Part 2 Sebuah lagu

2709 Kata
Empat tahun kemudian. Suara mixer dan suara pengingat dari oven canggih yang digunakan memanggang kue itu mewarnai dapur sebuah toko kue. Terlebih saat ini para karyawan sedang dalam masa sibuk-sibuknya. Hampir setiap tahun menjelang bulan Ramadan, mereka akan banjir orderan. Mulai dari pelanggan yang di kota hingga ke pelosok perbatasan Indonesia. Beberapa karyawan sedang menikmati sejenak waktu istirahat mereka sambil menonton televisi. Tayangan yang sedang mereka tonton menayangkan referensi tempat untuk berbuka puasa nantinya. Termasuk salah satu kafe yang sedang hits belakangan ini. Sebuah kafe di Kota Makassar yang sedang merayakan ulang tahun pertama kafe tersebut. “Wah… pemiliknya pasti sangat mencintai kekasihnya. Bagaimana bisa dizaman ini masih ada pria bodoh tapi sayangnya bisa seromantis itu? Apa di negara ini sudah kekurangan stok gadis?” ungkap salah seorang karyawan toko yang mengemas beberapa toples kue ke dalam kardus. “Aku iri pada wanita itu. Pemilik kafe itu masih setia menunggunya. Mengapa pria semapan itu hanya melihat seorang gadis saja?” celutuk Melisa yang menoleh pada Aina sehingga tidak sempat melihat sorotan lukisan gadis dan bayi di pangkuannya di layar televisi tadi. Sementara Aina sendiri sibuk dengan pekerjaannya. “Mau bagaimana lagi? Saat kamu sudah memberikan hatimu pada seseorang, apakah muda mengambilnya kembali dan melupakan semuanya begitu saja?” tanya Aina balik. “Sulit. Sangat sulit malahan,” ujar Asok yang berdiri di belakang mereka sambil melirik Aina. Wanita itu sibuk menghias kue kering dengan lelehan coklat dan potongan buah kering. “Kalian sedang bergosip apa?” tanya manajer toko yang datang membawa daftar pesanan. “Pria pemilik Kafe ARU di Kota Makassar. Kafe itu baru buka setahun lalu, tapi sudah hits hingga ke seluruh Indonesia. Kafe itu jadi item khas kota itu dan akan terasa ada yang kurang jika ke Makassar tanpa menikmati nongkrong di kafe itu. Kafe itu punya keunikan. Ada satu lagu yang selalu bergema di kafe itu. Bapak tahu, seratus hari sejak dibuka, kafe itu sudah dikunjungi satu juta pengunjung kafe.” “Wah… bagaimana pemilik melakukannya? Kita butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan satu juta pembeli. Apa daya tarik kafe itu?” tanya manajer toko tampak penasaran dan menambah volume speaker. “Kafe itu diberi nama ARU. Singkatan dari judul lagu ‘Ada Rindu Untukmu’ karya Pance Pondaag, lagu yang dipopulerkan sama Deddy Dores Pak. Belakangan memang banyak yang cover. Pemiliknya membuat kafe itu dengan menunggu sampai suatu saat gadis yang disukainya bisa duduk berbincang dan berterus terang tentang apa yang membuat gadis itu tidak menemuinya sampai sekarang. Di kafe itu orang yang mau mengespresikan perasaannya disediain panggung kecil. Kalau nggak ada yang nyanyi, maka lagu tadi yang akan selalu diputar. Di lantai tiga kafe itu ada perpustakaan juga. Katanya tempat pertama kali pria itu bertemu gadisnya di perpustakaan. Kali aja bisa ngulang kisah mereka dari awal lagi. Manis banget kan ya?” ujar gadis remaja yang menempelkan stiker harga di toples kue. “Aku bingung bagaimana bisa satu lagu itu jadi jimat?” lirih seorang karyawan yang memusatkan perhatiannya pada manajer kafe yang tengah diwawancarai reporter. Sampai saat ini pemilik kafe itu menolak untuk diwawancarai. Menjadi sosok pria romantis yang misterius. Lagu itu kembali terdengar dengan menayangkan setiap sudut kafe dan ramainya pengunjung di dalam sana. "Kapan lagi… Kita berbincang dan berterus terang. Kapan… kapankah lagi? Kurasakan sunyi mencekam hati pun tersiksa Ada rindu untukmu. Seputih gaunmu kekasih… begitu hatiku. Tak ingin kujauh darimu. Lembutnya sinar di matamu sayang…. Kau begitu seadanya. Namun bergetar sendu hati ini…" nyanyi mereka kompak mengikuti suara televisi yang sedang mengalunkan lagu Ada Rindu Untukmu karya Pance Pondaag. Aina termenung menikmati senandung lagu rindu itu. Beberapa kenangan masa lalunya hadir saat berkaraoke dengan kakak dan kakak iparnya. Tanpa sadar lelehan coklatnya tumpah di atas meja dan membuat beberapa rekannya saling tatap. Aina adalah karyawan yang paling fokus dalam bekerja selama ini. Sehingga begitu mengejutkan melihat ibu satu putra itu melamun. Rekan di sampingnya sudah berkali-kali memanggilnya tapi tidak didengar oleh Aina. Wanita itu bergeming di tempatnya. Sehingga rekannya memilih meraih mangkuk untuk menadah tumpahan coklat itu. Rekan-rekannya semakin bingung ketika melihat gadis yang selalu terlihat serius itu tersenyum sendiri melamunkan sesuatu. "Ada apa dengan Aina?" bisik seorang karyawan pada rekannya. *** Para lansia itu terkekeh mendengar cerita balita yang terlihat begitu ekspresif di depan mereka. Bocah laki-laki itu adalah Bizar. Bocah polos dan lugu itu sedang mendongeng untuk para lansia. Hanya pemilik panti yang tahu jika sebenarnya dia keponakan Aina, bukan putranya. Bocah itu menceritakan kembali buku dongeng baru yang dibelikan bundanya beberapa hari lalu. Diusianya yang akan genap lima tahun itu, Bizar sudah mulai bisa membaca meskipun belum begitu lancar. Mungkin di rumah lain, nenek atau kakek yang akan menceritakan kisah untuk cucu mereka. Sama seperti kedua orang tuanya, Bizar adalah bocah kepo dengan tingkat keingintahuan yang tinggi. Terkadang Aina sendiri merasa kewalahan menghadapi rentetan pertanyaannya. Disatu sisi Aina amat bersyukur karena keponakannya itu tumbuh dengan baik. Walaupun bagi orang yang baru pertama kali bertemu dengannya akan menganggap bocah itu lebih dewasa dari usianya. Semua itu terbentuk secara alami. Sejak bertahun-tahun, mereka berdua hidup di panti jompo. Bizar lebih sering berinteraksi dengan orang tua dibandingkan anak-anak seusianya. Ia hanya akan bertemu teman baru yang masih seusianya jika ada keluarga dari penghuni panti yang berkunjung. “Kakek sama Nenek tahu kenapa katak tidak bisa lari padahal punya kaki?” tanya Bizar dengan menaikturunkan kedua alisnya. Buku dongengnya masih terbuka lebar di pangkuannya. Saat ini ia sedang duduk di rumput hijau dikelilingi beberapa lansia yang duduk di kursi kayu. “Kataknya malas." “Kakinya lemah.” “Bukan katak kalau tidak melompat.” “Katak itu kepanjangan dari nama hewan yang kakinya… bunyi tak tak tak tiap kali melompat.” Satu persatu lansia itu menjawab pertanyaan Bizar. Bocah kecil itu menoleh pada nenek yang mengenakan syal merah karena tersisa dia saja yang belum menjawab. Merasa ditatap oleh bocah menggemaskan itu, ia pun tertawa. Senang sekali melihat alis tebal Bizar berkerut dan nyaris bertemu. “Kataknya malas.” “Ya ampun Nenek, Bizar pikir jawaban Nenek luar biasa karena kelamaan dipikir," ocehnya dan membuat yang lain terkekeh. “Memangnya jawabannya apa? Kenapa katak memilih selalu melompat dan tidak pernah berlari sementara dia juga punya sepasang kaki?” Pria yang mengenakan kacamata dan merupakan purnawirawan TNI itu menantang Bizar. “Karena sejak kecil kataknya tidak pernah belajar berlari. Tidak pernah belajar ya tidak bisa. Bundanya Bizar bilang, kalau mau bisa harus belajar. Habis itu ulangi lagi sampai Bizar jadi ahli," ujarnya dengan penuh percaya diri. Bocah ini belum tahu jika katak mengalami metamorfosis. “Kasihan sekali ya katak di dunia itu tidak ada yang mengajari berlari.” Nenek yang menjawab paling akhir dan memiliki jawaban sama dengan kakek yang pertama kali menjawab Bizar kembali menimpali. “Itu karena kataknya nggak kepo, Nek. Kataknya dari kecil cuma tengkurap terus. Tidak mau belajar berdiri sama berjalan. Keseringan main sama kura-kura. Jadinya malas kayak yang Nenek bilang. Sampai tua cuma bisa duduk jongkok terus.” Celotehan Bizar kembali mengundang derai tawa mereka. Di ujung koridor Aina turut tersenyum mendengar dan melihat tingkah menggemaskan keponakannya yang menirukan posisi seekor katak yang melompat. Entah sampai kapan hal itu akan berlangsung. Bagaimanapun Bizar harus sekolah dan mau tidak mau ia harus terbiasa untuk hidup normal. Keluar dari persembunyiannya sejak empat tahun ini. Empat tahun bukan waktu yang singkat baginya untuk mempersiapkan segalanya untuk kembali ke Makassar. Bayang-bayang pahitnya masa lalu tidak bisa ia hapus. Sekuat apapun ia berusaha tetap tidak bisa. Hidup bersembunyi seperti ini dengan identitas orang lain bukan hal yang mudah. Ia mungkin bisa bertahan, tapi tidak dengan Bizar. Dilema itu masih ada. Tapi hatinya terus berbisik, ia harus memenuhi janjinya. Membawa Bizar untuk berziarah ke makam orang tua kandungnya. Menyekolahkan Bizar di sekolah TK pilihan Nura kakak iparnya. Hal yang terpenting adalah mengembalikan nama baik kedua orang tua Bizar. Tidak akan ia biarkan Bizar tumbuh dan dicap sebagai putra teroris. “Ada apa Aina? Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya wanita pemilik panti jompo. “Masa depan Bizar, Bu. Aku sudah buat keputusan untuk kembali ke Makassar. Aku sudah siap dengan tujuan membuktikan kesalahan hasil investigasi. Aku harus mengembalikan nama baik kedua kakakku agar Bizar juga bisa hidup normal. Aku ingin melihatnya bersekolah dan memiliki banyak teman yang seusia dengannya. Menikmati asiknya bermain di tempat terbuka tanpa menghawatirkan sesuatu. Bizar tahu kalau bundanya bersembunyi. Meskipun ia tidak tahu bagaimana dan kenapa? Tapi dia tidak pernah bertanya, seolah mengerti jika bundanya tidak akan memberitahu,” ungkap Aina mendesah lelah. Keputusannya sudah bulat dan ia harus kuat. “Bunda, kenapa kita perginya kayak main petak umpet? Bunda sembunyi? Sembunyi dari siapa? Kita kan nggak bikin salah Bunda? Bunda ngumpet dari ayah? Nggak mau ketemu ayah? Kemarin Kakek Romi tanya, ayahnya Bizar ke mana? Kenapa Bizar sama bunda nggak tinggal sama ayah?” Pertanyaan Bizar yang terngiang membuat Aina menghela napas panjang. Semua orang memang mengira jika Bizar adalah putranya. Satu-satunya orang yang tahu jika Bizar adalah keponakannya adalah pemilik panti jompo. Wanita yang sudah berjasa dan membantunya bersembunyi selama ini dengan menggunakan identitas almarhum putrinya yang mengalami kecelakaan pesawat. Bizar sendiri tahu jika ia memiliki papa dan mama yang berada di surga. Alasan itu juga yang membuat orang-orang mengira dirinya seorang janda yang ditinggal menikah oleh mantan suaminya. “Bunda!” Bizar dengan langkah kecilnya berlari ke arah Aina sambil menenteng buku dongengnya. Aina bergegas menghampiri dan meraih tubuh kecilnya. Wangi minyak telon masih menguar dari tubuh Bizar. Keponakannya memang anak pintar dan penurut. Ia memang selalu mengingatkan Bizar agar menggunakannya. Setidaknya aroma minyak telon itu bisa mengurangi potensi keponakannya itu digigit serangga. “Bunda kangen sama Bizar,” bisik Aina kemudian melabuhkan kecupan di popi Bizar. “Bizar juga. Bunda lama pulangnya. Bunda besok lembur lagi?” tanya Bizar menatap dengan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Pipinya menggembung dan bibirnya sedikit manyun. “Besok bunda libur,” bisik Aina kemudian mencium gemas pipi tembem itu. “Karena bunda mau rayakan ulang tahunnya Bizar sama semua kakek dan nenek di sini. Bunda kan sudah janji, mau ajak Bizar naik pesawat dan pulang kampung. Biar Bizar bisa sekolah di sekolah TK pilihan papa sama mama. Biar mereka di surga senang," ujar Aina mengusap sayang puncak kepalanya. “Beneran Bunda? Bunda mau buatin kue ulang tahun buat Bizar?” tanyanya antusias. “Iya, bunda mau buatkan Bizar kue yang bentuknya mobil Tayo," bisik Aina lagi. “Makasih Bunda, Bizar sayang sayang sayang sangat sama Bunda,” akunya terdengar riang. “Bunda sayang sayang sayang sangat sama Bizar. Kalau Bizar senang, bunda juga senang. Bahagianya bunda itu kalau Bizar jadi anak baik dan bahagia,” ungkap Aina ketika Bizar memeluk erat lehernya. Membiarkannya bermanja karena seharian ini ia bekerja sampai sore. “Tapi kalau naik pesawat katanya mahal Bunda. Nanti Bizar duduknya dipangku kayak di angkot? Bizar sudah berat Bunda," keluhnya. Lihat kan? Pikiran dewasanya sudah kembali hadir dan Aina mau tidak mau tertawa. Bizar mungkin sudah lebih berat dari terakhir kali ia duduk memangkunya di pesawat. Tapi memangku Bizar hingga berhari-hari pun ia akan selalu sanggup. “Iya, sedikit mahal dari sewa angkot sama bus ataupun taksi. Tapi bunda punya tabungan. Kalau kita naik kapal laut, sampainya lama. Bunda juga mabuk kalau naik kapal. Maunya muntah-muntah terus. Tapi kalau naik pesawat cuma sebentar. Bunda juga mau Bizar merasakan seperti apa rasanya naik pesawat. Terus lihat dari atas mobil jadi kecil seperti semut. Terus Bizar bisa lihat awan dari dekat," ujar Aina yang sepertinya menghadirkan rasa penasaran baru di benak anak itu. “Kalau Bizar sekolah, mahal ya Bunda?” tanyanya lagi. “Dengarkan bunda. Bunda itu sudah laaaamaaaa sekali menabung buat sekolahnya Bizar. Bunda mau juga rasakan seperti apa rasanya antar jemput Bizar sekolah. Bunda kan sering bilang sama Bizar kalau mau jadi pintar itu harus belajar. Belajar sama bunda itu tidak cukup. Supaya Bizar pintar di sini sama di sini,” kata Aina menunjuk dahi, bibir dan dadanya Bizar. “Anaknya bunda belajar giat di sekolah sama banyak teman-teman yang lain. Bizar kalau mau jadi keren, tidak bisa kalau cuma pintar. Harus punya banyak teman juga. Tayo saja punya banyak teman sesama bus, masa Bizar nggak mau punya teman sesama anak kecil?” “Iya juga ya Bunda?” ujarnya mengangguk-angguk. “Tadi Bizar makan siangnya apa sama oma?” tanya Aina ketika langkah kakinya sampai di belokan koridor. “Tadi Bizar makan ikan sama telur mata sapi Bunda. Banyak kecapnya, enak banget Bunda. Bizar jadi lapar lagi," ujar Bizar memegang perutnya dengan raut wajah memelas. Aina dan wanita paruh baya itu hanya geleng kepala melihat tingkah menggemaskan Bizar yang sedang berakting. Tujuannya tidak lain ingin dibuatkan telur mata sapi lagi. *** Gibran termenung di dalam mobilnya menatap sepetak tanah dengan sisa puing rumah yang sudah terbakar. Saat pertama kali sadar pasca operasi, rumah itulah tujuan awalnya. Tapi saat tiba di sana, rumah itu kosong. Ia masih ingat dengan jelas susah payah dirinya menyeret langkah kabur dari rumah sakit. Menghentikan taksi dan turun tepat di depan rumah ini. Putus asa mengetahui jika tidak ada tanda kehidupan di balik pagar teralis besi itu. Rumput liar di mana-mana dan kaca jendela rumah yang sudah hancur. Saat itu Gibran baru tahu jika sudah berminggu-minggu dirinya tidak sadarkan diri. Bertanya pada tetangga sekitar, tidak ada yang mengetahui keberadaan mereka. Terakhir kali melihat Aina dan keponakannya adalah saat malam takziyah ketiga kematian Ekadanta dan Nura. Malam yang sama di mana dirinya mengalami kecelakaan. Aina dan Alif hilang dan tidak bisa ia temukan. Saat memutuskan untuk kembali ke rumah, sekali lagi tubuhnya harus berurusan dengan meja operasi. Mobil tanpa plat kendaraan menabrak dirinya. Kecelakaan yang kembali membuatnya menjadi pangeran tidur untuk kedua kalinya. Bahkan lebih lama dari sebelumnya. Gibran tidur hampir tiga tahun lamanya. Saat ia kembali bangun, ia mendapati rumah itu sudah hangus terbakar. “Selamat ulang tahun Alif, ayah rindu sama kamu. Sama bunda kamu juga. Kalian di mana? Mau sembunyi sampai kapan Aina?” lirih Gibran terisak menahan sesak di dadanya. Kenangan masa lalu kembali terbayang saat teringat pembicaraan tentang ulang tahun Alif. “Saat ulang tahun pertamanya nanti, pastikan kau menyisihkan gajimu Gibran. Belikan putraku ini mobil-mobilan yang besar. Agar ia bisa belajar mengemudi sejak bayi. Kau setuju kan Alif?" tanya Nura terkekeh melihat anggukan polos putranya ketika diajak bicara. Gibran sepertinya tidak memikirkan ucapannya. Lebih fokus pada putra kecilnya yang selalu anteng jika duduk di pangkuan Gibran. “Ulang tahun Alif yang pertama nanti, boleh saya minta kamu jadi walinya?” pinta Ekadanta menatap Gibran dan putranya bergantian. “Kami berdua sama-sama yatim piatu. Kami tidak punya sanak keluarga. Adikku Aina masih terlalu muda dan terkadang ceroboh dan pelupa dengan sekitarnya jika sudah bertemu mikroskop. Hidup tidak pernah bisa ada yang menebak akhirnya akan seperti apa. Setidaknya melihat Alif nyaman bersamamu, entah mengapa permintaan itu terucap begitu saja.” Ekadanta tersenyum memperbaiki letak kacamatanya. “Urus saja berkasnya. Bukan karena aku berdoa, hanya untuk berjaga-jaga. Kalian sendiri tahu seperti apa kebiasaanku. Aina akan tetap jadi wali utama setelah kalian. Tanpa kalian minta pun aku ingin jadi ayahnya. Aku sendiri sudah jujur pada kalian tentang perasaanku pada adik kalian. Tapi jangan pernah memaksanya. Iya kan, Alif?” tanya Gibran sambil menoel dagu Alif yang bicara dengan bahasa planet yang hanya ia saja yang memahami. “Ya Allah… pertemukan aku kembali dengan mereka berdua. Aku benar-benar tersiksa dengan rindu yang kutampung ini,” lirih Gibran sambil mengusap air matanya. Tidak akan ada yang tahu ia menangis sendirian malam ini menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Alif. Sementara di tempat lain Aina masih terjaga. Memeluk erat tubuh Bizar dan menggumamkan doa terbaik untuk keponakannya dan membisikkan ucapan selamat ulang tahun. Cukup lelah rasanya membuat kue seharian dan kembali ke panti menyiapkan makan malam sepeti biasa. Ditambah ia mengecek persiapan dekorasi ulang tahun sederhana untuk Bizar besok. Semua sudah ia cicil sedikit demi sedikit beberapa bulan terakhir di dalam kardus yang disimpannya di atas lemari. Besok tinggal memasangnya bersama yang lain. Senang melihat para lansia itu antusias dengan ulang tahun keponakan kesayangannya itu. Menggumamkan maaf pada mendiang kedua kakaknya karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk putra mereka. “Ya Allah… kuatkan aku menghadapi rintangan di balik keputusanku ini. Aku hanya berharap agar putra kakakku ini selalu baik-baik saja dan selalu bahagia. Aku rela melakukan apa saja agar dia bahagia,” gumam Aina dan memilih untuk bergabung ke alam mimpi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN