nggak! Pokoknya, Ustadz Rifki harus antar Riska pulang!"
Galih menarik tangan sahabatnya. Ia ingin segera sampai di perkebunan. Karena gadis itu, perjalanan mereka menjadi terhambat. Biasanya saat masa panen, mereka akan diminta untuk membantu para petani memanen sayuran dan buah-buahan. Dan itu adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh mereka semua, karena dimana mereka bisa memetik sayuran dan buah dengan tangan sendiri. Bahkan, Kakek selalu membagikan hasil panen kepada para petani, dan warga yang ikut membantu memanen.
"USTADZ RIFKI!! KOK NINGGALIN RISKA, SIH?!!" teriak Riska saat mereka semua pergi meninggalkannya.
Riska mencebik kesal. Galih memang sangat tidak menyukai dirinya. Sampai-sampai tak membiarkan Ustadz Rifki untuk mengantarnya pulang. Meskipun, Ustadz Rifki tak setuju, ia akan terus memaksanya. Hingga lelaki itu akan setuju mengantarnya pulang. Tetapi hal itu tak terjadi, karena Galih.
"Awas lo, Galih." ujarnya menatap tajam ke arah segerombol lelaki di depannya.
Riska berdiri dan berbalik arah menuju rumah. Ia akan mengganti pakaiannya, setelah itu pergi ke perkebunan menyusul mereka semua.
Tin tiinn...
Mendengar suara klakson, Riska pun menoleh ke belakang. Ia menyunggingkan senyum melihat kakak sepupunya yang tiba menjemputnya.
"Naik Ris." titahnya.
Riska mengangguk dan langsung menaiki motor. Tak lupa, ia berpegangan pada bahunya. Setelah siap, Revan melajukan motor dengan kecepatan sedang. Semilir angin yang menerpa wajah Riska, membuatnya memejamkan mata untuk lebih menikmatinya.
"Kata Rifki lo jatoh, sampe gamis lo robek." ujar Revan yang tak disahuti olehnya.
"Riska?"
"Hah, iya Bang? Kenapa?"
"Lo jatoh?" tanyanya sembari menoleh sekilas ke belakang
"Iya! Sampe gamis gue robek nih, Bang. Mana gamis ini yang paling bagus diantara gamis-gamis yang gue beli di pasar waktu itu."
Motor yang mereka naiki mulai memasuki pekarangan rumah. Riska turun dari motor, setelah motor yang dikendarai kakak sepupunya berhenti. Ia segera masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian. Sebenarnya, ia sangat malas menginjakkan kaki di perkebunan. Jujur saja, dirinya tak menyukai sesuatu hal yang bisa membuat dirinya kotor. Ia merasa yakin, jika berada di perkebunan, pasti dirinya akan kotor akan tanah. Dan itulah yang membuatnya malas datang ke perkebunan. Jika bukan karena Ustadz Rifki, percayalah, Riska tak akan pernah ke sana.
"Bi siapin makan buat aku sama Kakek." titah Revan pada Bi Arum yang tengah mencuci piring.
"Iya, sebentar ya, A Revan, Bibi cuci tangan dulu." sahutnya yang langsung mencuci tangan.
"Kalo udah siap, bawa ke depan aja ya, Bi. Aku tunggu di sana." ucapnya, kemudian melenggang pergi.
Bi Arum mengangguk dan segera menyiapkan makanan untuk majikannya. Setelah berganti pakaian, Riska segera keluar kamar dan menemui kakak sepupunya yang berada di teras.
"Yuk berangkat, Bang!" ajak Riska padanya.
"Ayo! Gue udah laper nih. Mau makan." Revan menepuk perutnya yang keroncongan.
"Emangnya, lo belum makan?"
Revan menggeleng. "Belum. Biasanya kita semua bakal makam bareng di perkebunan. Kakek udah pesen makanan sih, tapi ya tetep aja, Kakek mau makannya makanan buatan rumah. Taulah, Kakek itu kayak apa." jelasnya.
Riska mengangguk pelan. Kakek memang lebih menyukai masakan orang rumah ketimbang luar.
Setibanya di perkebunan, Riska langsung disuguhkan oleh perkebunan sayuran dan buah milik Kakek yang sangat luas. Ia dan Revan melangkah menuju orang-orang yang tengah berkumpul sembari bercanda ria, menunggu waktu makan tiba.
"Assalamu'alaikum." ucap Revan pada semuanya.
"Wa'alaikumussalam."
Riska duduk di samping Kakek dan berhadapan dengan Ustadz Rifki. Membuat dirinya terus mengembangkan senyum.
Setelah semuanya berkumpul, mereka mulai memakan makanannya masing-masing. Tidak dengan Riska yang menolak makan, karena merasa kenyang. Matanya terus memandang sang Kakek yang lahap memakan makanannya.
"Revan, siapa yang memasak?" tanya Kakek membuat cucu laki-lakinya menghentikan kunyahan di mulutnya.
"Ya, Bi Arum, Kek! Memangnya kalo bukan Bi Arum yang masak, siapa lagi?"
"Masakannya kali ini sangat enak, Van. Nggak kayak sebelumnya." tutur Kakek membuat para sahabat cucu laki-lakinya langsung menatap ke arah Riska. Sedangkan yang ditatap, berpura-pura tak menyadari dengan mengalihkan pandangan ke arah langit yang cerah.
******
Seorang gadis terduduk memandangi orang-orang yang berlalu-lalang membawa hasil panen yang dikumpulkan ke dalam keranjang besar. Ia sama sekali tak berniat membantu mereka. Gadis itu terlalu mengkhawatirkan pakaiannya kotor akan tanah.
"Riska! Bantuin apa, lo! Jangan nonton doang!" teriak Revan sambil menuangkan sayuran yang dipanennya ke dalam keranjang besar itu.
Riska pura-pura tak mendengar. Matanya terfokuskan menatap lelaki yang tengah mengelap peluh di pelipisnya. Andai, jika dirinya sudah menjadi istri sahnya, maka ia yang akan mengelap peluh tersebut dengan tangannya sendiri.
"Kapan ya, Ustadz Rifki jadi suami gue?" gumamnya yang tak menyadari bila Revan sudah duduk disebelahnya.
"Banyakin do'a aja, Ris." tuturnya membuat Riska terlonjak kaget. Gadis itu memegangi dadaanya yang berdebar.
"Do'a ya?" gumamnya. "Tapi, sholat aja gue belum bisa." Riska murung. Selama ini, ia selalu sholat berjama'ah. Dikarenakan, dirinya belum menghafal bacaan sholat. Bahkan, buku yang diberikan Ustadz Rifki saja masih berada di atas meja yang ada di kamarnya. Jujur saja, ia merasa pusing saat melihat tulisan-tulisan Arab di dalam buku tersebut.
"Makanya belajar. Lo 'kan udah dikasih buku tata cara sholat, ya lo pelajarin. Jangan dianggurin."
"Ya gue tau. Nanti deh, gue pelajarin."
Revan beranjak dari duduknya untuk kembali memanen. Biarlah, adik sepupunya duduk bersantai hingga saatnya tiba, dirinya akan memberikan kejutan luar biasa padanya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.
"Emang sih, gue udah nggak ninggalin sholat. Tapi 'kan, gue belum bisa bacaannya. Sampe-sampe, kalo gue sholat, gue selalu jama'ah di masjid." monolognya.
Terkadang, Riska merasa miris dengan dirinya sendiri. Di desa ini, banyak sekali gadis yang taat pada agama. Salah satunya, menutup aurat. Meskipun, dirinya juga sudah menutup aurat, tetap saja, rasanya kurang mantap. Karena Ustadz Rifki adalah alasan dirinya memakai pakaian syar'i. Ia belum bisa benar-benar berhijrah. Mungkin, jika teman-temannya tahu dengan penampilannya yang sekarang, dirinya akan diolok. Memikirkan itu semua hanya membuatnya pening. Jika ia terus memikirkan pandangan orang lain, maka dirinya tak akan pernah berubah.
"Mungkin emang Allah kasih jalan gue ke desa ini, supaya gue berubah menjadi lebih baik."
Riska bangkit dari duduknya. Ia beranjak mendekati Ustadz Rifki yang tengah beristirahat. Tetapi di tengah jalan, dirinya tercegat oleh Revan yang membawa hewan berwarna hijau yang menggelikan, yang tak lain adalah ulat. Hewan yang paling ditakuti oleh Riska.
Revan mendekatkan ulat yang melata di atas ranting ke wajah adik sepupunya.
"HWAA... ULET!! KAKEK! BANG REVAN NAKAL, KEK!!" teriak Riska yang sudah lari terbirit-b***t.
Seketika, semua orang menatap ke arah Riska yang berlari menghampiri Kakek. Terdengar, tawa yang menggema. Membuat Revan semakin menjadi. Ia berlari menyusul dengan membawa ranting yang terdapat ulat hijau itu. Sejak kecil, Riska memang sangat takut dengan ulat. Karena itulah, alasan lain dirinya tak suka menginjakkan kaki di perkebunan.
"Anjim, lo Bang! Ngapain, ngejar gue b**o!!" amuk Riska yang menoleh ke belakang. Ia semakin mempercepat larinya.
"Hahahaha..." tawa Revan menggelegar. Ekspresi wajah adik sepupunya begitu lucu saat takut seperti ini.
Kakek yang mendengar teriakan-teriakan cucu perempuannya langsung mengalihkan pandangan ke arah gadis yang terus berlari menghindari kejaran cucu laki-lakinya. Ia menghela napas. Tanpa harus mendekati, dirinya sudah tahu apa yang terjadi. Revan pasti sedang menjahili adik sepupunya dengan hewan yang paling ditakutinya.
"Revan! Sudah!!" teriak Kakek menginterupsi cucu laki-lakinya untuk menghentikan kejahilannya.
Ustadz Rifki menyunggingkan senyumnya menatap ke arah gadis yang terduduk di bawah pohon dengan berderai air mata. Ia tak menyangka, gadis yang tampak kuat, takut akan hewan mungil itu. Bahkan, sampai menangis.
"Gila tuh, Riska, dia beneran takut sama ulat?" seru Asep masih dengan tawanya.
"Haha, karena Revan saya tahu kelemahannya." ujar Galih girang.
Di lain sisi, Riska melempar asal kerikil di sekitarnya. Ia teramat kesal dengan kakak sepupunya. Sejak dulu sampai sekarang, setiap dirinya ke perkebunan, Revan selalu memberinya ulat.
"Hiks...hiks... b*****t lo, Bang." umpat Riska disela tangisnya.
"Ya Allah, Neng, itu pipinya sampe merah gitu?!" tutur seorang wanita yang berjalan melewatinya.
Riska tak menggubrisnya. Ia masih terisak. Meskipun, sudah beberapa kali menyeka air matanya. Tetapi tetap saja, buliran bening itu terus melolos dari pelupuk matanya.
"Ehem." Riska mendongakkan kepalanya dan mendapati sebuah sapu tangan. Ia semakin mendongak dan melihat siapa orang yang memberinya sapu tangan itu.
Riska menerimanya dan digunakan untuk mengelap air mata dan ingusnya.
"Makasih, Ustadz Rifki."
Yeah, Ustadz Rifki-lah yang memberinya sapu tangan itu. Lelaki itu merasa tak tega melihat gadis yang selalu mengejarnya, terus menyeka air matanya dengan lengan bajunya. Entah mengapa, dirinya tergerak untuk memberikan sapu tangan yang selalu berada di saku celananya dan ia pun memutuskan untuk memberikan sapu tangan tersebut kepadanya.
"Saya pergi." ucapnya mengangkat kaki dan sama sekali tidak dicegah oleh Riska. Sehingga membuat hatinya merasa seperti kehilangan? Tidak. Jangan sampai, dirinya berpikir seperti itu. Meskipun, baginya, Riska adalah gadis yang berbeda dengan gadis lainnya.
Riska menyandarkan kepalanya di batang pohon. Ia menatap kepergian Ustadz Rifki dengan tatapan sendu. Masih ada banyak waktu untuk mendapatkan lelaki itu. Dirinya hanya perlu berusaha disertai do'a.
"Cinta Riska ke Ustadz Rifki itu nggak main-main. Jadi, Riska akan berjuang demi mendapatkan Ustadz Rifki. Riska nggak akan biarin ada cewek lain yang ngedeketin Ustadz. Karena Ustadz Rifki cuma milik Riska." tuturnya menatap para gadis, yang entah sejak kapan, berkumpul bersama mereka.
Riska berdiri dan menatap kakinya yang sudah kotor karena tanah. Ia pun memutuskan untuk melepas alas kakinya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya saat tatapan mereka saling bertemu secara tak sengaja. Tetapi, lelaki itu segera menundukkan kepalanya. Ia tahu alasannya, karena Ustadz Rifki tengah menjaga pandangan. Dan seharusnya, ia juga melakukan hal yang sama. Tetapi dirinya tak bisa, karena rupa Ustadz Rifki yang begitu tampan membuatnya tak bisa berhenti memandanginya.
"Riska." Langkah Riska terhenti. Ia menoleh pada Kakek yang tengah terduduk dengan sebuah gelas di tangannya.
"Sini!" Kakek melambaikan tangan padanya.
Riska pun melangkah mendekatinya. Ia duduk berhadapan dengan sang Kakek. Mengamati wajahnya yang sudah tak muda lagi. Tetapi, aura ketegasannya terus terpancar. Membuat siapa saja, segan terhadapnya.
"Iya Kek?"
Seseorang melempar sebuah ranting ke depan seorang gadis yang tengah berbincang dengan Kakeknya. Betapa terkejutnya, Riska melihat seekor ulat yang melata di atas karpet yang berasal dari ranting yang dilempar oleh kakak sepupunya.
"Aaaa... Uleettt...." teriak Riska berlari. Membuat si pelaku tertawa keras. Bahkan, sampai memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
Revan mengambil ulat itu dengan ranting dan mendekatkannya pada Riska.
"Jauhin, sih, Bang!" Riska mengibaskan tangan, mengisyaratkan pada kakak sepupunya agar menjauhkan hewan menggelikan itu. Tetapi, tak diladeni sama sekali oleh Revan. Malahan, lelaki itu semakin mendekat, membuat Riska terbirit-b***t menjauhinya.
"HWAAA... KAKEK... TOLONGIN RISKAAA..." teriaknya menggema di perkebunan.
Rasa takut telah menguasai dirinya. Buliran bening sudah tak kuasa dibendungnya. Riska tak memikirkan harga dirinya yang akan turun. Karena menghindari kakak sepupunya itu lebih utama.
"Riska! Nih, ulatnya, katanya mau lo jadiin peliharaan?!" teriak Revan disela tawanya.
"Daripada gue pelihara ulet, mending gue pelihara tuyul!" celetuk Riska.
Revan menghentikan kejahilannya. Ia merasa lelah sendiri dan membuang ulat itu. Wajah Riska sudah memerah karena tangis. Bahkan, hijabnya sudah basah karena digunakan untuk mengelap air mata dan ingusnya. Sapu tangan yang diberikan oleh Ustadz Rifki tertinggal di karpet—tempatnya duduk bersama Kakek tadi.
Dalam diamnya, ia mengutuk semua orang, karena tak ada satupun yang menolongnya. Untungnya, kakak sepupunya telah membuang ulat tersebut, hingga membuatnya merasa sedikit tenang.
"Riska! Itu, di jilbab kamu ada ulat!!" teriak Fatur menunjuk jilbab yang membalut kepalanya.
Tanpa berpikir panjang, Riska segera melepas jilbabnya dan melemparnya asal. Napasnya sudah memburu. Ia sampai tak sadar, jika rambut panjangnya beterbangan karena hembusan semilir angin. Membuat banyak pasang mata terpesona melihatnya.