Hati Yang Terbuka

2188 Kata
Canggung dan kikuk mengurung Kalla di dalam mobil bersama Gibran. Sulit untuk memulai percakapan, namun sunyi menambah kecanggungan diantara mereka. Tidak saling mengenal, namun, Gibran sudah beberapa kali menjadi penolong Kalla. Sejenak Kalla berpikir, menghadap ke kiri, ke arah jendela untuk mencari obrolan apa yang bisa Kalla mulai. Setelah beberapa detik terpaku dengan keadaan jalan, Kalla menemukan satu obrolan. Mungkin, ini saatnya Kalla mengucapkan terima kasih, karena selama beberapa hari ini Gibran sudah menjadi penolongnya disaat tidak ada siapa pun di samping Kalla. “Eeeee, kak. Ada yang mau aku sampaikan,” Kalla membuka obrolan di dalam mobil. “Ya?” jawab Gibran dengan sangat singkat, namun sangat membuat Kalla menjadi tambah grogi. “Emmm, aku mau ngucapin terima kasih,” ujar Kalla sembari menahan segala grogi dan gugupnya. “Untuk?” tanya Gibran ke Kalla. “Untuk semuanya.” “Maksudnya?” Gibran sedikit terkejut dengan jawaban Kalla. “Ehhh maksudnya, untuk... Beberapa hari ini Kakak sudah banyak bantu aku.” “Banyak?” Gibran bertanya lagi agar Kalla bercerita lebih jelas. “Hehe,” Kalla memberikan tawa kecilnya terlebih dahulu sebelum Kalla menjelaskan apa saja yang sudah Gibran lakukan untuk Kalla. “Jadi, aku mau berterima kasih karena Kakak sudah bantuin aku bayar ongkos ojek waktu itu, lepas helm dari kepala aku, bantuin aku nemuin tempat untuk tunggu teman aku, dan tadi sudah kasih aku referensi senior-senior yang lebih ramah,” ucap Kalla dengan senyum manis diujung ucapannya. “Sudah? Begitu doang?” tanya Gibran sekaligus iseng ngerjain Kalla supaya Kalla menjadi lebih tegang di dalam mobil. “I..iya kok, kak. Ada lagi, ya? Maaf aku lupa, Cuma itu yang aku ingat. Atau, aku belum ganti uang ongkos ojek yang kemarin, ya?” tanya Kalla dengan panik. “Sama-sama,” jawab Gibran singkat. Kalla menyembunyikan senyuman malu-malunya karena sikap Gibran yang dingin, namun manis kepadanya. Setelah obrolan terima kasih, Kalla menjadi lebih tenang di dalam mobil Gibran. Tidak terlalu kikuk dan canggung seperti awal masuk mobil. Gibran pun terlihat lebih cair. Gibran tidak meminta persetujuan dari Kalla, Gibran langsung mengajak Kalla makan malan bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari kampus mereka. Kalla bingung, kenapa Gibran berhenti, lalu, Kalla memberanikan diri untuk bertanya. “Kenapa, kak? Kok berhenti? Ada masalah?” tanya Kalla dengan sangat polos. Gibran tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh Kalla. Gibran turun dari mobilnya, membukakan pintu untuk Kalla, lalu menarik tangan Kalla dengan lembut agar Kalla turun dari mobil. Kalla merasa sangat takut juga terkejut dengan perlakuan Gibran. Dipikiran Kalla hanya ada hal buruk yang akan menimpanya. Kalla sudah pasrah jika ada sesuatu hal buruk yang akan menimpanya saat itu. Namun, Gibran menyadarkan Kalla dari lamunannya yang ngawur itu. “Laper, jadi makan dulu,” ucap Gibran saat Kalla sudah berada di luar mobil. Kalla sangat lega saat Gibran mengajak Kalla untuk makan malam bukan lainnya. Kalla kira Kalla akan diculik, ternyata hanya akan diajak makan malam bersama saja. Gibran menarik kursi dan mempersilakan Kalla untuk duduk, Kalla benar-benar menjadi seorang ratu untuk Gibran hari itu. Biasanya, Kalla sulit untuk mengenal orang baru. Tetapi, entah kenapa kali ini Gibran mudah sekali untuk masuk ke kehidupan Kalla. Kalla juga tidak menyangka jika Kalla bisa seterbuka itu kepada Gibran. Padahal, sebelumnya Kalla dan Gibran sama sekali belum pernah bertemu. “Mau makan apa? Di sini menu andalannya nasi goreng seafood, enak banget!” Gibran membuka pembicaraan ketika mereka sudah beberapa saat membaca menu makanan. “Boleh,” jawab Kalla singkat karena masih gugup. “Boleh apa? Kan aku tanya mau makan apa. Kenapa jawabannya boleh?” tanya Gibran aneh. “Emm maksudnya, boleh nasi goreng seafood saja, kak. Hehehe.” “Yang jelas, dong. Minumnya?” “Es jeruk.” “Oke!” Gibran memanggil pelayang restoran lalu memesankan makanan Kalla dan memesan makanan untuknya sendiri. Ketika pelayan pergi, Kalla merasa sangat gugup dan panik. Kalla bingung harus berbuat apa, karena sebelumnya Kalla belum pernah makan berdua dengan cowok selain Aksa. “Kenapa? Kok tegang banget? Aku nggak akan ngadain ospek di sini kok. Jadi, tenang saja nggak perlu tegang,” ujar Gibran menenangkan Kalla. Kalla hanya tersenyum tipis membalas ucapan Gibran. “Oh iya, aku belum kenal sama kamu. Sampai lupa. Nama kamu siapa?” Gibran mengajak Kalla berkenalan. “Nama aku Ayudia Kalla, kakak bisa panggil aku Kalla,” jawab Kalla dengan sangat canggung dan tegang. “Santai saja kali jawabnya, ini bukan ospek. Kita lagi diluar kampus, dan lagi nggak ospek.” Kalla kembali menjawab obrolan Gibran dengan senyum saja. “Kalla,” sebut Gibran sambil menganggukan kepalanya beberapa kali. Makanan mereka sudah siap di meja makan. Sesuai dengan pesanan mereka masing-masing. Kalla dan Gibran menatap makanannya beberapa saat, untuk memastikan apa benar pesanan mereka yang sampai di meja. Setelah yakin, Kalla dan Gibran sama-sama saling menatap untuk mengucapkan selamat makan. “Selamat makan,” ucap Kalla dan Gibran bersamaan meski mereka nggak janjian. Gibran tersenyum mendengar ucapan selamat makan dari Kalla, lalu mempersilakan Kalla untuk menikmati makanannya. “Kamu baru pertama kali makan di sini?” Gibran mencoba membuka obrolan agar suasana makan malam mereka tidak terlalu hening. “Iya, kak. Sebelumnya aku belum pernah makan di sini.” Kalla, Gibran, dan semua pengunjung restoran terlihat sangat menikmati makanan yang mereka pesan. Rekomendasi dari Gibran juga tidak membuat Kala menyesal memilihnya. Kalla sangat lahap hingga menghabiskan nasi goreng yang dipesan. Gibran mulai menjalankan mobilnya kembali setelah memastikan semuanya aman. “Rumah kamu di mana? Nanti kamu tunjukin jalannya, ya,” pinta Gibran kepada Kalla saat mereka sudah kembali diperjalanan. Kalla mengangguk pelan untuk mengiyakan permintaan Gibran. Suasana di dalam mobil lebih hening, Gibran lebih fokus menyetir daripada mengajak Kalla ngobrol. Kalla juga mulai mengantuk dan kelelahan karena seharian ini sangat sibuk dan aktif di kampus. AC di mobil sangat dingin, suasananya juga sangat hening, membuat Kalla tertidur di mobil Gibran. Gibran memberikan jaket yang ada di mobilnya sebagai selimut Kalla.  Bertambah nyenyak tidur Kalla malam itu di mobil Gibran. Tiba-tiba saja, saat Gibran sedang menyelimuti Kalla dengan jaketnya, ada mobil yang mendahului dengan kecepatan tinggi. Gibran terkejut langsung menginjak rem dan meminggirkan mobilnya ke kiri. Untung saja jalanan sedang sepi, jadi tidak menjadi masalah yang terlalu besar saat itu. Kalla terbangun dari tidurnya dengan wajah yang sangat kaget. Gibran mengelus pundak Kalla untuk menenangkan Kalla karena Gibran berhenti mendadak. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Gibran panik melihat Kalla yang terkejut. Kalla menggelengkan kepalanya, lalu menghela napas panjang. “Ada apa, kak?” Kalla bertanya kenapa Gibran rem mobilnya secara mendadak. Lalu, Kalla melihat ke arah depan, seperti mengenal mobil dan plat nomornya. Kalla memajukan badannya, agar lebih jelas melihat mobil yang sudah jauh hampir tidak terlihat. “Kenapa?” Gibran tambah panik ketika melihat Kalla sangat serius memandangi mobil yang hampir membuatnya celaka bersama Kalla. “Itu, mobilnya. Nggak asing buat aku,” jawab Kalla sembari mengeluarkan hp nya. Kalla menunggu balasan chat dan telepon dari Aksa. Namun, sama sekali tidak ada notifikasi dari Aksa di hp nya sampai saat itu juga. “Kamu kenal sama mobil itu?” Kalla mengangguk, mengiyakan pertanyaan Gibran. Sebelum Kalla menjelaskan mobil milik siapa, ada panggilan masuk dari Meira. Kalla menatap Gibran untuk meminta ijin mengangkat panggilan dari Meira. Gibran pun langsung memberikan kode dan mempersilakan Kalla mengangkat telepon dari Meira. “Halo,” sapa Kalla. Setelah mendengar semua penjelasan dari Meira melalui telepon, Kalla langsung menutup telepon dan akan segera menuju ke tempat yang alamatnya Meira kirim. “Kak, aku turun di sini saja, ya. Aku ada urusan, makasih sudah ngajak aku makan malam dan mau antar aku pulang,” ucap Kalla sembari terburu-buru. “Kenapa? Ada apa? Ada ada masalah?” “Iya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” jawab Kalla sambil memakai tasnya dan memberikan jaket Gibran yang tadi menyelimuti badannya. “Aku antar.” Gibran menolak Kalla turun di pinggir jalan. Gibran juga tidak mau membuka pintu mobilnya. “Tapi, Kak...” “Ini sudah malam. Aku juga bukan cowok yang tega menurunkan cewek di pinggir jalan. Kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana? Sekarang tunjukin saja dimana alamatnya, aku antar kamu ke sana,” ujar Gibran sambil menyalakan mesin mobilnya kembali. Kalla memberikan alamat yang tadi Meira kirim. Diperjalanan, Kalla merasa sangat cemas. Gibran sesekali memegang tangan Kalla, lalu menenangkan Kalla. Entah mengapa, Kalla bisa merasa lebih tenang dan nyaman dengan sentuhan tangan Gibran di pundaknya juga senyum Gibran yang terlihat tulus. “Aku ikut, ya. Aku antar kamu sampai dalam,” ucap Gibran saat sudah sampai di depan rumah sakit. Kalla tidak bisa menolak perimintaan Gibran. Kalla mengangguk seperti biasa, lalu menunggu Gibran keluar dari mobilnya. Gibran keluar membawa jaket dan mengenakannya ke Kalla. “Dingin, jadi, pakai jaket ini. Lain kali, jangan sering mengangguk, deh. Kamu juga berhak menolak atau mengutarakan pendapat kamu. Kamu juga bisa kasih alasan kenapa kamu mengizinkan seseorang, jangan hanya mengangguk, bahaya!” Gibran menasehati Kalla sambil membantu Kalla memakai jaketnya. Kalla kembali tidak bisa berkata-kata lagi. Kalla hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Gibran. Apa yang Gibran katakan memang benar. Tidak ada alasan Kalla untuk menolak nasehat Gibran. Kalla berjalan dengan cepat, Gibran di belakangnya hampir tertinggal jauh.  Dari belakang, Kalla terlihat sangat cemas dan panik. “Kalla!” panggil Gibran sambil mempercepat langkahnya. Kalla menoleh ke belakang, berhenti dari jalannya yang sangat cepat itu. “Tenang, jangan cemas,” Gibran menggandeng tangan Kalla dan mengajak Kalla berjalan bersama. Kalla tidak menolak sama sekali saat Gibran menggandeng tangannya. Justru Kalla merasa lebih tenang dan nyaman. Sampai di depan sebuah ruangan, Meira memanggil Kalla. Kalla dan Gibran menoleh ke arah Meira. Di sana sudah ada Aksa dan Meira. Aksa melihat Kalla digandeng laki-laki lain. Rasanya sakit, ingin marah, namun tidak ada hak sama sekali. Kalla juga tidak melepas genggaman tangan Gibran saat berada di depan Aksa. Aksa menatap wajah Kalla dan Gibran bergantian. Lalu, Aksa mengepalkan tangannya mencoba menenangkan dirinya dari segala perasaan cemburu dan sebagainya. “Bagaimana keadaan Mama kamu, Sa? Kenapa nggak bilang sama aku dari tadi, sih? Aku nungguin kamu di depan kampus loh sendirian,” berondong pertanyaan dari Kalla untuk Aksa yang terdengar sangat cemas dengan keadaan Mama Aksa juga Aksa. Meira menenangkan Kalla, meminta Kalla untuk tidak banyak bertanya terlebih dahulu karena Aksa masih sangat panik dan cemas. Kala memeluk Aksa, untuk sekedar memberi ketenangan dan semangat. Namun, Aksa mencoba menolak pelukan dari Kalla. “Kamu yang tenang, ya. Sabar, jangan panik. Tenangin diri kamu. Aku yakin Mama akan baik-baik saja,” ujar Kalla sembari memegang tangan Aksa setelah pelukannya ditolak. “Kok lo bisa sama Kak Gibran, Kal?” tanya Meira ketika suasana sudah hening. “Ohh iya, sampai lupa. Aksa, kenalin ini Kak Gibran, senior aku di kampus. Kak Gibran, kenalin, ini Aksa, dia sahabat aku dari kecil,” ucap Kalla sambil menarik Gibran mendekati Aksa. “Gibran,” Gibran mengulurkan tangannya terlebih dahulu untuk berkenalan dengan Aksa. Awalnya, Aksa tidak mau menjabat tangan Gibran, namun, Kalla mengambil tangan Aksa untuk menyalami tangan Gibran. “Aksa,” ucap Aksa dengan singkat. Gibran menyuruh Kalla untuk duduk di kursi yang disediakan di depan ruangan. Aksa melihat Gibran yang memberi perhatian lebih untuk Kalla. Aksa juga melihat jaket yang dikenakan Kalla. Aksa tahu betul jika itu tidak mungkin jaket milik Kalla. Beberapa saat menunggu kabar dari dokter tentang Mama Aksa yang tadi terpeleset di tangga rumahnya, akhirnya dokter pun keluar. Papa Aksa, Aksa, langsung berdiri berjalan menghampiri dokter. Dokter memberikan penjelasan tentang Mama Aksa. Keadaan Mama Aksa tidak parah, namun, ada beberapa hal yang terjadi dengan kakinya sehingga membuat kaki Mama Aksa kesulitan untuk berjalan. Aksa dan Papanya sedikit lega mendengar penjelasan dari dokter. “Syukurlah, nggak terjadi apa-apa sama tante,” ucap Meira dengan senyum bahagianya. Papa Aksa pamit masuk ke ruangan Mama Aksa. Kata dokter, lebih baik tidak perlu dijenguk malam ini agar Mama Aksa bisa istirahat. “Yaudah kalau begitu, gue balik dulu ya, Sa! Besok gue ke sini lagi buat jenguk Tante,” pamit Miera kepada Aksa. “Iya, Mei. Hati-hati, ya. Makasih sudah mau dateng ke sini malam-malam,” ucap Aksa. “Lo pulang sama siapa, Kal? Mau gue anter? Gue sama supir gue, ini,” Meira menawarkan tumpangan kepada Kalla. “Nggak usah, Kalla biar pulang sama gue,” jawab Gibran membuat suasana sedikit tegang dan panas. “Hmmmm, ohh begitu, yaudah deh. Gue duluan ya, Kal!” Meira tidak ingin meihat keributan, jadi Meira memilih untuk pulang terlebih dahulu. “Bye semua!” Meira berjalan pergi dari ruangan Mama Aksa. “Aksa, aku pulang dulu, ya. Salamin buat om dan Tante. Besok aku ke sini lagi buat jengukin tante,” pamit Kalla kepada Aksa. “Iyaa. Hati-hati, Kal,” jawab Aksa dengan singkat dan dingin karena merasa panas melihat kedekatan Kalla dan laki-laki lain secara mendadak. Kalla dan Gibran meninggalkan Aksa sendirian. Kalla beberapa kali melihat ke belakang untuk memastikan Aksa baik-baik saja. Gibran menggandeng tagan Kalla dan mengajak Kalla pulang segera karena sudah malam. Gibran memilih untuk menunggu Kalla menyelesaikan masalahnya malam ini dan mengantarnya pulang. Kalla semakin terenyuh dengan sikap Gibran. Gibran juga tidak ada maksud lain atau jahat kepada Kalla saat ini. Mungkin, Gibran butuh pendamping dan Kalla juga sudah mulai mencari kekasih di dalam hatinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN