Perasaan Yang Aneh

2225 Kata
Suasana di mobil lebih terasa nyaman. Meski tidak ada obrolan diantara Gibran dan Kalla. Gibran fokus menyetir mobil agar tidak terjadi seperti sebelumnya, sedangkan Kalla sibuk menikmati perjalanan malam bersama Gibran. Mereka sama-sama terihat nyaman dan tenang. Entah karena suasana malam yang mendukung, atau karena mereka sudah lebih merasa lebih dekat daripada awal perjalanan tadi. Sampai juga akhirnya di rumah Kalla setelah mendadak berhenti di rumah makan, hampir celaka di jalan, dan ke rumah sakit untuk menengok Mama Aksa. Lega sekali perasaan Kalla ketika sudah sampai di rumah. Gibran turun dari mobil, seperti biasa, Gibran mmembukakan pintu untuk Kalla. Kalla tidak meminta bahkan sempat menolak, namun, Gibran tipe yang tidak banyak bicara, langsung bertindak. “Makasih, kak,” ucap Kalla sembari keluar dari mobil dan membawa barang-barangnya. Gibran memberikan senyumnya, menganggukan kepala sebagai jawaban atas ucapan terima kasih Kalla. Sebuah kebetulan atau bukan, ini adalah momen yang langka. Mama dan Papa Kalla sudah ada di rumah dan mereka keluar bersama melihat Kalla pulang. Setelah sekian tahun, akhirnya Kalla merasakan hal ini kembali. Hal yang Kalla tunggu, namun, terkadang juga sudah tidak Kalla harapkan lagi. “Malam om, tante,” sapa Gibran kepada Mama dan Papa Kalla. “Malam,” jawaban dari orang tua Kalla dengan sedikit menunjukkan keramahan mereka, meski itu hanya kepalsuan “Perkenalkan, saya Gibran, senior Kalla di kampus. Hari ini hari pertama Kalla ospek. Tadi sebelum pulang, saya ngajak Kalla makan malam dulu, lalu mengantar Kalla ke rumah sakit untuk menjenguk Mama Aksa, teman Kalla. Maaf, jadi sedikit lebih malam pulangnya,” jelas Gibran sebelum orang tua Kalla menanyakan. Kalla sampai terbengong mendengar penjelasan dari Gibran. Tanpa diminta, Gibran sudah menjelaskan terlebih dahulu. Terlihat laki-laki yang bertanggung jawab. “Kalau begitu, saya pamit pulang dulu om, tante,” pamit Gibran sembari menyalami tangan Papa dan Mama Kalla. “Oh iya. Hati-hati di jalan Gibran,” ucap Mama Kalla sambil menerima salaman dari Gibran. “Terima kasih, Gibran,” ucap Papa Kalla kepada Gibran. Setelah menyalami Gibran, Mama dan Papa Kalla masuk ke rumah meninggalkan Kalla dan Gibran. Kalla sedikit cemas, takut ada keributan yang terdengar dari dalam rumahnya ketika Mama dan Papanya sudah masuk ke rumah. “Kenapa kamu?” tanya Gibran saat melihat wajah Kalla cemas. “Eeeee, nggak apa-apa kok, kak. Makasih ya, kak. Hari ini sudah bantuin aku banyak banget,” Kalla mengucapkan terima kasih atas semua yang sudah Gibran berikan hari ini. “Sama-sama,” Gibran tersenyum dan mengangguk setelah memberikan jawaban untuk Kalla. “Hati-hati di jalan, ya,” ucap Kalla saat Gibran akan masuk ke mobilnya. “Iya. Selamat istirahat, Kalla.” Gibran mengucapkan selamat istirahat untuk Kalla, lalu masuk ke mobilnya dan bersiap pergi dari rumah Kalla. Lambaian tangan Kalla menandakan perpisahan dengan Gibran malam ini. Kalla heran dengan semua yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Biasanya, Kalla tidak akan menerima bantuan dari orang lain terutama laki-laki. Kalla juga tertutup jika ada yang ingin berkenalan dengan Kalla. Sama  sekali tidak membuka hati untuk siapa pun yang masuk ke dalam hidup Kalla. Kalla belum siap. Namun, tidak tahu kenapa, Gibran bisa begitu saja masuk ke dalam kehidupan Kalla. Bahkan, Kalla tidak menolak saat Gibran menggandeng tangannya, mengelus pundaknya, memakai jaket Gibran, dan makan berdua dengan Gibran. Mereka sama sekali belum pernah bertemu. Tetapi, ada kenyamanan yang berbeda yang Gibran suguhkan untuk Kalla. Mungkin, sudah waktunya Kalla mencari tambatan hati. Masuk ke dalam rumah suasananya sangat hening dan sunyi. Tidak ada suara, sunyi, seperti tidak berpenghuni. Kalla langsung saja menuju ke kamarnya. Meletakkan tas dan segala barang bawaannya hari ini, lalu masuk ke kamar mandi untuk segera mandi, melepaskan segala keletihan yang ikut dengannya hari ini. Kalla membawa secangkir coklat hangat ke kamarnya. Duduk di meja belajarnya, lalu membuka buku sketsanya. Ayudia Kalla, gadis kecil yang dulu menanti hadiah tas dari kedua orang tuanya kini sudah dewasa. Sudah bisa menentukan apa pilihannya. Sudah bisa memilih apa maunya. Sekarang Kalla telah menentukan ingin menjadi seorang desainer.  Kalla suka sekali dengan desain-desain baju. Dari dulu, sebenarnya Kalla sudah jatuh hati. Tetapi, Kalla tidak mendapatkan support dari siapa pun.  Sekarang, Kalla sudah tidak lagi butuh support dari siapa pun, yang terpenting Kalla serius dan fokus dan menekuni apapun yang Kalla kerjakan. Sketsa gaun cantik baru saja Kalla selesaikan. Dengan sentuhan tangannya yang luwes, gaun itu menjadi sangat cantik, meski masih berwarna hitam putih. Tetapi, kecantikannya dari gaun itu sudah terpancar jelas. Kalla mengambil cangkir yang berisi coklat ke dekat jendela. Meminumnya perlahan, sambil melihat bagaimana suasana malam di sekitar rumah Kalla. Siapa tahu Kalla akan menemukan inspirasi. “Suasana yang tenang. Kenapa aku sulit mendapatkan suasana seperti ini sebelumnya?” tanya Kalla pada diri sendiri sambil berdiri di dekat jendela. “Kalau saja dari dulu seperti ini, mungkin aku sudah merampungkan buku juga membuat lebih banyak desain baju,” ucapnya dengan mengelus lembut pinggiran gelas. Kalla melanjutkan lamunannya, melihat ke arah langit. Malam ini langit benar-benar tidak sendiri. Banyak sekali bintang bersinar, bulan juga terlalu terang memberikan sinarnya ke bumi. Kalla tersenyum melihat pemandangannya malam ini. Namun, seketika Kalla terdiam saat teringat oleh Gibran. Ada hal yang membuat Kalla tersenyum saat mengingatnya, tetapi, ada juga yang membuat Kalla bingungm karena sebelumnya Kalla belum pernah merasakan dekat dengan seorang laki-laki kecuali Aksa. Kalla memikirkan apa yang sedang terjadi dengannya, sehingga mudah sekali membukakan hati untuk Gibran. “Astaga, belum tentu juga Kak Gibran itu mau mendekati aku,” ujar Kalla sambil menepuk keningnya. Tiba-tiba saja Kalla teringat oleh Aksa. Kalla ingin tahu bagaimana keadaan Mama Aksa juga keadaan Aksa sekarang. Kalla bergegas meletakkan cangkir coklatnya, mengambil ponselnya, dan mengirimkan pesan kepada Aksa. “Aksa, bagaimana keadaan Mama kamu sekarang?” “Kamu sudah makan?” “Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit, kamu kan mau berangkat ke luar negeri.” Kalla mengirimkan pesan kepada Aksa. Lalu, kembali duduk di meja belajarnya, melihat-lihat semua karya desain bajunya. Membolak-balik buku sketsa sembari menunggu balasan pesan dari Aksa. Tak lama, ponsel Kalla berbunyi. Balasan dari Aksa sudah masuk. Kalla bergegas membuka pesan dari Aksa, karena ingin segera mengetahui bagaimana kondisi Mama Aksa juga keadaan Aksanya. “Mama sudah tidur dari tadi. Aku masih di depan ruangan.” Aksa tidak menjawab semua pertanyaan Kalla. Kalla merasa aneh dengan sikap Aksa. Tidak mikir lama, Kalla langsung menelepon Aksa. Aksa yang sedang duduk bersandar di depan ruangan pun terkejut mendengar ada panggilan masuk, dan panggilan itu dari Kalla. “Iya.. Hallo, Kal,” sapa Aksa dari sebrang sana. “Aksa, kamu baik-baik saja kan? Kok pesan aku nggak kamu jawab semua, sih,” Kalla protes karena pesannya tidak sepenuhnya dijawab. “Yang mana yang nggak aku jawab?” tanya Aksa sedikit sinis. “Kamu kenapa sih, sinis begitu sama aku. Aku beneran khawatir sama kamu tauk!” Kalla mulai sedikit ngambek karena Aksa bersikap dingin dengan Kalla. “Iya, Kal. Aku sudah makan kok. Aku juga baik-baik saja di sini. Semoga Mama juga bisa secepatnya pulang dari rumah sakit. Kamu tenang saja, aku bisa jaga diri,” jawab Aksa dengan nada yang lebih menyenangkan. “Nah begitu, dong!” Kalla senang mendengar Aksa kembali seperti biasanya. “Kamu kenapa belum tidur? Ini sudah malem, loh. Besok kan kamu masih ospek.” “Iya, belum ngantuk.” “Jangan bilang kalau kamu....” Kalla memotong pembicaraan Aksa karena sudah tahu arah obrolan Aksa kemana. “Sudah deh, nggak perlu bahas yang lain. Kan kita lagi bicarakan Mama kamu, kenapa jadi bawa-bawa yang lain,” Kalla kembali protes. “Ya sudah, sekarang kamu istirahat saja, ya. Besok setelah pulang ospek aku ke rumah sakit buat jengukin Mama kamu. Oh iya, kamu mau aku bawain apa?” tanya Kalla menawarkan Aksa. “Nggak perlu, Kal. Kamu dateng ke sini saja sudah bikin aku lebih tenang dan cukup buat aku,” jawab Aksa dengan nada yang serius. “Ihhhh apaan sih, serius banget jawabannya. Okeee deh, besok aku bawain makanan kesukaan kamu, ya. Sekarang kamu tidur. Selamat malam, Sa!” Kalla mengucapkan selamat malam kepada Aksa. “Iya, kamu juga jangan tidur malam-malam, ya. Jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Selamat malam, Kal. Selamat istirahat,” ucapan Aksa setelah itu disusul Kalla mengakhiri panggilannya. Kampus sudah mulai ramai dengan mahasiswa baru, meski masih terhitung sangat pagi. Semua sudah tidak sabar menunggu ada kegiatan apa saja hari ini. Terlebih, mereka juga ingin melihat si ketua Bem yang ganteng juga bijaksana, Gibran. Kalla tidak lagi menunggu di depan gerbang, karena Kalla tidak mau kena marah oleh Nastsha. Kalla menunggu kehadiran Meira di tempat yang ditunjukkan oleh Gibran kemarin. Setelah Meira datang, Kalla tidak ingin beranjak dulu dari tempatnya. Ada satu orang lagi yang ditunggunya. Alasannya kepada Meira, Kalla masih ingin duduk santai dan bersantai sebelum dibantai dengan kegiatan yang padat hari ini. “Tunggu siapa lagi, ini? Perasaan teman lo Cuma gue doang di sini,” tanya Meira penasaran karena Kalla menolak untuk masuk ke dalam. “Hmm... Engga, kok. Cuma lagi ingin duduk di sini saja. Sebelum perang dengan kegiatan yang padat banget hari ini.” “Dihhh lebay banget ini anak satu!” Meira sinis mendengar jawaban Kalla. “Kalian ngapain masih di sini?” “Laaa...lagi duduk, kak,” jawab Meira sedikit kaget dengan kedatangan Natasha. “Duduk di dalam sana juga bisa kaya teman-teman kalian yang lain,” Natasha skak jawaban Meira. “Iya, Kak. Ini mau ke sana,” Meira menarik tangan Kalla untuk masuk ke dalam karena malas berurusan dengan Natasha. Mau tidak mau Kalla mengikuti Meira untuk masuk ke dalam. Begitu Kalla berdiri, mobil yang Kalla tunggu pun datang. Kalla menahan senyumnya karena sudah berhasil melihat apa yang ditunggu. Kalla menengok sekejap, lalu pergi berlalu meninggalkan Natasha sendirian. Kegiatan hari ini sama sekali tidak ada dibayangan Kalla. Kegiatan out bound yang sangat melelahkan. Teriakan dari arah mana pun membuat suasana semakin bising. Kalla mendapatkan kelompok sama sekali tidak ada yang dikenal. Mereka memaksa Kalla untuk mengangkat beban berat sendirian. Kelompok Kalla tidak kompak, hanya Kalla yang bekerja keras. “Kamu punya kelompok, kan? Kenapa kerja keras sendiri? Jangan egois, jangan mau dijadikan b***k di kelompok kamu sendiri!” ujar Natasha yang melihat Kalla sendirian menyelesaikan kegiatan out bound. Tidak lama Natasha pergi, Kalla mulai kelelahan. Kalla minta bantuan ke teman kelompoknya. Mereka mengeluh kelelahan semua. Kalla tidak tega jika harus memaksa. Kalau Kalla tidak menyelesaikan ini semua, kelompok Kalla akan kalah dan mendapatkan hukuman. Kalla mengangkat 2 ember besar berisi air untuk mengisi ember lain yang belum terisi. Tiba-tiba, tangan Kalla kram, badan Kalla lemas, dan kepala Kalla sakit sekali. Kalla tidak sadarkan diri. Meira melihat Kalla pingsan bergegas berlari menghampiri Kalla. Tapi, Natasha melarang Meira mendekati Kalla. Natasha minta Meira menyelesaikan tugasnya saja. Meira kesal dengan sikap Natasha, dalam keadaan genting saja masih galak. Meira sedikit tenang karena Kalla sudah digendong oleh Gibran. Natasha juga ikut membawa Kalla ke klinik yang ada di kampus. Gibran mengambil minuman hangat, makanan, dan obat-obatan yang sekiranya Kalla butuhkan. “Cemas banget keiatannya. Siapa lo, ini?” tanya Natsha saat melihat Gibran membawa banyak barang. “Junior, lah!” jawab Gibran singkat. “Bohong!” Natasha tidak terima dengan jawaban Gibran. Kalla sudah sadar dari pingsannya. Mengepalkan tangannya, menggerakan agar bisa merasaan apakah tangannya masih kram atau tidak. “Kan tadi sudah gue bilang. Lo punya kelompok, jangan egois kerja sendirian. Jadinya sakit, deh. Jangan mau diperbudak sama kelompok lo!” Natasha menasehati Kalla sesaat setelah Kalla sadar. “Orang baru sadar dari pingsannya, malah diomelin,” protes Gibran. “Salah satu deh yang jagain dia. Lo atau gue?” Gibran menawarkan pekerjaan kepada Natasha. “Dihhh, lo saja lah! Ngapain gue jagain dia di sini. Dia bukan siapa-siapa gue!” Natasha protes saat akan diberikan pekerjaan untuk menjaga Kalla. Lalu pergi meninggalkan Kalla dan Gibran berduaan di klinik kampus. “Kamu kenapa kok bisa pingsan?” Gibran membuka obrolan sambil menyiapkan minuman untuk Kalla. “Nggak tahu, kak,” jawab Kalla masih sedikit lemas. “Ini minum dulu,” Gibran mendekatkan minumannya ke bibir Kalla. “Sudah sarapan tadi pagi?” Kalla menggeleng. Hari itu Kalla tidak sarapan, karena teman sarapannya tidak ada di meja makan. Ya, roti tawar yang biasanya selalu ada tadi pagi habis tak bersisa. Mamanya mungkin lupa untuk membelinya lagi. “Memang harus aku yang suruh sarapan, biar kamu mau sarapan?” tanya Gibran sambil membuka sterofom bubur yang sudah disiapkan untuk Kalla. “Eeeee... Engga, kak. Tadi kebetulan nggak ada bahan yang bisa buat aku sarapan, jadi aku nggak sempat beli dulu langsung ke kampus,” jawab Kalla seadanya. “Tapi kamu masih sempet tunggu teman kamu duduk sendirian,” Gibran skak omongan Kalla yang barusan. “Astaga, kenapa bodoh banget sih aku. Bisa-bisanya aku kelihatan seperti orang jatuh cinta,” ucap Kalla dalam hati. “Makan sendiri atau butuh bantuan? Tanya Gibran saat memberikn bubur kepada Kalla. “Sendiri saja, kak,” jawab Kalla merebut bubur yang ada di tangan Gibran. “Oke. Aku keluar dulu, ya. Habiskan makanannya, obatnya sudah aku siapin. Jadi, nggak ada alasan buat nggak habis makanannya dan nggak diminum obatnya,” ujar Gibran sambil berlalu dari Kalla. Kalla tersenyum kecil saat Gibran sudah pergi dari klinik kampusnya. Makan bubur rasanya juga berbeda dari biasanya. Padahal, bubur yang sama seperti yang biasa Kalla makan. Setelah selesai makan, seperti pesan Gibran. Kalla minum semua obat lalu istirahat di klinik. Gibran datang sebentar ketika Kalla sudah tertidur. Senyum melihat Kalla, merapikan selimutnya, dan pergi meninggalkan Kalla setelah dirasa semuanya aman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN