SHS Story

2501 Kata
Suara percikan air berasal dari lemparan sebuah kerikil terdengar di taman. Seorang gadis membiarkan rambutnya terurai tertiup angin duduk di pinggir danau yang ada di taman. Wajahnya sendu, tatapannya lembut, matanya tajam, seolah banyak yang terjadi di dalam sana. Sesekali gadis itu melihat ke atas langit. Sambil sedikit menyipitkan matanya karena silau. "Sudah lama aku nggak mendengar suara air di danau ini, juga melihat langit sambil duduk di taman ini," ucap gadis itu sendirian. "Apa kabar kalian? Apakah ada yang merindukanku seperti aku merindukan banyak hal di dalam hidupku?" Gadis cantik memakai seragam abu-abu itu tambah menghayati keberadaannya di taman. "Huhhhh, aku tidak menyangka sekarang aku sudah berseragam putih abu-abu. Waktu, cepat sekali berlalunya. Atau, hanya aku yang tidak punya cara untuk menahannya saja?" "Ayudia Kalla, sedang apa kamu di sini sendirian?" Aksa mengejutkan Kalla karena datang tiba-tiba. "Aksaaaaa. Kamu ngagetin aku aja deh," ujar Kalla sedikit kesal. "Dihhh lebay deh, masak kayak gitu aja kaget," ledek Aksa. Kalla menepuk tangan Aksa, lalu menatapnya dengan penuh kenyamanan. "Kenapa ngeliatin aku kaya gitu? Jangan-jangan kamu...." Belum selesai Aksa bicara, Kalla sudah memotong pembicaraan Aksa dan langsung berdiri dari duduknya. "Eeee aku mau pulang dulu deh. Sayang seragam aku, masih baru nanti kotor," ucap Kalla mengalihkan obrolan. "Ihhh ngalihin pembicaraan. Kall, jawab dulu dong. Kamu itu sama aku nggak?" Goda Aksa kepada Kalla. Kalla berlari meninggalkan Aksa sendiri di taman. Aksa mengejar Kalla dan masih berharap Kalla menjawab pertanyaan iseng Aksa itu. Aksa menarik tangan Kalla, memberikan helm dan mengenakan di kepala Kalla seperti biasanya. Lalu, menyalakn mesin motornya dan menyuruh Kalla untuk segera naik. "Ayo, kita pulang," ajak Aksa. Kalla naik ke motor Aksa dengan hati-hati. Aksa mengecek apakah semua aman untuk Kalla. Setelah Aksa merasa semua aman, Aksa pun langsung mengendarai motornya. Keisengan Aksa mulai kembali. Kali ini, Aksa menaikan kecepatan motornya, namun tetap dengan hati-hati. Kalla sangat takut, langsung memeluk pinggang Aksa. Karena merasa tidak nyaman dan ketakutan, Kalla pun marah. Kalla mencubit pinggang Aksa, memukul pundak Aksa dan berteriak-teriak. Meski suaranya beradu dengan angin. "Aksaaaaaaa, berhenti nggak. Ihhhhhhhh, pelan-pelaaaan!" Teriak Kalla sembari mencubit pinggang Aksa. "Aduduh sakit tauk pinggang aku," Aksa mengeluh kesakitan karena dicubit Kalla. "Pelan-pelan, nggak! Kalo nggak aku loncat nih!" Kalla mengancam Aksa. "Wetttttt, ngeri amat ngancemnya. Iya iya, ini pelan-pelan," jawab Aksa sambil mengurangi kecepatan. Kalla melepaskan pegangannya di pinggang Aksa, lalu memilih pegangan di bagian belakang motor. Kalla menikmati perjalanannya, seperti biasa. Sambil memikirkan hal-hal yang ingin sekali diwujudkan dimasa depan nanti. Sampai tiba-tiba saja Kalla sudah berada di depan rumahnya. "Sampaaaaaiiii!" "Hehe, udah sampai aja di depan rumah," ucap Kalla sambil tersenyum. Lanjut Kalla turun dari motor, lalu meminta bantuan Aksa untuk melepaskan helmnya. "Aku masuk dulu ya, haus nih!" "Ihhh nggak usah, jangan! Minum di rumah aja, ya. Kamu pulang aja." "Yeeee orang temennya haus bukannya dikasih minum malah diusir." "Yaudah ini ini, aku masih ada air putih bekal aku di sekolah tadi," Kalla memberikan air putih di Tumbler kesayangannya. "Astaga, nggak ada yang berwarna nih?" "Nggak! Yang berwarna itu nggak sehat!" "Yaudah aku minum di rumah aja, deh. Bye Kallaaaaaaa," Aksa pamit pulang sambil membawa tumler kesayangan Kalla. "Ehhhh Aksa, kenapa Tumbler aku dibawa!" Kalla berteriak kesal sambil melihat sahabatnya itu perlahan menjauh dari hadapannya. Kalla berbalik, menatap pintu rumahnya yang masih sama saja seperti beberapa tahun yang lalu. Ya, di dalamnya pun masih tetap sama. Adanya hanya sunyi dan sepi. Terkadang jika ada sebuah keramaian, itu hanya sebuah pertikaian yang tak kunjung usai. "Aku kira, dengan menggunakan seragam putih abu-abu ini, semua yang buruk di rumah ini akan hilang. Nyatanya sama saja, malah bertambah hancur," ujar Kalla llirih sembari berjalan perlahan mendekati pintu rumah. "Harus bagaimana lagi aku agar bisa didengar saat aku pulang ke rumah? Apa harus dengan...." Kalla sangat terkejut, saat Kalla tengah menggumam, tiba-tiba saja Papanya membuka pintu dengan sangat keras. Seperti ada yang telah terjadi di dalam, membuat api amarah Papanya kembali menyala. Jantung Kalla berdegub sangat kencang, seperti ada bom yang tengah mengancamnya dan akan segera meledak. Namun, ternyata ledakan bom itu masih tertunda entah akan sampai kapan. "Papa....," Kalla menyapa Papanya dengan penuh keberanian melemparkan senyum meleburkan semua keraguan. Papa Kalla berhentu sejenak, menatap senyum anaknya yang kini sudah beranjak dewasa, yang kini sudah memakai seragam putih abu-abu. Kalla memejamkan matanya sejenak, lalu meninggalkan Papanya yang masih sibuk menatapnya. Kalla menghindari semua kekecewaan yang setiap hari didapatkan. "Huhhhhh," keluh Kalla sambil melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamar. Di tengah-tengah tangga menuju ke kamar, Mama Kalla turun. Terburu-buru seperti biasa. "Hai, ma..." Sapa Kalla dengan sangat lembut, namun, setelah mengucapkan sapaannya itu, Kalla berlalu begitu saja. Tanpa melihat ke arah Mamanya lagi. Mama Kalla sedikit heran karena sekarang Kalla terlihat berbeda. Dari sikapnya maupun dari kekuatan hatinya. Terbesit sesuatu yang menyakitkan, tetapi, sayangnya semua itu kalah dengan kesibukannya yang hanya mengejar materi. "Masih sama aja," ujar Kalla sambil melepas tas sekolahnya dan meletakkan ke kursi belajarnya. Tas sekolah Kalla sudah berbeda, sudah bukan tas punggung berwarna pink yang sudah lusuh, bolong, dan sudah sepatutnya diganti. Kini, tas Kalla lebih cantik, karena itu adalah buatan tangan Kalla sendiri. Sudah tidak berharap mendapatkan tas sebagai hadiah ulang tahun. Setiap ulang tahun sekarang hanya ada Aksa. Entah apa yang diingat oleh Mama dan Papanya. Mungkin pekerjaannya suatu saat bisa menjaganya, merawatnya ketika mereka sudah mulai menua. Kalla hanya sebagai pajangan yang hanya perlu dilihat. Keadaaan rumah Kalla seperti biasa, kosong, sunyi, seperti tidak berpenghuni. Keramaian hanya ada dalam pertengkaran kedua orang tuanya. Tiba-tiba saja, Kalla mendapatkan sebuah pesan, dari seorang laki-laki yang tidak Kalla kenal. Isi pesan itu membuat Kalla terkejut. Baru saja beberapa hari masuk sebagai siswa SMA, tetapi, sudah ada yang memberikan perhatian lebih kepadanya, kecuali Aksa. "Hai Kalla. Salam kenal, ya. Aku salah satu teman SMA kamu. Mungkin kamu belum mengenal aku, tapi, aku sudah lebih dulu mengenalmu dan memperhatikanmu. Kamu cantik, juga berbeda dari perempuan lainnya. Dari ratusan bahkan ribuan siswa yang ada di sekolah, kamu satu-satunya yang menarik perhatian aku secepat ini." ttd penggemarmu. Kalla sangat terkejut saat membaca isi pesan itu. Namun, Kalla tidak mau panik dan GR terlebih dahulu. Bisa jadi, yang mengirim pesan itu adalah Aksa. Aksa yang sedang iseng dengan Kalla. Kalla berpikir jika memang Aksa sangat iseng dengannya, jadi, bisa saja Aksa yang mengirim pesan ini dengan nomor lainnya. Kalla langsung bergegas menelepon nomor itu, tetapi, tidak diangkat. "Loh kok malah nggak diangkat sih. Tumben banget Aksa nggak angkat telepon aku. Biasanya baru berdering aja langsung kedengeran suara Aksa," ucap Kalla keheranan. "Apa aku coba sekali lagi, ya. Siapa tahu Aksa lagi di depan rumah dan handphone nya ada di kamar. Hmmmm, iya deh aku coba sekali lagi," Kalla mencoba telepon nomor itu lagi. Saat Kalla sedang kembali menelepon nomor asing itu, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu rumahnya. Kalla merasa aneh, karena jika itu Mama atau Papanya pasti akan langsung membuka pintu saja tanpa harus mengetuk pintu. Kalau itu Aksa, Aksa pasti akan langsung memanggil Kalla atau menelepon Kalla terlebih dahulu. Sebab, tidak ada yang pernah datang ke rumah Kalla kecuali Aksa, Mama, dan Papanya. Dengan perasaan yang campur aduk, Kalla perlahan menuruni anak tangga. "Siapa, ya? Kalau itu Mama atau Papa kenapa harus ketuk pintu? Mama sama Papa kan bawa kunci rumah. Kalau itu Aksa, kenapa Aksa nggak manggil-manggil nama aku?" Suara ketukan pintu masih saja terdengar. Kalla ragu antara mau membiarkan hingga orang itu pergi atau menemuinya, siapa tau itu memang Aksa yang sering iseng dengan Kalla. Atau mungkin Mama Papa yang lupa membawa kunci rumah. Kalla mempercepat langkahnya saat pikiran positif mulai bertengger. Sampai di depan pintu, Kalla langsung saja membuka kunci lalu menarik pintunya. Hal yang membuat Kalla terkejut lagi hari ini. "Siapa dia?" pertanyaan Kalla dalam hati dengan rasa ketakutan yang mulai menyambar. "Eeeeee, ada yang bisa dibantu? Maaaaa... af, cari siapa ya?" tanya Kalla dengan nada yang gemetar. "Permisi, mba. Saya petugas yang akan membetulkan listrik di rumah Mba Kalla. Papa Mba Kalla tadi meminta saya untuk datang ke rumah dan membetulkan beberapa bagian yang konslet," jawab laki-laki asing itu. Laki-laki itu memakai baju berwarna hitam, jaket hitam, dan topi hitam. Semua serba hitam. Kalla ragu dengan jawaban laki-laki itu. "Papa kenapa suruh orang tapi nggak bilang dulu sama aku, ya? Perasaa di rumah listriknya baik-baik aja, nggak ada yang konslet dan bermasalah," ucap Kalla dalam hati sambil masih bergelut dengan rasa ketakutan. "Mas, bener Papa yang suruh untuk betulin listrik di rumah? Kapan Papa minta mas datang ke sini? Soalnya Papa lagi nggak ada di rumah. Papa belum pulang kerja," ujar Kalla. "Tadi pagi, mba. Papa mba Kalla minta saya datang ke rumah sore ini. Jadi, saya ke sini sekarang. Iya, tadi Papanya bilang, buat langsung datang ke rumah aja, walaupun Bapak belum pulang kerja," jawab laki-laki itu dengan sangat meyakinkan. Mau nggak mau Kalla harus percaya dengan laki-laki itu karena Kalla tidak mau jika ada masalah antara Kalla dan Papanya. Mungkin saja Papa Kalla sedang sibuk jadi, belum sempat memberi kabar Kalla akan ada yang datang ke rumah untuk membetulkan listrik. "Oh gitu ya, mas. Tapi mas, perasaan di rumah nggak ada listrik yang bermasalah atau konslet. Daritadi baik-baik aja, kok," ucap Kalla menahan laki-laki itu lebih lama di depan pintu. Kalla membuka handphone nya dan sengaja menelepon Aksa. Kalla membiarkan teleponnya menyala walaupun Kalla sama sekali tidak menjawab pertanyaan Aksa. Kalla hanya ingin Aksa mendengar semua pembicaraan dengan laki-laki asing itu. "Boleh saya masuk, mba? Kata bapak, tadi yang bagian konslet ada di kamar atas," tanya laki-laki asing itu. "Halo, Kal. Itu suara siapa? Ada siapa di rumah? Kok suara laki-laki?" tanya Aksa dari kejauhan. Laki-laki asing itu mendengar suara Aksa. Setelah bisa masuk ke rumah, laki-laki itu sengaja menutup pintu rumah Kalla. Kalla semakin merasa aneh dan ketakutan. "Mas, masuk aja duluan ya ke atas. Lewat tangga itu, di sana ada dua kamar di sebelah kanan sama kiri," ucap Kalla agar bisa membuka kembali pintu rumahnya yang sengaja ditutup oleh laki-laki asing itu. Kalla berjalan menuju pintu rumahnya dan langsung membuka pintu rumahnya. Belum semua terbuka, laki-laki itu mendatangi Kalla. "Mba, boleh saya pinjam handphone nya sebentar? Ada alat yang tertinggal di kantor, tapi, saya nggak baa handphone," tanya laki-laki asing itu. Kalla bingung harus menjawab apa. Satu-satunya hal yang bisa membuat Kalla sedikit lebih tenang adalah dengan menelepon Aksa. Tapi, laki-laki itu malah mau meminjam handphone nya. Kalla bingung setengah mati harus bagaimana. "Mba? Boleh kan?" tanya laki-laki itu kembali. "Sebentar ya, mas. Saya lagi mau telepon temen saya. Tadi katanya pada mau datang ke sini, karena listrik di rumah lagi bermasalah jadi, biar saya kasih tau temen-temen saya dulu, ya," jawab Kalla sambil memikirkan cara untuk bisa kabur dari laki-laki itu. Satu langkah kaki Kalla mencoba menyelamatkan diri dari semua keanehan ini. Namun ternyata gerakan laki-laki asing itu lebih cepat dari dugaan Kalla. Handphone Kalla direbut, dibiarkan jatuh ke lantai. Tangan Kalla di pegang dengan sangat erat. Tangannya ditarik, hingga badannya mendekat ke arah laki-laki asing itu. Kalla hanya bisa memejamkan matanya, terlalu takut untuk melihat ada apa di depannya. “Kaaamu, mau apa? Apa yang Papa suruh ke kamu?” tanya Kalla dengan sejuta kekuatan menahan semua ketakutan. “Aku Cuma mau kamu,” jawaban yang membuat Kalla semakin takut. “Apa yang kamu mau? Kenapa aku? Kita nggak pernah bertemu sama sekali,” ucap Kalla masih sembari menutup matanya agar tidak larut dalam ketakutannya. “Aku Cuma mau kamu, Ayudia Kalla,” jawab laki-laki asing itu semakin membuat Kalla merasa tidak bisa melanjutkan kehidupannya esok hari. “Buka mata kamu, Kalla!” perintah laki-laki itu. Kalla tidak mau membuka matanya, Kalla takut jika Kalla menatap matanya, akan selalu mengingat dengan bola mata itu. Kalla berusaha menutup matanya dengan sekuat tenaga. Laki-laki asing itu sudah memegang erat tangan Kalla, mendekatkan Kalla ke badannya. Mencoba mendekati wajah Kalla. Dari perawakannya, laki-laki itu masih seumuran Kalla. Namun, Kalla tidak tahu siapa dia, Kalla sama sekali tidak mengenalinya. “Apa mau kamu? Cepat bilang sama aku, kalau sudah, kamu bisa keluar dari rumah aku,” ujar Kalla mencoba lebih tegas dari sebelumnya. Bukannya takut, laki-laki itu malah semakin mengancam Kalla. Laki-laki itu semakin menarik Kalla mendekatinya. Kalla berusaha keras menarik badannya agar tidak dekat dengan badan si laki-laki asing itu. “Aku harus minta tolong dengan siapa ini? Dia sebenarnya siapa? Kenapa memperlakukan aku seperti ini? Aku nggak mengenalnya sama sekali?” banyak sekali pertanyaan di benak Kalla namun, hanya bisa dipendamnya sendiri. “Kall, ayo buka mata kamu. Aku Cuma mau kamu, Kal!” “Aku akan buka mata aku, asalkan kamu lepasin tangan aku dulu. Tangan aku sakit banget,” ucap Kalla. Laki-laki itu meregangkan genggamannya yang erat, saat Kalla mau menghindar, laki-laki itu menarik Kalla kembali. “Buka mata kamu sekarang!” bentak laki-laki itu sambil menarik tubuh Kalla lebih dekat. “Jangan!” teriak Aksa dari arah luar. Aksa langsung menarik Kalla sekuat tenaga dan memberi pelajaran untuk laki-laki asing yang sudah memperlakukan Kalla dengan sangat tidak pantas. “Siapa lo? Berani-beraninya pegang cewek gue!” Aksa sangat emosi, Aksa menghajar laki-laki itu, memberinya pelajaran. Lalu tidak membiarkannya dia pergi begitu saja. Aksa memanggil polisi agar ada titik jera untuknya. Setelah polisi datang, Aksa tidak membiarkan Kalla melihat wajah laki-laki asing itu. Aksa tidak mau Kalla terus terbayang-bayang dengan wajah itu. Aksa memeluk Kalla, menenangkan Kalla sebisa Aksa. Aksa menuntun Kalla duduk di kursi, membuatnya tenang, lalu mengambilkan secangkir air putih agar Kalla tidak panik lagi. “Aku nggak akan maksa buat kamu cerita sekarang. Yang terpenting buat aku, kamu baik-baik saja kan sekarang?” tanya Aksa kepada Kalla. Kalla masih gugup dan panik dengan kejadian yang sama sekali tidak pernah Kalla bayangkan. Kalla mengangguk, memberikan kode kepada Aksa jika dia merasa sudah lebih baik. “Aku akan nemenin kamu, sampai Mama Papa kamu pulang,” ujar Aksa. Aksa bangun dari sofa, Kalla empat menarik tangannya. “Aku Cuma mau buka pintu, biar kamu tenang, kalau aku Cuma mau jagain kamu di sini,” ucap Aksa saat Kalla mengira Aksa akan pergi. Kalla ketiduran di sofa, Aksa duduk di bawah sofa sambil menatap wajah Kalla yang sejuk dan sangat sendu. Papa Kalla pulang ke rumah. Aksa bergegas menyapa, mempersilakan duduk, lalu menceritakan tentang apa yang sudah terjadi kepada Kalla. “Om, sepertinya om harus mencari orang untuk menjaga Kalla di rumah kalau om dan tante sibuk bekerja,” ujar Aksa memberikan pendapatnya. “Halaaah, Aksa, sudahlah jangan berlebihan. Paling tadi laki-laki itu hanya ingin berkenalan dengan Kalla. Wajar, Kalla sekarang sudah besar m sudah beranjak dewasa. Wajar saja jika ada yang ingin berkenalan dengan Kalla,” jawab Papa Kalla dengan santai. “Lebih baik kamu pulang, ini sudah malam,” ucap Papa Kalla. “Tapi, om?” Aksa menolak permintaan Papa Kalla. “Silakan, Aksa. Pintu keluar ada di sebelah sana,” ucap Papa Kalla mengusir Aksa dengan halus. Aksa emosi dengan jawaban Papa Kalla yang meremehkan keamanan Kalla di rumah. Kenapa bisa seorang Papa tidak memilki rasa khawatir dengan anaknya. Papa dan Mama Kalla meminta permasalahan ini tidak diperpanjang lagi. Karena mereka tidak ingin ada masalah yang merepotkan dan mengganggu pekerjaan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN