Sekian Kalinya Bertemu

2458 Kata
Alarm di hp Kalla membuat Kalla bangun, menghentikan mimpi yang semu untuk mengejar mimpi yang nyata. Kesibukan yang terdengar di rumah, kini dimulai dari Kalla. Mama dan Papa Kalla belum terdengar segala kesibukannya. Kalla bangun dari tempat tidurnya, membuka jendela, menyapa hari sebelum memulainya. Melihat ke arah kanan, kiri, atas, lalu menerbangkan harapannya, agar hari ini berjalan baik-baik saja. Kalla mulai mengambil handuknya dan bersiap untuk pergi ke kampus sebagai calon mahasiswa baru. Mengenakan baju hitam putih, rambutnya dihias pita warna merah, dengan sisa beberapa helai rambut untuk menambah manis penampilan Kalla. Tak lupa juga Kalla mengaplikasikan make up yang natural, agar lebih terlihat segar. Setelah dirasa cukup di kaca, Kalla mengambil segala keperluannya di kampus. Semua sudah aman dan Kalla rasa tidak ada yang akan tertinggal di kamar. Kalla membuka pintu kamarnya, keluar untuk segera berangkat ke kampus sebagai mahasiswa baru, meskipun masih calon karena akan mengikuti ospek mulai hari ini. “Kalla, mau kemana kamu? Pagi-pagi banget,” tanya Mama Kalla yang masih mengenakan piyamanya keluar dari kamar. “Ehh mama. Aku mau berangkat ke kampus, Ma. Hari ini hari pertama aku ospek. Jadi, harus berangkat lebih pagi.” “Ohh iya Mama lupa kalau kamu sudah masuk kuliah. Semua administrasi sudah beres kan?” tanya Mama Kalla. “Iya, sudah, Ma,” Jawab Kalla singkat karena sebenarnya Kalla mengharapkan pertanyaan yang lebih dari itu. “Uang saku?” “Iya. Aman, Ma,” jawab Kalla kembali singkat. “Oke, syukurlah kalau begitu. Mama jadi tenang, semua aman,” ujar Mama Kalla setelah mendapat jawaban dari Kalla. Kalla masih menunggu pertanyaan lain dari Mamanya. Tentang persiapan Kalla menghadapi ospek, tentang bagaimana Kalla menuju ke kampus, bagaimana Kampus Kalla, dan masih banyak pertanyaan lain yang menjadi harapan Kalla untuk ditanyakan. “Kenapa masih di sini? Katanya harus berangkat pagi-pagi?” tanya Mama Kalla yang heran karena Kalla belum juga berangkat. “Papa dimana, Ma?” Kalla bertanya balik, untuk melupakan harapannya tadi. “Nggak tahu deh Mama, semalam Papa nggak pulang. Sudah, nggak usah urusin Papa kamu, sana kamu berangkat saja. Di meja makan sudah ada roti tawar seperti biasa, kan?” tanya Mama Kalla lagi. Kalla hanya mengangguk. “Kalla berangkat ya, Ma,” Kalla mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Mamanya sebagai tanda pamitan Kalla. Mama Kalla terlihat terkejut dengan apa yang Kalla lakukan. “Ehhh, iya,” Mama Kalla mengulurkan tangannya. Setelah itu kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke kantor.   “Hmmm.... Roti tawar, kalau kamu bosen, bilang ya? Aku juga akan bilang kalau sudah bosan. Tapi, sayangnya aku belum menemukan pengganti kamu kalau aku bosan,” ujar Kalla kepada roti tawar yang ada di depannya. Pejalalanan Kalla kali ini membuat Kalla tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan. Ada perasaan grogi, ingin segera sampai, namun juga ada perasaan khawatir. Sebab, hari pertama Kalla menjadi mahasiswa baru. Di depan gerbang, Kalla turun dari taksi online. Kalla merapikan baju, rambut, dan juga semua bawaannya. Kalla menunggu Meira yang katanya masih dalam perjalanan ke kampus. Tiba-tiba, ada seorang mahasiswa, terlihat seperti senior Kalla, ingin lewat dengan mobilnya, namun melihat Kalla ada di depan gerbang. Senior Kalla itu pun berhenti, lalu, menyapa Kalla dengan sangat sinis. “Mau kuliah apa mau jadi satpam lo di situ?” tanya senior Kalla dengan sangat dingin. “Eeeee, saya?” Kalla malah tanya balik ke seniornya. “Iya lo, lah! Gue gila apa ngomong sama tembok,” jawab senior Kalla dengan nada yang masih sinis dan dingin. “Baru juga hari pertama, baru sampai di depan gerbang kampus sudah ketemu dengan senior tiri yang galak,” ujar Kalla dalam hati. “Ngerti bahasa Indonesia nggak sih? Minggir, dong! Gue mau lewat!” pinta Seniornya dengan tetap sinis. Baru saja Kalla mau menyingkir dari depan gerbang, Kalla langsung ditarik oleh cowok yang kemarin menolong Kalla. “Ke sini, jangan tunggu teman lo di depan gerbang. Walaupun lo di pinggir, nggak semua orang bawa mobil dengan hati-hati,” ujar cowok itu dengan lembut. Maksud dari senior Kalla sama dengan maksud dari cowok yang menolong Kalla beberapa kali. Namun, sayangnya sikapnya sangat berbeda. Cowok itu membawa Kalla ke tempat yang Kalla bisa duduk juga tidak kepanasan. “Maaaaa...” Baru saja Kalla mau bilang terima kasih kepada cowok itu, namun, senior galak memanggil cowok penolong Kalla. Kalla pun langsung ditinggal begitu saja. “Yahhh, gagal lagi ngucapin makasih,” ucap Kalla saat ditinggal oleh si cowok penolong. “Hayooooo, ngucapin apa?” tanya Meira tiba-tiba datang. “Ehhh.. Sejak kapan kamu di sini, Mei?” “Baru saja, sih. Cuma, denger lo bilang mau ngucapin terima kasih. Ngucapin ke siapa, ini?” “Kepo, deh!” Kalla menjawab dengan singkat, lalu menarik tangan Meira masuk ke kampus. Ospek hari pertama dimulai. Semua kesibukan terjadi di kampus. Dimulai dengan perkenalan, dilanjutkan dengan kegiatan yang mengundang segala emosi. Kesal, bingung, takut, sampai grogi pun jadi satu. Bising tidak tertahankan, sunyi hilang dengan sempurna. Banyak kekesalan karena harus mengakui salah meski benar, harus mengulang meski telah selsai, dan masih banyak kegaduhan lainnya, tapi, semua terlihat menikmati masa-masa ini. “Kalian!” panggil salah satu senior kepada Kalla dan Meira. “Duhhh, kenapa lagi ini, Kal?” tanya Meira lirih. “Iya, kak.” “Mau kemana?” “Mau cari tanda tangan kakak-kakak senior di sini, kak.” “Sudah ada berapa yang kamu dapet?” tanya Senior galak yang tadi menyuruh Kalla pergi dari depan gerbang kampus. “Belum ada,” jawab Kalla dengan polos dan jujur. Miera menyenggol bahu Kalla, baru saja Meira mau berbohong agar tidak kena hukuman lagi. “Kok bisa belum ada sama sekali? Dari tadi kalian ngapain saja di sini? Tidur?” “Engga, kak. Kan jelas-jelas tadi ita disuru bersihin sampah yang ada di taman kampus. Jadi, tugas yang ini tertunda.” “Kamu, bisa ya ngelawan senior! Ya itu urusan kalian, yang penting, sekarang kalian harus selesain tugas itu karena waktunya tinggal 15 menit lagi!” “Haaaaaa?” teriak Meira terkejut karen waktunya sangat sedikit. “Kenapa? Mau saya kurangin lagi waktunya?” ucap si Senior galak. “Tabahin dong, kak. Tadi kan kita sudah bantu bersih-bersih taman. Dan nggak mungkin bisa selesai dalam waktu 15 menit untuk cari 50 tanda tangan senior di sini,” protes Meira. “Kamu berani protes, ya!” “Eee iya iya, kak. Kita usahain dulu 15 menit untuk dapet tanda tangan senior di sini,” ucap Kalla karena tidak ingin ada keributan dan semakin menyulitkan Kalla menyelesaikan tugasnya. “Tuh dengerin apa kata teman kamu!” “Kal, lo gila apa. Bagaimana caranya kita bisa...” “1,2,3! Cepet cari!” teriak si senior galak yang belum dikenal namanya. “Sudah deh, Mei. Kita ikutin saja apa mau mereka. Daripada kita tambah masalah, kan. Kita dihukum lagi. Nggak capek apa, harus dihukum dan masih harus berdebat sama mereka?” “Ya nggak begitu caranya dong, Kal. Harusnya kita minta tambahan waktu yang manusiawi yang logis. Dia itu kalau nyuruh nggak pernah pakai logika!” ujar Meira kesal dengan Kalla karena tidak mau menyampaikan opininya. “Kata teman kamu bener. Nggak semua harus didiamkan. Ada kalanya kamu ngeluarin pendapat kamu,” ucap si cowok penolong Kalla. Kalla dan Meira langsung menengok ke belakang setelah mendengar ucapan dari cowok penolong Kalla. “Iyaaa kan, kak saya bener kan?” Meira merasa senang karena dibela oleh senior idaman semua mahasiswa baru. “Tapi, bukan berarti kamu harus melawan apa yang disuruh. Kamu hanya menyampaikan opini kamu saja. Bukan melawan atau mengajak berdebat,” ucapnya lagi. “Abisnya dia rese dari awal pembukaan sampai sekarang!” “Siapa yang rese?” senior galak datang mendengar omongan Meira. Kalla menyenggol bahu Meira. Lalu, Meira menarik tanngan Kalla untuk segera pergi meninggalkan para senior. “Heh kalian, tunggu!” “Sudah biarin mereka ngerjain tugasnya. Ada yang perlu kita bicarakan,” ucap si cowok penolong Kalla kepada si senior galak. Kalla dan Meira terselamatkan dari senior galak. Cantik, modis, namun galaknya bukan main. Merasa sudah senior, sama junior jadi seenaknya. Meira sangat tidak suka dengan orang yang sok. “Mei, jaga deh itu omongan kamu. Nanti bisa-bisa selama ospek kita Cuma dapet hukuman doang. Kan nggak asik!” protes Kalla kepada Meira. “Iya iya, gue juga nggak sengaja tadi. Abisnya kan memang ngeselin.” “Yaudah, sekarang cepet kita cari tanda tangan senior.” Kalla dan Miera memulai tugas baru mereka di hari pertama ospek. Setelah dihukum untuk membersihkan sampah di taman kampus, kini mereka mendapat tugas untuk mengumpulkan tanda tangan para senior mereka. Ini semua agar junior tahu dan mengenal para senior yang ada di kampus. Baru mendapatkan 10 tanda tangan, waktunya tinggal 5 menit. Meira juga kebelet ke toilet, jadi, Kalla harus menyelesaikan tugasnya sendirian sambil menunggu Meira dari toilet. “Permisi, Kak. Boleh minta tolong, nggak? Jadi, aku dapet tugas untuk minta tanda tangan senior di sini, apa aku boleh minta tanda tangan kakak-kakak?” “Wihhhhh cantik juga ini junior baru. Bisa lah jadiin gebetan, iya nggak?” ucap salah satu cowok yang sedang duduk di sana. “Boleh dong!” ujar salah satu cowok yang ada di tongkrongan itu. “Tolong tanda tangan di sini ya, kak,” Kalla memberikan 2 buku untuk mereka tanda tangani. “Kalau kita minta foto bareng boleh, nggak? Terus minta nomor telepon.” “Sama nama sosial medianya juga dong jangan lupa!” “Kan kita sudah bantuin,” “Bantuinnya yang ikhlas dong, dia kan junior lo di sini. Sudah deh, nggak usah godain junior yang lagi pada ospek,” lagi-lagi cowok penolong dateng buat belain Kalla. Kalla bukannya tidak mau melawan, tapi, memang Kalla sama sekali tidak suka dengan konflik. Kalla sangat menghindari masalah. Jika bisa melakukan sesuatu agar tidak ada masalah, maka Kalla akan melakukannya. Selagi itu masih dalam tahap yang wajar. “Nggak apa-apa kok, kak. Biar saya juga merasa ada teman di kampus,” jawab Kalla dengan sangat polos. “Wuuuuuuuuu,” teriak para cowok-cowok yang ada di sana. Cowok itu menarik tangan Kalla untuk pergi dari tongkrongan teman-teman angkatannya. “Kamu ini jadi cewek jangan terlalu polos. Kamu sudah dewasa, nggak semua yang mereka minta harus kamu turutin. Nggak semua masalah harus kamu hindarin. Ada kalanya kamu harus melewati dan menghadapi masalah itu. Hidup itu penuh dengan masalah. Tumbuh itu juga akan melewati proses, salah satunya masalah,” nasehat dari cowok penolong Kalla. “Di sana ada kumpulan mahasiswa yang lagi belajar bareng. Kamu bisa minta tanda tangan ke sana, mereka baik, cewek semua. Jadi aman buat kamu,” ujarnya kembali sambil menunjukkan kumpulan mahasiswa yang sedang belajar bersama. Kalla belum sempat mengucapkan terima kasih, namun, cowok penolong Kalla sudah pergi begitu saja seperti biasa. Kalla pun menghampiri perkumpulan mahasiswa yang dimaksud oleh cowok penolong Kalla tadi. Meira juga menyusul Kalla di sana setelah mencari Kalla kemana-mana. Akhirnya, waktu 15 menit pun berlalu, sudah habis begitu saja. Untungnya, 50 tanda tangan sudah bisa Kalla dan Meira dapatka. Ini juga berkat cowok penolong Kalla tadi. “Semua kumpul di lapangan!” teriak salah satu senior panitia ospek di kampus Kalla. Kalla, Meira, dan semua teman-teman angkatannya langsung menuju ke lapangan kampus. Mereka disuruh menyimpan tugasnya dan mendengarkan apa yang dibicarakan panitia. Semua calon mahasiswa baru disuruh duduk rapi di tengah teriknya matahari. “Halo semua, bagaimana hari ini?” tanya si cowok penolong Kalla yang disusul dengan teriakan para mahasiswa baru, terutama perempuan. “Ehhhh, cowok penolong lo, Kal!” ucap Meira dengan sangat antusias. “Bisa diem nggak? Kan disuruh dengerin bukan ngomong,” ujar si senior galak yang kebetulan ada di belakang Meira. “Kamu sih, Mei. Kena lagi kan kita,” ucap Kalla lirih. “Haiiii, semua. Semoga hari ini kalian baik-baik saja, ya. Ospek baru hari pertama, kalian harus semangat dan sehat. Karena itu modal kalian bisa menyelesaikan ospek di kampus.” “Saya akan memperkenalkan diri saya sekarang. Ada yang sudah tahu saya?” “Belum!” jawab semua mahasiswa yang ada di depan cowok penolong Kalla itu. “Perkenalkan...” Entah kenapa, cowok penolong Kalla bisa mendapatkan sedikit pintu hati Kalla yang dulu selalu ditutup oleh Aksa sebagai sahabatnya. Kalla selalu mau menerima bantuannya, Kalla juga selalu menuruti apa yang si cowok penolong itu ucapkan. Suaranya membuat Kalla tenang, apalagi saat berada di depan juniornya. “Nama Saya Gibran Alnanda, ketua Bem di kampus ini,” perkenalan cowok si penolong Kalla yang langsung disambut oleh teriakan para mahasiswa perempuan. “Haaaaa ketua Bem,” Kalla terkejut dengan perkenalan Gibran, namun, Kalla hanya menyimpannya dalam hati. “Kalll, dia ketua Bem, Kal... Waaah keren banget!” Meira sangat heboh mendengar perkenalan dari Gibran. “Dan, saya akan memperkenalkan wakil ketua Bem di kampus ini,” Gibran memanggil wakilnya. “Ini dia, wakil ketua Bem di kampus kita. Natasha Delani.” Kalla dan Meira sangat terkejut, lebih terkejut dari perkenalan Gibran tadi. Ternyata si senior galak yang selalu marah-marah dengan Kalla dan Meira adalah wakil ketua Gibran. “Halo semua, saya Natasha Delani, wakil ketua Bem di kampus kita,” perkenalan yang singkat, padat, dan juga sedikit dingin. Akhirnya, setelah seharian sibuk di kampus, waktu pulang pun tiba. Kalla dan Meira bergegas menuju ke depan kampus untuk menunggu jemputan mereka. Meira meninggalkan Kalla sendiri karena, Aksa berjanji akan menjemput Kalla pulang dari kampus sebelum Aksa pergi ke Amerika untuk kuliah di sana. Namun, sudah satu jam Kalla menunggu Aksa, Aksa tidak juga datang. Aksa juga sulit dihubungi. Kalla jadi bingung harus menunggu atau memesan taksi online seperti biasa. “Sudah dibilang, kalau tunggu seseorang jangan di depan gerbang. Bahaya!” ujar Natasha. Kalla kaget mendengar ucapan Natasha yang tiba-tiba berhenti di depannya. Setelah Kalla menyingkir, Natasha langsung pergi. “Sudah mau malam, masuk ke mobil aku saja,” ajak Gibran kepada Kalla. “Eeee, nggak usah, kak!” “Ini bukan tawaran, ini perintah,” ucap Gibran. Kalla langsung menunduk dan menuruti apa kata Gibran. Tidak disangka, Gibran turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Kalla. “Silakan masuk. Nggak usah sungkan, nggak usah takut, demi keamanan kamu,” ucap Gibran sembari menyuruh Kalla masuk ke mobilnya. Di mobil, Kalla sangat gelisah. Antara menunggu kabar dari Aksa dan kikuk dengan suasana di mobil Gibran. “Kenapa pesen taksi online lama banget?” tanya Gibran penasaran karena Kalla daritadi masih berdiri di depan gerbang. “Nggak pesen taksi online sih, Kak,” jawab Kalla malu-malu. “Ya terus?” “Eeeeee.,” Kalla tidak melanjutkan jawabannya karena bingung harus cerita darimana. “Lain kali, kalau tunggu seseorang itu dipastiin, memang beneran mau jemput atau enggak. Kalau sampai malem, memang kamu masih mau nunggu di depan gerbang sepeti tadi?” Kalla tersenyum mendengar ucapan Gibran yang barusan. Gibran memang sikapnya dingin, tidak seramah Aksa, tidak seceria, dan humoris seperti Aksa, namun, Gibran memiliki kharisma yang berbeda. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN