Rasa Yang Tak Terungkapkan

2176 Kata
Hari Sabtu yang berbeda dari biasanya. Kesibukan di rumah, tidak hanya terdengar dari Mama dan Papa Kalla saja. Kini, Kalla juga mendengarkan segala kesibukannya di pagi hari untuk bersiap ke kampus. Rasanya waktu seperti berlari, seperti mengejar sesuatu yang belum ditemui. Begitu cepat berdetik, berganti, juga begitu cepat berlalu. Dulu, Kalla harus kesepian setiap paginya, harus bersiap ke sekolah sendirian. Setelah Mama dan Papa pergi ke kantor, Kalla baru turun ke bawah, melihat sarapan apa yang bisa Kalla akan pagi itu. Pelan-pelan menyiapkan semuanya, mengikat rambut, memakai seragam sekolah, menyiapkan segala perlengkapan sekolah, buku-buku sekolah, tas, dan juga sepatu. Dulu, Kalla sempat sangat berharap mendapatkan kado tas sekolah lagi dari kedua orang tuanya. Sekarang, Kalla sudah bisa merancang dan membuat tas sendiri. Tidak perlu menunggu saat Kalla ulang tahun, kapan pun Kalla mau, Kalla bisa membuatnya sendiri. Kalla melepas handuk yang melingkar di kepalanya. Lalu, mulai mengeringkan rambutnya yang basah. Setelah mulai kering, Kalla menyisir rambutnya dengan lembut, berlanjut ke wajahnya. Memberikan sentuhan bedak sedikit di wajah, blash on pipi agar terlihat lebih segar, menjepit bulu matanya, memberikan warna di kelopak matanya, terakhir memberikan warna di bibirnya tipis-tipis karena Kalla tidak suka terlihat menor. Menatap wajahnya sebentar di kaca, senyum kecil, memiringkan ke kanan dan ke kiri. Kalla rasa sudah cukup make-up nya pagi ini. Setelah membereskan semua peralatan mandi dan make-up nya, Kalla langsung mengambil tas dan turun ke bawah. “Kalla bukan anak kecil yang menggendong tas sekolah lagi. Sekarang Kalla sudah dewasa dan siap mewujudkan mimpinya,” ucap Kalla sambil menuruni anak tangga dengan mengenang segala kenangan masa kecilnya. “Roti tawar, kita sudah seperti soulmate, ya. Sudah berapa tahun kita saling menemani? Terima kasih, ya sudah menjadi pengawal di pagiku selama belasan tahun,” ucap Kalla sembari membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Setelah kenyang karena roti tawar sudah menjadi asupan paginya, Kalla langsung mengunci rumahnya. Berbeda dengan orang lain, tidak ada yang mengantar Kalla sampai di depan pintu. Mengucapkan hati-hati, atau hanya memandangi Kalla pergi dari rumah. “Bisa nggak ya, aku merasa tenang dan nyaman di kampus, sedangkan orang yang bisa membuat aku tenang dan nyaman nggak ada di sini?” tanya Kalla dalam hati. Angin meniup rambut Kalla, membuat helaian rambut Kalla berantakan. Namun, Kalla masih asyik dengan lamunannya tentang perpisahannya bersama Aksa. Harusnya, kampus ini akan menjadi tempat kesehariannya bersama Aksa. Mungkin nasib mereka saja yang berkata lain. Semua ini memang pilihan, bukan keharusan.  Tetapi, rasanya tidak ada alasan yang tepat untuk menolak semua ini. Mau tidak mau, harus mereka jalani perpisahan sementara ini. “Kamu calon maba di sini, kan?” tanya seorang laki-laki dari belakang Kalla. Kalla menengok ke arah sumber suara, membuka rambutnya yang menutup mata. Ternyata, laki-laki yang dua kali menolong Kalla dalam sehari waktu itu. “Eeee iya, kak,” jawab Kalla singkat. “Ke sana!” pinta laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Kalla begitu saja. “Kallaaaaaaaa,” panggil Meira mengejutkan Kalla saat sedang menatap si laki-laki dingin dan misterius itu. “Haii Mei.” “Kenapa? Kok serius banget keliatannya. Lagi ngeliatin apa sih?” tanya Meira sangat penasaran. “Ahhh engga, kok. Lagi ngeliatin sekitar saja, nyariin kamu, Mei,” ucap Kalla mengalihkan pembicaraan mereka. Kalla dan Meira menuju tempat yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Semua calon mahasiswa baru berkumpul, menanti semua persyaratan untuk mereka bisa menjadi mahasiswa baru di kampus pilihannya. Banyak mimpi, banyak harapan, banyak masa depan yang digantungkan di kampus pilihan mereka. Entah diakhir nanti akan sama jumlahnya dengan awal, atau akan ada yang menyerah sebelum waktunya. “Aksa?” panggil Kalla dan Meira terkejut karena tiba-tiba Aksa ada di depan kampus mereka. “Kamu ngapain di sini?” tanya Kalla melanjutkan penasarannya. “Hai Kal, Mei,” sapa Aksa sambil menebarkan senyum kejahilan Aksa. “Dih sok manis deh, lo!” Meira sinis kepada Aksa. “Sirik banget sih lo, Mei!” ledek Aksa sambil membuat rambut Meira berantakan. “Makan bareng, yuk!” ajak Aksa kepada Kalla dan Meira. “Katanya lo mau berangkat, kok malah keluyuran sih?” tanya Meira penasaran. “Sudah deh, nanti gue ceritain kenapa gue belum berangkat. Yang penting sekarang kita pilih tempat buat makan bareng. Mau dimana?” Kalla, Aksa, dan Meira pergi dari kampus menuju tempat makan favorit mereka. Di salah satu cafe yang ada di tengah kota. Mereka suka dengan suasana cafe yang tenang, nyaman, dan tentunya makanannya enak. Aksa pesan menu andalannya, es capucino dengan roti bakar, Kalla dan Meira memilih untuk mengganti menu andalan mereka karena ingin mencicipi menu cafe yang lain. “Jadi, kenapa kamu masih keluyuran? Bukannya kamu lusa berangkat?”  tanya Kalla membuka obrolan. “Yaelah, kan berangkatnya masih lusa. Jadi, aku masih punya waktu untuk anter jemput kamu, buat ketemu kamu, buat makan bareng sama kamu, dan ketemu sama sahabat kamu yang tengil ini,” jawab Aksa. Meira membalas Aksa dengan membuat rambutnya berantakan. “Semua sudah beres?” tanya Kalla kembali. “Tenang, sudah beres semuanya.” “Yakin lo? Lo kan anak yang nggak...” “Nggak apa?” Aksa memotong omongan Meira. “Jangan berantem, deh. Kalian kan mau pisah, nanti kangen loh,” ledek Kalla kepada kedua sahabatnya itu. “Dihhhh ogah banget gue kangen sama Aksa,” jawab Meira dengan sedikit sinis. “Yakin sudah lengkap dan siap semuanya?” tanya Kalla meyakinkan Aksa jika tidak ada yang akan tertinggal atau kurang. “Iya, Kal. Tenang saja, sudah semua, kok. Lagian kan semua ini memang sudah Mama dan Papa yang siapin, jadi, aku yakin nggak akan ada yang kurang ataupun ketinggalan.” “Ya syukur lah kalau begitu.” “Kalian sendiri bagaimana? Aman?” “Aman, dong!” jawab Meira penuh dengan semangat. “Kuliah yang bener, lo! Awas ya males-malesan, bayar kuliah itu mahal!” ujar Aksa kepada Meira. “Oh iya, lo tahu nggak?” Meira membuka pertanyaan yang membuat Kalla dan Aksa penasaran. Sebelum Meira melanjutkan omongannya, makanan mereka datang. Meira lebih memilih untuk menyantap makanannya terlebih dahulu, daripada menceritakan apa yang ingin disampaikan kepada Kalla dan Aksa. Padahal, Kalla dan Aksa sangat penasaran dengan cerita Meira. “Ehhh Mei, lo mau cerita apa? Gue penasaran banget, ini!” ucap Aksa disela-sela makan siang mereka. “Ntar dulu dong, Sa! Gue makan dulu, kali. Laper banget ini perut!” Kalla, Aksa, dan Meira melanjutkan makan siang mereka. Hanya ada obrolan singkat untuk mengisi kekosongan saat mereka sedang mengunyah makanan masing-masing. Meira selesai pertama, setelah itu menyantap minumannya dan melihat ke sekitar cafe. Tiba-tiba Meira berteriak. “Ehhhhh,” teriak Meira terkejut melihat sesuatu. “Kenapa?” tanya Kalla dan Aksa kompak. “Cieee kompak amat,” ledek Meira. “Kenapa Mei, malah bercanda deh. Kita sudah beneran kaget ini,” ujar Kalla kesal dengan ledekan Meira. “Lo inget nggak, cowok yang kemarin bayarin ongkos ojek lo dan bantuin lo lepas helm di kampus waktu lo pertama dateng ke kampus?” tanya Meira kepada Kalla. Kalla dan Aksa terkejut mendengar pertanyaan Meira. Aksa langsung menatap Kalla dengan perasaan campur aduk. Entah Aksa harus bahagia, sedih, khawatir, atau harus cemburu? Sebenarnya Kalla masih ingat, bahkan sangat ingat jelas dengan wajahnya. Tadi pagi pun Kalla bertemu dengannya, namun, Kalla berpura-pura mengingat orang yang dimaksud oleh Meira. “Eeeee...” “Ituuu loh, yang kemarin. Masak lo nggak inget sih, Kal?” tanya Meira untuk memperjelas dan membuat Kalla cepat menjawab pertanyaannya. “Siapa? Cowok siapa?” tanya Aksa ikut campur dengan perdebatan Kalla dan Meira. “Eeee, engga kok. Bukan siapa-siapa. Cuma anak kampus yang bantuin aku buat bayar ongos ojek karena aku lupa bawa uang cash,” jawab Kalla dengan sedikit rasa khawatir yang mulai melanda. “Kok bisa? Kenapa kamu nggak minta tolong aku buat anterin ke kampus? Tumben juga kenapa kamu mau ditolongin sama orang lain, apalagi cowok asing?” tanya Aksa dengan segala penasarannya. Meira merasa bersalah karena sepertinya Meira memulai perdebatan diantara Kalla dan Aksa. Meira tahu, Aksa pasti sangat cemburu dan kecewa mendengar ada laki-laki lain yang hadir di hidup Kalla. Meskipun Kalla hanya menganggap sebagai sahabat, dari sorot mata mereka tidak bisa berbohong jika mereka saling menyayangi lebih dari sahabat. Namun, Meira tidak mau ikut campur lebih dalam. Meira hanya ingin Aksa dan Kalla tetap baik-baik saja, walaupun tidak sebagai pasangan kekasih. “Sorry, Kal. Gue nggak maksud apa-apa,” ucap Meira sebagai tanda rasa bersalah Meira kepada Kalla. “Gue Cuma lihat tadi cowok itu keluar dari cafe. Jadi, gue kira lo inget cowok itu, hehehe. Sorry, ya!” “Ada di sini? Kamu janjian?” tanya Aksa semakin penasaran dengan cowok yang dimaksud oleh Meira. “Engga kok. Apaan sih, orang nggak kenal sama sekali. Mana mungkin aku janjian sama cowok yang enggak aku kenal,” jawab Kalla menenangkan Aksa yang mulai terbakar cemburu. “Gue ke toilet dulu, ya!” Aksa pamit ke toilet untuk menenangkan diri dari semua rasa cemburunya. Aksa keluar dari cafe, mencari udara segar yang bisa membawa terbang segala kecemburuannya. Aksa tahu, tidak seharusnya Aksa melarang Kalla dekat atau didekati oleh laki-laki lain. Karena memang Kalla bukan siapa-siapa Aksa, hanya seorang sahabat. “Setelah sekian tahun gue nungguin waktu ini, gue nggak cari perempuan lain, gue nggak mau pacaran karena gue mau jaga perasaan gue buat Kalla, ternyata semua sia-sia. Penantian gue nggak ada artinya, hanya terbalaskan dengan kata-kata nggak ingin kehilangan sahabat. Hahaha, sebecanda itu perasaan lo, Sa!” Aksa ngomel sendiri di luar kecil sambil mengeluarkan unek-uneknya. Aksa sengaja tidak mencari perempuan atau pacar, karena ingin menunggu Kalla. Namun, penantiannya selama ini ternyata tidak berujung indah. Aksa kalah dengan status sahabat yang sudah bergulir lama diantara mereka. Aksa tidak bisa memaksa, tapi perasaannya tidak terima. Apalagi Aksa akan berpisah sementara dengan Kalla. Aksa takut jika nanti waktunya Aksa pulang, Kalla sudah menemukan lelaki lain yang bisa menjadi sandarannya. Karena sejatinya, kekasih akan menjadi yang lebih utama daripada sahabat. Sahabat hanya bisa menyembuhkan luka, sedangkan kekasih yang akan dipilih untuk menemaninya. “Ahhhhhh,” teriak Aksa mengeluarkan rasa tidak nyaman dalam hatinya saat ini. “Lama banget lo dari toilet. Mandi lo?” tanya Meira setelah Aksa balik ke meja makan mereka di cafe. “Kepo banget deh, lo! Ehhh jadi bagaimana, Kal? Sudah seberapa jauh perkenalan lo sama cowok itu?” Tanya Aksa tiba-tiba yang membuat Kalla dan Meira terkejut. “Perkenalan apa? Siapa yang kenalan sama cowok?” Tanya Kalla balik. “Yaaaa belum sempet kenalan, sih. Baru pertemuan awal doang. Tapi, sudah lumayan manis sih menurut gue,” Meira menjawab pertanyaan Aksa. “Ehhh apaan sih. Kok jadi kamu yang jawab,” protes si Kalla. “Terus, Mei?” Aksa semakin penasaran dengan cerita dari Meira. “Gue ceritain? Yakin nggak apa-apa?” tanya Meira meyakinkan Aksa. “Iya dong. Sebagai sahabat kan gue juga berhak tahu,” Ucap Aksa meski sangat menyakitkan untuk Aksa. “Jadi, kemarin si Kalla itu naik ojek ke kampus. Soalnya macet, nggak bisa pakai taksi online. Ya dia naik ojek deh akhirnya. Nah terus kan gue sudah sampe duluan tuh. Si Kalla lupa bawa uang cash, karena seringnya kan bayar pakai aplikai. Jadi, Kalla lupa bawa uang cashnya. Terus, si cowok yang tadi gue maksud itu, nyamperin Kalla, terus bayarin ongkos naik ojeknya.” Aksa mendengarkan dengan serius cerita Meira. “Lanjut ya! Abis bayarin ongkos ojeknya, Kalla lupa nyopot helm. Kalau menurut gue sih Kalla nerveous, ya. Soalnya cowoknya lumayan ganteng, baik pula. Siapa yang nggak deg-degan kalau dideketin begitu.” Kalla menyenggol Meira yang seolah melebihkan cerita Kalla. “Hehehe... Setelah itu ya si cowok itu bantuin Kalla copot helm dari kepalanya. Kan lo tahu, si Kalla memang susah buat copot helm.” “Tumben kamu mau?” tanya Aksa kepada Kalla dengan menahan semua rasa cemburunya. “Lanjut nggak ini? Tanggung,” ucap Meira ingin melanjutkan ceritanya lagi. “Lanjut saja!” jawab Aksa sedikit memaksa. “Terus, rambut Kalla berantakan, ya si doi bantuin ngerapihin rambut Kalla dong. Ehh Kalla nya Cuma bengong saja. Nggak nolak, nggak ngajak kenalan, nggak ngomong terima kasih. Ahh pokoknya Kalla Cuma diem saja di situ. Terus gue dateng deh nyusulin si Kalla, kasihan sudah ditinggal sama si doi sendirian, jadi gue samperin deh!” Meira menyelesaikan ceritanya dengan sangat antusias. Kalla menjadi sedikit canggung dengan Aksa. Sebab, Aksa terlihat sangat tidak nyaman menahan semua rasa cemburunya. Mungkin, Aksa lebih khawatir akan kehilangan kesempatan menjaga Kalla dan tergantikan oleh cowok lain. “Sudah kok Cuma seperti itu saja, nggak ada yang lain. Jadi, nggak perlu ada yang dibesar-besarin lagi, kan?” Kalla protes dengan sikap kedua sahabatnya. Aksa hanya tersenyum lalu menatap mata Kalla dengan tatapan melas. Kalla menghindari tatapan Aksa, agar mereka tidak merasa canggung dan membuat suasana menjadi kikuk. Ada hal yang kita rasakan, namun belum tentu bisa kita ucapkan. Misalnya dengan kesedihan, kita bisa meresakan kesedihan itu. Namun, sulit untuk dijelaskan bagaimana kesedihan itu bisa ada, bisa terasa, dan bagaimana suasana di dalam hati kita. Seperti halnya Aksa sekarang, hanya bisa merasakan bagaimana Aksa merasa sangat cemas akan kehilangan Kalla, merasakan cemburu, namun semua itu hanya bisa Aksa simpan, Aksa rasakan sendiri, karena Aksa bukan kekasih yang Kalla pilih. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN