Jenar masuk ke perpustakaan kampusnya dengan senyum yang berbinar. Dia kemudian mendekati seorang pria yang tengah fokus membaca buku. Dia duduk disamping pria itu dan menempelkan kepalanya dibahu kekarnya.
Pria itu terkejut menjauhkan bahunya, menatap Jenar aneh.
"Permisi, apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya heran.
Jenar yang mendengar mendengus dan memutar bola matanya.
"Dexter Arselio Mahatma, senior yang sangat berkharisma mahasiswa kedokteran yang sangat dingin," kata Jenar sambil menahan tawanya.
Pria bernama Dexter kemudian bangkit dan menjauh dari Jenar.
"Mohon maaf, saya tidak mengenal kamu. Jadi jangan bersikap diluar batas, karena itu sangat mengganggu untuk saya."
Setelah mengucapkan kata sarkasnya, pria itu meninggalkan Jenar sendirian. Jenar tersenyum senang, kemudian tanpa sengaja melihat buku yang pria itu baca tertinggal dikursi yang sempat Dexter duduki tadi. Jenar mengambilnya dan membaca sekilas.
"Secret of love," gumam Jenar sambil menganggukan kepala.
Dia kemudian menyimpan buku milik Dexter yang tertinggal dan memasukannya ditas. Tuhan pasti memberikan sekenario untuknya bertemu dengan Dexter lagi, Jenar percaya itu.
Wanita itu bangkit dan pergi ke kelasnya. Jenar dengan kasar mendudukan dirinya dikursi hingga Ayu yang sedang menulis tercoret.
"Astaga, sorry Yu. Gue nggak sengaja," kata Jenar cengingiran.
"Nggak papa, lagi pula coretannya cuma segaris aja," kata Ayu tersenyum.
Jenar mengambil buku milik Dexter dan membacanya. Ayu sempat melirik Jenar dan tanpa sengaja melihat buku yang dipegang wanita itu.
"Secret of love?" gumam Ayu.
Jenar yang dengar menoleh dan tersenyum.
"Oh buku ini? Kenapa lo tau?"
"Iya, itu bukunya pernah aku baca dulu. Ceritanya tentang Nadia, ponakan yang mencintai pamannya sendiri. Bagus banget, tapi sayangnya bukunya sempet hilang," kata Ayu sedih.
"Gue malah belum baca, soalnya ini buku punya Dexter."
"Serius? Kenapa bisa dikamu?"
"Gue tadi ke perpustakaan dan nggak sengaja Dexter ninggalin bukunya dikursi, yaudah gue ambil aja siapa tau bisa ketemu lagi haha."
Ayu mengangguk - anggukan kepalanya paham. Dia kembali melanjutkan kegiatannya menulis. Tetapi, tiba - tiba Jenar menutup bukunya kasar dan membuat Ayu terkejut. Wanita itu berhenti menulis dan menoleh ke samping.
"Nar, kamu nggak papa?" tanya Ayu khawatir.
"Gue lupa ngasih tau lo, kalau besok nyokap minta lo ikut liburan bareng kita."
"Liburan?"
"Iya, lagi pula nyokap suka sama lo. Katanya lo anaknya manis baik pula. Jadi lo ikut ya?"
Ayu mengatupkan bibirnya. Dia mendadak teringat ancaman Putra yang menyuruh Ayu menjauhi keluarganya. Jika dia ikut, maka dia juga akan bertemu Putra dan pria itu akan menghukumnya. Ayu menggelengkan kepalanya tidak ingin jika sampai kejadian itu terulang lagi.
Jenar yang melihat Ayu menggelengkan kepala menepuk bahu wanita itu supaya tersadar kembali.
"Woy!"
"Gimana Nar?"
"Pokoknya lo harus ikut, nggak ada alasan. Gue jemput lo besok titik!"
Ayu coba berbicara kembali dengan Jenar tapi Jenar menutup telinga seolah tidak akan mendengar alasan dari Ayu.
***
Besoknya, Jenar benar - benar menjemput Ayu diapartemennya. Mobilnya dari tadi sudah mengklakson terus - terusan. Ayu tidak mungkin terus berdiam diri didalam beralasan apapun. Karena saat ini keamanan apartemennya sudah menegur berkali - kali Jenar, namun tidak diidahkan. Terpaksa Ayu keluar dan menemui Jenar supaya wanita itu tidak membuat kerusuhan mengganggu unit lainnya.
"Jenar!" teriak Ayu.
Jenar melepas kacamatanya dan meletakan diatas kepala. Dia keluar dari mobilnya dengan santai ke arah Ayu.
"Ayok!"
Jenar menarik paksa Ayu masuk ke mobilnya. Ayu membelakan mata melihat tangannya yang ditarik.
"Nar, aku belum ambil-"
"Stsss, kalau masalah pakaian bisa gue urus, jangan kayak orang susah deh Yu. Let's go!!"
Jenar melajukan mobilnya kencang menuju bandara. Ayu berpegangan kencang karena wanita itu membawa mobilnya diatas rata - rata.
Mobilnya berhenti dan kemudian Ayu turun memuntahkan isi perutnya. Dari kejauhan seorang wanita panik menghampiri keduanya.
"Ayu? Astaga, kenapa bisa gini?"
Wanita itu memijat tengkuk Ayu untuk membantu wanita itu mengeluarkan isi perutnya. Setelah itu memberikan minyak kayu putih kepada wanita itu, dan mengoleskan ditengkuknya.
"Maaf Mah, Jena ngebut hehe."
Valeri berdecih dan menatap tajam Jenar.
"Lain kali nggak boleh, kasian temen kamu sampai gini. Ayo sayang."
Valerie memeluk bahu Ayu dan menuntunnya masuk ke dalam. Ayu yang merasa tidak enak hanya diam saja sedari tadi.
"Pah!" teriak Jenar.
Ayu melihat Jenar memeluknya erat dan tersenyum. Ayu memalingkan wajah tidak ingin bertatap muka dengannya.
"Kenapa dia bisa disini?" tanya Putra datar.
"Aku yang mengajak Ayu ikut. Lagipula, Ayu sudah aku anggap keluarga sendiri. Dia wanita yang baik," kata Valerie sambil mengelus surai Ayu.
Ayu menatap Valerie sulit dipercaya. Wanita itu menganggapnya sebagai keluarganya. Bagaimana jika kelak Valerie tau dia bukan wanita baik - baik yang menjadi simpanan suaminya, apa dia masih akan menganggap dia seperti keluarga?
Putra hanya menatap Ayu datar kemudian pergi begitu saja. Valerie, Ayu dan Jena menyusul dibelakang menaiki pesawat pribadi milik keluarga mereka.
Valerie duduk disebelah suaminya Putra, sementara Ayu duduk disebelah Jenar dan berhadapan dengan pria itu. Sepanjang perjalan, Ayu menjadi gugup bahkan tidak tenang. Putra selalu menatapnya, tatapannya tidak dapat diartikan, penuh dengan tanda tanya.
Apa pria itu marah dia ikut berlibur dengan keluarganya?
Ayu terus saja memikirkan pria itu. Kemudian dia bangkit pergi menuju kamar mandi. Dia mengusap wajahnya kasar dan menatap dirinya dicermin.
"Apa yang harus aku lakukan..." lirih Ayu.
Ayu kemudian merapikan rambutnya dan keluar dari kamar mandi. Saat dia keluar, ternyata Putra sudah berada didepan kamar mandi dengan menatapnya datar.
Pria itu melangkah maju dan membuat wanita itu melangkah mundur.
Brak
Pintu ditutup oleh Putra. Kemudian pria itu memojokan wanita itu hingga ke didinding kamar mandi. Ayu panik dan meraba sekitar untuk berpegangan.
"Sudah seminggu aku memberi kebebasan untukmu, apa sangat menyenangkan?"
Ayu memejamkan matanya merasa gugup sangat dekat dengan pria itu. Dia takut, Putra begitu mengerikan baginya.
"Yu, lo kok lama banget?" teriak Jena dari luar.
Ayu panik menatap Putra kebelakang, pria itu mendekatkan kepalanya dan berbisik.
"Bilang jika kamu sedang sakit perut," perintah Putra.
"Aku-" Ayu menutup mulutnya karena tidak bisa menahan kenikmatan yang Putra berikan.
"Lagi sakit perut!" teriak Ayu.
"Good girl, rapikan rambutmu, jangan membuat mereka curiga."
Putra lebih dahulu pergi, sementara Ayu menatap dirinya dikaca memanas. Putra begitu mendominasi dan mencengkram kebebasannya.
"Kamu jalang Yu, bahkan tidak mampu menolak sentuhan pria b******k itu."
***
Ayu kembali ke tempat duduknya. Putra ternyata sudah kembali dan Valerie yang sudah tertidur dipundaknya.
Ada rasa iri melihat Valerie yang begitu bisa bebas bermesraan dengan pria itu. Sedangkan dia? Dia dan Putra hanya sebatas hubungan ranjang tidak kurang dan lebih.
Jenar menatap Ayu aneh, dia kemudian menyenggol bahu Ayu keras untuk menyadarkannya.
"Woy, liatin bokap gue gitu banget. Naksir lo?"
Ayu yang salah tingkah membenarkan rambutnya yang terjatuh.
"Apasih Nar, ngaco kamu."
Kemudian Ayu menatap keluar jendela. Dia memejamkan matanya.
"Nggak mungkin aku suka sama Pak Putra. Nggak mungkin."
****
Pesawat yang mereka tumpangi telah sampai ditempat tujuan. Jenar turun dengan heboh dan berteriak kencang.
Ayu yang melihat wanita itu dari jauh hanya tersenyum tipis.
"Jena wanita yang ekspresife."
Mendengar suara dari belakang, Ayu menoleh dan mendapati Valerie yang menatap putrinya sambil tersenyum.
"Jadi jika putri saya bersikap egois, saya minta maaf."
Ayu yang merasa tidak enak dengan cepat menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak seperti itu tante. Jenar orang yang baik, meski dia sedikit keras kepala," kata Ayu.
"Yu, sini deh! Ada balon terbang," teriak Jenar.
Ayu kemudian menghampiri Jenar dan melihat mengikuti tatapan perempuan itu. Dua balon merah yang terbang dari kejauhan semakin mendekat dan berakhir turun didepan mereka berdua. Jenar yang sangat excited langsung mengambil salah satu balon.
"Wih gila, ada suratnya."
Jenar mulai membuka surat yang ada dibalon tersebut. Matanya berubah berbinar setelah membacanya. Ayu yang ikut penasaran mengambil satu balon dan juga membacanya.
"Welcome to Namami Island?" gumam Ayu.
Duar
Kembang api meletup diangkasa dan berakhir dengan tulisan 'Welcome'
semua terpesona melihatnya. Bahkan Ayu tak sadar membuka mulutnya, berbeda dengan Jenar yang sudah mengambil ponsel dan mengabadikannya di i********:.
"Selamat datang Nona Jenar, perkenalkan saya Manohara yang akan menemani sekeluarga selama Nona berada disini," ucap wanita berkebaya yang datang memberikan ucapan pada Jenar.
"Thankyou Mbak Mano, sambutannya keren abis. Naik gaji nih habis ini hahaha," canda Jenar.
"Mari saya antar ke Villa."
Kemudian, Jenar dan Ayu mengikuti wanita bernama Manohara itu hingga kesebuah villa yang berdominan batu sebagai strukturnya. Banyak pepohonan yang membuat begitu asri lingkungan sehingga menjadi adem. Mereka kemudian masuk kedalam, tetapi Ayu terdiam saat melihat isi villa begitu megah dan sangat unik.
"Keren," batin Ayu.
Wanita bernama Manohara itu membawa Ayu dan Jenar ke kamar masing - masing. Kamar mereka letaknya bersebelahan.
"Terimakasih Mbak Mano."
"Sama - sama, saya pamit undur diri."
Wanita bernama Manohara itu turun dan tinggallah Jenar dan Ayu yang masih berada diluar kamar. Jenar mendekati Ayu dan menyenggol lengan wanita itu.
"Gimana, nggak sia - sia kan lo gue paksa?" tanyanya sambil menarik turunkan alisnya.
"Iya, tapi Nar, pakaian aku gimana?"
Jenar berdecih dan bersedekap, "Mereka udah siapin di lemari, cek aja. Dari baju tidur, santai, pakaian pesta, bahkan dalaman lo pun ada."
"Serius?" tanya Ayu tidak percaya.
Jenar menjentikan tangannya didepan muka Ayu.
"Lo lupa? Mata gue mata elang, cuma liat aja gue tau ukuran bh lo berapa. Gue tinggal hubungin penanggung jawab Villanya dan mereka yang bakal nyiapin semuanya. Yaudin gue masuk kamar dulu."
Jenar terlebih dulu masuk ke kamarnya. Kemudian Ayu juga ikut menyusul masuk ke kamarnya.
***
Hari sudah berganti menjadi malam. Saat ini, pukul delapan waktu indonesia bagian timur. Jenar sudah lelah berkeliling Villa dan berakhir duduk ditaman belakang Villa menemani Valerie yang sedang memanggang daging.
"Mah, yang itu tu gosong," peringatan Jenar.
"Haha, maaf Mamah tidak ahli memanggang daging," ucap Valerie sambil tertawa.
"Cih, Mamah payah ih. Sini biar aku aja."
Jenar kemudian mengambil alih memanggang daging. Dari jauh Ayu datang bersama dengan Putra. Ayu ikut bergabung dengan Jenar dan Valerie sementara Putra duduk dipinggir kolam sambil menyesap wine.
"Ngapain kamu Nar?" tanya Ayu.
"Gue lagi tidur," jawab Jenar asal.
"Ha, tidur?"
"Pake nanya lagi, gue kipas - kipas gini lagi bakar lah Yu. Dikira gue lagi tidur apa. Ck ck, temen gue polos banget."
Jenar dengan semangat memanggang daging dipanggangan. Sementara Valerie dan Ayu hanya melihat sambil duduk dikursi.
"Kamu gimana, suka nggak berada disini?" tanya Valerie.
"Suka tante, tempatnya bagus banget," kata Ayu jujur.
"Pulau ini dibeli oleh suami saya tahun lalu, katanya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami."
Ayu sekilas menatap Putra diujung. Jika pria itu sampai memberikan Pulau ini untuk istrinya, lalu kenapa dia memilih memiliki simpanan dan mengkhianati wanita sebaik Valerie ini.
"Saya beruntung sekali memiliki suami setia seperti dia. Dua puluh tahun kita menikah, kami baik - baik saja. Saya harap nanti kamu dan Jenar akan mendapatkan suami setia seperti suami saya. Terutama untuk kamu Ayu," kata Valerie sambil menatap hangat Ayu.
Dada Ayu berdesir menatap wanita dihadapannya. Andai Valerie tau, fakta bahwa suaminya tidak sesetia itu. Dan Ayu tidak sebaik yang dia bayangkan. Valerie pasti merasakan sakit hati akhirnya jika hubungan gelapnya dengan suaminya sampai terbongkar, begitu juga dengan Jenar. Mereka pasti membencinya. Sangat membencinya.
"Awww ashhh."
Valerie langsung lari ke arah Jenar saat wanita itu teriak memegang tangannya yang terkena pemanggangan.
"Kenapa sampai kena pemanggang? Kamu ini tidak berhati - hati!" omel Valerie.
"Ayu, tolong kamu panggang dagingnya dulu ya. Tante mau obatin anak nakal ini."
"Ah, iya tante. Biar Ayu yang panggang aja."
Valerie dan Jenar masuk ke Villa, kemudian panggangan diambil alih oleh Ayu. Wanita itu mengipas - kipas pemanggang supaya dagingnya matang merata. Tiba - tiba, wanita itu terkejut sebuah tangan memeluknya dari belakang.
"Astaga!"
Ayu menoleh, dan melihat kebelakang tubuhnya ternyata Putra yang memeluknya dari belakang.
"Pak Putra, lepasin Pak.."
"Kenapa, kamu nggak mau saya peluk? Ingat, kamu masih babby sugar saya Ayu."
"Tapi Pak, nanti orang pada lihat," kata Ayu gelisah sambil berusaha melepaskan tangan kekar milik Putra.
"Jika kamu mengecilkan suara, tidak ada yang mendengarnya. Lagipula, istri saya dan Jenar masih didalam. Kita berduaan disini."
"Tapi Pak..."
"Stss, babby aku hanya mau memelukmu saja. Kamu lanjutkan kegiatanmu," kata Putra sambil mencium tengkuk Ayu.
Ayu yang merasakan basah ditengkuknya merinding, dia merasa gerogi dan juga gelisah bagaimana jika Jenar atau Valerie memergoki mereka sekarang?
Ayu terus merasakan hujaman dilehernya. Dia tidak mau kalah lagi, dia merapatkan bibirnya kencang agar desahan tidak lolos dari bibirnya.
"Apa kamu menikmatinya hum?"
"Hm."
"Kamu sangat cantik hari ini. Aku bahkan tidak bisa menahan untuk melirikmu sepanjang hari," kata Putra sensual.
Tangan pria itu tidak tinggal diam naik menggerayangi buah dadanya dan meremasnya.
Daging didepannya sudah menghitam karena dibiarkan gosong. Tapi, mereka seolah tidak perduli satu kesekitar.
***
Jenar yang diobati oleh Valerie diam menatap Mamahnya yang cekatan memperban tangannya.
"Lain kali hati - hati. Kamu ini ceroboh sekali."
"Iya Mah, Jena lain kali hati - hati."
"Bagus," jawab Valerie sambil tersenyum.
"Mah, Jena suka sama senior dikampus namanya Dexter. Dia ganteng banget. Jena mau tunjukin fotonya, bentar."
Jenar meraba saku baju dan celananya. Kemudian dia menepuk jidatnya teringat sesuatu.
"Yah, ponsel Jena dibangku taman. Mamah tunggu sini dulu. Jena ambil sebentar."
Wanita itu keluar dan turun ke bawah. Dia berdecih, bagaimana bisa lupa dengan ponselnya. Dia berjalan santai sambil melihat tangannya yang diperban.
"Gila, sakit banget tangan gue yang lentik ini."
Jenar terus melangkahkan kakinya menuju belakang Vila. Saat sudah sampai, seperti heboh biasanya, Jenar teriak seenak jidatnya.
"Ayu, lo tau ponsel gue nggak?!" teriaknya.
Kemudian dia menatap kedua orang yang berdiri memunggunginya. Matanya menatap heran.
"Kalian?"