Pertikaian Yang Tak Berujung

2003 Kata
Lusa hari pengambilan raport di bangku putih abu-abu. Biasanya momen ini menjadi salah satu momen yang menyenangkan dan momen yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Sayangnya, itu tidak berlaku untuk Kalla. Kalla justru gelisah menghadapi momen pengambilan raport. Apakah ada yang akan mengambil raport Kalla? "Siapa yang mau ambil raport aku? Ahh nggak lucu, kalau harus aku juga yang datang ke sekolah. Terlalu mandiri... Huhh Kalla Kalla," Kalla menggelengkan kepala karena pikirannya sendiri. "Weyyy, kenapa?" "Kenapa apanya?" Tanya Kalla kepada Aksa yang tiba-tiba saja menanyakan keadaannya. "Itu mukanya ditekuk." "Daripada digantung kan," ujar Kalla sambil meninggalkan Aksa di belakangnya. "Ohhh udah bisa ngelawak ya sekarang," ledek Aksa sambil mengejar Kalla. "Iya, soalnya aku belajar sama anak sekolah sebelah, nih. Yang kadang suka bolos, ga belajar, sering dihukum, tapi masih berharap bisa satu kampus sama aku nanti waktu kuliah," ucap Kalla menyindir Aksa dengan halus. "Diajarin siapa nih bisa nyindir nyindir begini? Eh anak polos, nggak boleh ya nyindir orang begitu. Nggak baik tauk," celetuk Aksa menghindari Omelan Kalla lebih panjang lagi. "Nggak nyindir kok. Cuma belum sebut nama aja. Namanya Aksa, orangnya ada di depan aku, nih!" Kalla menengok ke arah, sehingga posisi Aksa ada di depannya. "Jadi, kamu nggak mau nih satu kampus sama aku?" "Kamu kali yang nggak mau satu kampus sama aku. Buktinya, nggak ada usaha apa-apa. Katanya janji sama aku bakal usaha biar kita satu kampus. Mana buktinya? Huhhhh!" Kalla kesal. "Ihhh aku usaha tauk. Cuma, ya nggak terlihat aja. Nanti terlihatnya waktu kita udah terwujud satu kampus, " jawab Aksa dengan percaya diri. "Gaib dong! Udah deh, pulang yuk!" Ajak Kalla. "Kamu nggak mau ke rumahku dulu? Mama kangen loh sama kamu!" "Iya nih, kayanya enggak dulu. Salam dulu ya buat Tante. Besok besok aku pasti ke rumah, kok." "Ada apa nih? Nggak usah ada rahasia segala deh sama aku!" Ujar Aksa semakin penasaran. "Ada misi yang perlu aku selesaikan," jawab Kalla sambil berbisik. Lalu Kalla menarik Aksa agar segera menuju ke parkiran. Rumah, sesuatu yang hidup namun tak bernapas. Sesuatu yang nyata namun tak bernyawa. Sesuatu yang menenangkan meski tak bisa memberi pelukan. Tapi itu semua tidak terjadi pada Kalla. Semua hanya sebatas kata-kata yang dirangkai sebagai definisi rumah. Bukan sebagai arti dari rumah Kalla. "Mama sama papa dimana, ya? Udah pulang belum ya?" Kalla bertanya pada diri sendiri sambil mencari keberadaan mama dan papanya di setiap sudut rumah. "Yaaah, belum ada yang pulang," ujar Kalla saat tidak menemukan Mama papanya di setiap sudut rumahnya. Gelap telah larut dengan malam. Hening menemani kegelapan, sunyi melengkapi kesendirian. Hanya ada Kalla di rumah bersama dengan suara TV yang lirih. Sofa menjadi pilihan Kalla untuk menunggu kedatangan Mama dan papanya. Sambail merasa kesepian, Kalla memencet tombol yang ada di remote. Memilah apa yang ingin ia tonton. Memilih apa yang ingin disaksikan, sekalian menanti Mama dan papanya pulang. Satu jam berlalu, Kalla mulai bosan mengganti channel TV. Kalla mengambil hp yang ada di saku piyamanya. Membuka kode hp, lalu mulai memainkan game yang Kalla suka. Hp nya menjadi pengalih kegabutan Kalla, sampai tidak sadar Kalla tertidur dengan hp yang masih ada di tangan. Setelah sekitar 30 menit tertidur di sofa, Papa Kalla pulang ke rumah. Raut wajah papa Kalla sedikit ada bahagianya. Meski hanya di ujung bibirnya. Tertutup dengan kumis tipis yang mulai menebal. Kalla terbangun dari tidurnya, mendengar suara sang papa membuka pintu dan menyala yang ada di rumah. "Papa," sapa Kalla sambil bangun dari tidurnya. "Kenapa kamu tidur di sofa?" "Aku nungguin Papa sama mama pulang." "Ada apa? " Tanya Papa Kalla tanpa basa basi. "Ada yang mau Kalla bicarakan, pa." "Besom aja, ya. Papa capek sekali. Papa mau istirahat. Tunggu Mama kamu pulang aja," ujar papa Kalla. "Tapi, pa. Kalla butuh Mama sama papa, bukan salah satunya," jawab Kalla memelas. "Mama kamu kan udah bisa jadi dua-duanya." Obrolan papa dan Kalla berhenti saat Mama Kalla datang. Mama Kalla terlihat suntuk, berbeda dengan papa Kalla yang seperti ada kegembiraan hari ini. "Mama, mama udah pulang?" Mama Kalla tidak menjawab hanya mengangguk dan melambaikan tangannya ke arah Kalla. "Kamu ini, Ibu macam apa sih? Ditanya anak bukannya jawab, malah diam saja." Mama dan papa Kalla bertatapan. Seperti ingin mengeluarkan unek-unek yang ada dibenak mereka masing-masing. "Eee, yaudah Mama sama papa istirahat aja, ya. Sekarang udah malam, pasti mama sama Papa lelah banget. Mama lebih baik masuk kamar, bersih-bersih dan langsung istirahat ya, ma. Papa juga. Kalla juga mau masuk ke kamar. Selamat malam ma, pa, " pamit Kalla sembari menahan rasa kecewanya karena mama dan papanya sulit untuk diajak bicara baik-baik. Pagi Kalla disambut teriknya matahari yang cahayanya mulai menerobos kamar Kalla. Kalla bergegas beranjak dari tempat tidur, menyingkirkan selimutnya, lalu membuka jendela sambil menikmati udara pagi. Di luar kamar, sudah terdengar kesibukan Papa dan mama Kalla yang akan berangkat kerja. Kalla baru ingat, misi nya belum terselesaikan. Kalla langsung berlari, membuka pintu kamar, lalu turun ke bawah untuk menemui papa dan Mamanya. "Maa, paaa," panggil Kalla sampai Mama dan papanya menengok ke arah Kalla. "Kenapa, Kal?" Tanya Mama Kalla melihat Kalla berlari. "Ada apa? Kenapa hari ini kamu nggak sekolah? " Tanya Papa Kalla. "Ada yang mau Kalla bicarakan Ma, Pa," jawab Kalla dengan nada sedikit bergetar. "Apa? Cepat to the point aja, Kal. Mama ngggak banyak waktunya, harus cepat sampai ke kantor." "Sama Mama aja, ya. Papa harus ketemu klien pagi ini," ujar Papa Kalla sambil terburu-buru keluar rumah. Kalla menahan Papanya yang bergegas pergi. Kalla ingin Mama dan Papanya mendengar permintaan Kalla kali ini. "Kalla butuh Mama sama Papa. Bukan salah satu," ucap Kalla. "Ya sudah, cepat bicarakan. Papa nggak punya banyak waktu," jawab Papa Kalla sambil duduk di ruang tengah. "Besok Kalla haru ambil raport semester ini. Sekolah minta, orang tua yang datang ke sekolah. Mama dan Papa bisa, kan? Kalla nggak mungkin ambil raport Kalla sendiri," jelas Kalla dengan suara yang masih bergetar menahan tangis. "Ohhhh," tanggapan Papa Kalla. "Kok cuma oh sih, Pa? Kamu dong besok yang datang. Aku kan kerja," ujar Mama Kalla. "Loh, enak aja. Aku kan juga kerja. Yang kepala rumah tangga di sini itu aku, tugas bekerja itu aku. Tugas kamu itu urusnanak, urus rumah, urus semua keperluan. Jadi udah jelas ambil raport itu urusan siapa kan?" Tanya Papa Kalla kepada mamanya. "Aku nggak bisa. Besok aku harus presentasi projek baru di kantor. Aku nggak mau melewatkan kesempatan ini," jawab Mama Kalla tegas. "Eh emang yang punya kerjaan cuma kamu aja? Bisa kan kamu izin beberapa jam sebelum ke kantor? Datang ke sekolah anak kamu dulu. Apa susahnya sih?" "Itu anak kamu juga! Jangan cuma aku dong yang harus repot ke sekolah Kalla." "Itu emang tugas kamu seorang Ibu!" Ucap Papa Kalla sudah mulai emosi. "Tugas orang tua! Kamu sama aku kan orang tua Kalla. Sekarang aku udah kerja, berarti itu bukan tanggung jawab aku lagi! Gantian kamu dong, mas!" "Nggak, aku nggak bisa. Besok aku harus datang, agar aku bisa naik jabatan di kantor. Biar gaji aku lebih tinggi dari kamu dan kamu nggak bisa seenaknya lagi sama aku!" Bentak Papa Kalla. Papa Kalla sudah mulai kesal dengan mama Kalla yang sama sekali tidak mau mengalah. Kalla hanya bisa terdiam, mendengarkan pertengkaran serta perdebatan Mama dan Papanya. Kalla menahan tangisnya, hanya pura pura tegar dan sabar sampai ada keputusan siapa yang akan datang ke sekolah Kalla esok hari. "Mas, tunggu! Ini belum ada jawaban. Kasihan Kalla masih nunggu jawaban dari kita. Kamu pokoknya besok harus datang ke sekolah Kalla. Aku nggak bisa datang karena ada meeting penting pagi. Kamu kan paling bisa diundur tuh acara pengangkatan jabatannya. Paling juga karyawan tetap, kan? " Ucap Mama Kalla sambil menahan Papa Kalla pergi duluan. "Jaga ya omongan kamu! Nggak ada hormat hormatnya kamu sama suami! Istri macam apa kamu ini?" Papa Kalla sudah emosi. "Kamu yang nggak pernah menghargai aku sebagai istri kamu. Selama ini kamu kerja ngapain aja? Sama perempuan perempuan nggak jelas." "Plak!" Papa Kalla menampar Mama Kalla di depan Kalla. Kalla lari memisahkan Mama dan Papanya. "Cukup Ma, Pa!" "Mama nggak apa-apa kan?" Tanya Kalla khawatir. "Papa boleh berangkat kerja sekarang, hati-hati," ucap Kalla menahan emosi dan tangis lagi. "Mama ada yang sakit? Ada yang perlu Kalla obatin?" Tanya Kalla dengan sabar. "Engga, nggak ada. Papa kamu tuh emang kurang ajar kalau sama mama. Nggak ada menghargainya sama sekali. Duh make up Mama gimana ini, masih bagus kan?" Tanya Mama Kalla disela-sela khawatirnya Kalla. "Bagus, ma. Masih cantik seperti biasa." "Baguslah, Mama nggak perlu make up lagi. Mama berangkat dulu, ya. Mama udah ditunggu di kantor," pamit Mama Kalla. Kalla membiarkan Mama dan Papanya berangkat kerja. Karena Kalla tidak mau keributan itu menjadi semakin panjang. Kalla lebih baik mengalah, mengubur semua ekpektasi, menenggelamkan semua permintaan diri. Di depan rumah, Kalla meringkuk. Ingin menangis, tapi untuk apa lagi. Lebih baik Kalla sibuk menguatkan diri. "Kal, kamu kenapa di sini? Kamu sakit?" Suara tanya Aksa yang terdengar sangat panik melihat Kalla duduk di depan sendirian. Kalla bangun dari menunduk, melihat wajah Aksa yang tiba-tiba sudah ada di depannya. "Aksa, sejak kapan kamu di sini?" Kalla tanya balik kepada Aksa. "Yeeee, ditanyain bukannya jawab malah tanya balik. Kamu kenapa sendirian di sini? Kamu sakit?" Aksa masih saja bertanya kepada Kalla meskipun sebelumnya tidak ada jawaban. "Engga kok, aku baik-baik aja. Kamu kenapa ke sini pagi-pagi? Kan kita nggak sekolah hari ini," jawab Kalla diselipkan pertanyaan lagi. "Aku bawain makanan buat kamu. Disuruh Mama, kata Mama, Mama kangen sama kamu. Kamu udah lama nggak ke rumah. Mama takut kamu kenapa-kenapa, jadi, Mama masakin buat kamu nih," Jawab Aksa. “Wahhhh pasti enak banget, ini. Kebetulan aku juga belum sarapan. Kita makan bareng, yuk!” Ajak Kalla kepada Aksa. Kalla menerima rantang yang dibawa oleh Aksa. Kalla membawa masuk dan menyuruh Aksa untuk makan bersama di meja makan. Kalla menyembunyikan segala perasaannya. Kalla hanya terlihat baik-baik saja, meskipun sebenarnya Aksa tahu, jika Kalla sedang tidak baik-baik saja. Kalla menyiapkan makanannya di meja makan. Lalu, mengambilkan Aksa piring dan sendok. Setelah itu, mempersilakan Aksa makan. “Kamu nggak capek apa, pura-pura terus?” “Haaaaa?” Kalla terkejut dengan pertanyaan Aksa. “Pura-pura nggak terjadi apa-apa, padahal kamu nggak baik-baik saja. Iya, kan? Apa salahnya cerita? Memangnya kalau seseorang cerita itu tandanya mereka lemah? Enggak, Kal! Manusia hidup itu butuh orang lain, walaupun hanya sekedar untuk bercerita. Bahkan berbagi cerita dalam setiap masalah itu lebih dibutuhkan daripada bantuan lain,” ucap Aksa panjang lebar sebelum mulai makan. “Aksa, apa sih kamu. Pagi-pagi sudah mulai ngomel-ngomel saja, deh. Aku lapar, ini. Kita makan dulu, ya. Bahas yang seperti itu nanti saja kalau kita sudah kenyang.” “Ya sudah deh, terserah kamu saja, Kal. Yang penting kamu tahu, ada aku. Aku yang selalu siap jadi sandaran buat kamu, jadi telinga untuk mendengarkan semua cerita kamu. Kamu harus tahu dan harus selalu ingat itu.” Hening sejenak saat Aksa dan Kalla menikmati makanan dari Mama Aksa. Hanya ada suara gesekan piring dan sendok, sesekali ada suara dari mulut Aksa dan Kalla yang sedang menikmati makanan di piring mereka masing-masing. “Sudah kenyang, kan? Sekarang waktunya kamu cerita, dong! Seperti janji kamu tadi.” “Eeeeem, aku nggak ada cerita apa-apa hari ini. Yang ada, aku mau cuci piring dulu, ya. Maklum kan aku nggak punya pembantu di rumah. Di rumah sendiri, nggak ada orang lain. Kalau pun ada Cuma numpang tidur,” celetuk Kalla berniat bercanda dengan Aksa. “Yaudah Kal, aku pamit pulang dulu, ya. Ada urusan mendadak, ini!” “Urusan apa?” “Kepo, deh!” jawab Aksa merahasiakan urusannya dari Kalla, sekaligus membalas dendam karena Kalla tidak mau menjawab pertanyaan Aksa tadi. Kalla malu jika harus menceritakan tentang kesedihannya kepada Aksa. Apalagi kesedihannya itu dengan alasan yang sama. Yaitu pertengkaran kedua orang tuanya. Kalla juga tidak ingin orang lain menilai buruk Mama dan Papanya. Bagaimana pun juga, Mama dan Papa Kalla sudah memberikan kehidupan untuk Kalla. Meskipun tidak memberikan cinta dan kasih sayang seperti yang seharusnya. Kalla tidak mau Aksa ikut campur dengan urusan keluarganya. Walaupun Aksa dan Kalla sudah sangat dekat, Kalla tetap memiliki perasaan insecure, karena permasalahan yang dialaminya. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN