Part 1 Devil, Demon dan Lucifer
“Papi belum bisa jelaskan sekarang. Masih dalam proses penyelidikan dan sekarang kita harus fokus pada Gibran dulu. Mas Hamiz sama Mbak Mariska mana?” tanya Derdi menuntun istrinya kembali duduk di depan ruang tunggu operasi di mana keponakannya berada dalam penanganan dokter.
“Mas Hamiz bawa Mbak Mariska ke ruangannya, karena tadi dia pingsan dengar ucapan dokter. Peluang Gibran rendah. Mami takut lihat Gibran, Pi. Terlalu banyak luka dan Ya Allah… untung Mas Hamiz sama Mbak Mariska tidak melihat kondisinya saat tiba di IGD.” Lenata kembali menghapus air matanya. Dalam hati ia akan menentang keras putra kembarnya jika berniat menjadi seorang polisi.
“Mi, dengarkan papi. Papi tahu ini bukan waktu yang tepat ngomong ini sama Mami. Tapi papi tidak punya pilihan,” ujar Derdi menghela napas cukup panjang dan menggenggam tangan istrinya sambil menunjukkan pesan di ponselnya. Lenata tercekat dan menatap suaminya dengan bola mata yang membelalak.
“Gibran diserang sindikat narkoba yang tergabung dalam jaringan teroris. Gibran sendiri yang bilang sama papi beberapa hari yang lalu dan sedang dalam proses menemukan bukti. Buat Mbak Mariska fokus pada kesehatan Gibran saja dan sebisa mungkin alihkan pikirannya dari proses penyelidikan," pinta Derdi.
Lenata hanya mengangguk sebagai jawaban. Kini ia mengerti keluhan Mariska belakangan ini yang mengatakan betapa sibuknya Gibran. Melirik suaminya yang kini hanya duduk berpasrah, hanya genggaman tangan yang bisa diberikan Lenata sekarang. Mereka tidak bisa bertindak gegabah.
Derdi mengulas senyum tipis yang tidak sampai ke mata. Melirik sekilas lampu ruang operasi yang masih menyala ia kembali menatap istrinya dan berkata, "Satu hal lagi, papi akan minta putri kita melanjutkan kuliah di Jepang bersama Safwan. Papi sudah bicara dengan Safwan dan dia bersedia membantu kita menjaga Aluna."
"Papi yakin putri kita akan aman?" tanya Lenata yang memikirkan putrinya yang luar biasa ceroboh itu.
"Gibran sudah mengantisipasi hal ini sejak awal dan minta Safwan mengajak putri kita juga untuk kuliah di sana. Gibran bahkan sewa bodyguard dari salah satu perusahaan keamanan swasta untuk mengawasi Aluna dan Safwan. Papi tidak ingin dia juga dijadikan target. Kedua putra kita aman di Bandung bersama neneknya. Gibran sudah meminta temannya untuk mengawasi kita sejak lama untuk berjaga-jaga,” bisik Derdi.
“Maksud Papi apa? Kenapa Papi seolah….”
“Papi awalnya ditugaskan untuk menghadiri rapat penting di sini. Harusnya besok kita kembali ke Bandung. Tapi malam ini atasan papi sudah mengabari kalau papi dipindahkan ke Manado. SK mutasi papi sudah diproses. Papi tidak bisa menolak. Papi juga tidak tahu apa alasan dibalik mutasi dadakan ini. Papi hanya tahu jika itu berhubungan dengan Gibran. Papi tidak bisa gegabah atau keluarga kita akan kembali mendapatkan ancaman," ujar Derdi mengusap wajahnya.
“Mami mengerti, tapi mami masih mau di sini tunggu Gibran pulih. Setidaknya anak itu melewati masa kritisnya dulu. Mbak Mariska tumbang lihat putra tunggalnya sekarat, Pi. Dia sudah keguguran berkali-kali dan kalau sampai dia kehilangan Gibran, dia bisa hancur,” lirih Lenata.
Ia tidak akan pernah lupa jasa kakak iparnya yang sudah membantu membesarkan putri kecilnya saat ia dan sang suami dipisahkan oleh orang tuanya. Derdi kembali menarik sang istri dalam pelukannya. Keduanya berdoa agar Gibran selamat dan seluruh keluarganya akan baik-baik saja.
***
Operasi yang dipimpin Prof. Galuh akhirnya selesai setelah 13 jam. Tindakan operasi itu tak bisa disanggah jika membuat para tenaga medis itu kewalahan. Wajah mereka mirip zombie setelah menangani Gibran.
Saat melihat kehadiran dokter senior yang menunggu di balik pintu kaca transparan, wajah mereka langsung secerah matahari terbit. Apalagi Prof. Hamizan yang merupakan kepala Departemen Spesialis Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler itu menyambut mereka dengan senyum hangat khas pria paruh baya itu. Bukan tanpa alasan, Prof. Hamizan adalah ayah dari pasien yang baru saja mereka tangani dengan susah payah.
Dua orang perawat mendorong hospital bed pasien keluar menuju ruang ICU. Kondisi Gibran belum sepenuhnya stabil. Masih harus terus dalam pemantauan. Mereka kembali terkejut karena di lorong rumah sakit ada beberapa orang polisi yang berjaga.
Kini Prof. Hamizan memandang putranya yang terbaring tidak sadarkan diri. Setelah melihat sendiri foto putranya saat pertama kali ditemukan oleh rekan polisinya, darahnya seakan membeku. Hamizan mengira putra semata wayangnya itu tidak akan selamat.
Hamizan bahkan ragu jika itu putranya. Jika saja tidak mengenali jam tangan pemberiannya dan ucapan adik iparnya bahwa Gibran sendiri yang menghubunginya. Tepat beberapa menit sebelum mobil Gibran meledak karena sebuah tembakan. Putranya menghubungi omnya sendiri dan mengatakan jika dirinya harus dibawa ke rumah sakit. Setelah itu Derdi hanya mendengar suara tembakan dan ledakan.
Penjelasan Derdi, adik iparnya yang menceritakan hal yang didengarnya dalam panggilan telpon itu membuatnya syok. Gibran awalnya baik-baik saja hingga akhirnya terdengar suara tembakan dan logam yang bertubrukan. Terlebih mengetahui di tubuh putranya bersarang beberapa butir peluru. Ini adalah malam yang menakutkan bagi keluarganya.
“Good boy! Papa senang karena kamu tepati janji. Jantung kamu masih berdetak dan pulang dengan selamat. Seperti yang selalu kamu bilang sama papa. Jangan terlalu lama tidur Nak, mama kamu nanti ngambek,” bisik Prof. Hamizan pada putranya dan masih bisa didengar oleh mereka yang berdiri di sisi pasien. Kagum betapa kuatnya pria di hadapan mereka itu menghadapi cobaan saat nyaris kehilangan nyawa putra semata wayangnya.
“Saya benar-benar mengantuk Bang. Ini tindakan operasi yang paling lama saya lakukan. Tapi saya lebih penasaran tentang siapa pasien tadi? Dia benar-benar seorang Devil. Dia lebih mirip orang yang kembali dari neraka. Saya takjub dia masih bisa bernapas dengan kondisi separah itu,” ungkap seorang dokter residen yang keluar paling akhir dari ruang operasi sambil memijat bahu kanannya.
Saat ia akhirnya membuka mata karena rekan di sampingnya menepuk kencang bahu kirinya, ia hanya bisa mengunci mulutnya. Ia pikir tidak ada orang lain di depan ruang operasi karena sudah belasan menit pasien dibawa keluar. Ada beberapa dokter senior yang berdiri di hadapannya. Merasa dirinya ditatap dengan tatapan yang sulit diartikan, ia hanya bisa menggaruk tengkuknya dan menggumamkan kata maaf.
“Kendalikan lidahmu!” tegur rekannya.
“Maafkan saya,” ucap dokter Bara. Sebagai salah satu dokter residen di posisinya sekarang ini, dialah yang paling muda. Kepalanya sekali lagi ditekuk menyiratkan penyesalan dan permohonan maafnya. Ia belum tahu jika pasien yang baru saja ditanganinya adalah putra dari profesor idolanya.
“Terima kasih atas bantuan kalian. Saya tidak tahu harus mengatakan apalagi untuk jasa kalian ini. Sungguh saya sangat mengapresiasi semua keputusan dan tindakan rekan-rekan sekalian. Sebaiknya kita ke ruangan saya dulu sebelum semuanya kembali beristirahat. Sudah waktunya makan siang, bahkan di antara kalian ada yang melewatkan sarapan karena Devil yang satu ini,” ucap Prof. Hamizan tersenyum sambil menunjuk putranya sendiri dan membuat mereka terkekeh.
“Sekarang kau mengakui dia Devil Police?” tanya Prof. Faizal pada sahabatnya sambil geleng-geleng kepala dan menatap dokter Bara. “Dokter Bara, hari ini kau libur. Aku dengar kau masih di parkiran dan kembali bergegas ke IGD karena ada pasien darurat.”
“Jadi dia yang pertama kali menangani Gibran? Apa dia juga yang memutuskan tindakan operasi seperti yang dulu aku lakukan?” tanya Prof. Hamizan yang diangguki oleh dokter senior yang lain.
Jujur saja mereka cukup terkejut dengan tindakan dokter muda itu saat mereka menyusul ke ruang operasi. Penanganan awal yang dilakukan Bara memang sangat beresiko. Mengingat banyaknya luka tembakan di tubuh Gibran dan beberapa tulang rusuk yang patah. Belum lagi luka di kepalanya.
Beruntung dalam kondisi gawat darurat itu, mereka mendapatkan stok darah entah dari siapa. Mereka jelas terkejut mengetahui jika ada yang mengirim 15 kantong darah yang bergolongan sama dengan Gibran dalam sebuah paket atas nama Prof. Hamizan. Topik gosip yang menghebohkan seisi IGD pagi ini.
“Jadi siapa yang sudah mengirim 15 kantong darah itu?” tanya Prof. Faizal saat mengikuti hospital bed Gibran yang dibawa ke ICU. Tidak menyangka polisi keras kepala itu tumbang juga.
“Paketnya tertulis jika itu untukku. Tapi pengirimnya atas nama Demon. Sepertinya teman anak ini. Tadi Dokter Bara bilang Devil yang satu ini baru kembali dari neraka. Iyakan? Bukankah Demon itu temannya Devil?” Prof. Hamizan menoleh pada Bara yang mengangguk. Profesor itunkembali bertanya, “Bagaimana menurutmu Dokter Bara? Apa saya salah?”
“Saya sepakat dengan dugaan Prof., tidak mudah mendapatkan 15 kantong darah dalam waktu sejam. Paket itu ditujukan langsung untuk pasien yang sedang berada dalam ruang operasi. Kemasan kantong darahnya juga bukan dari PMI atau Dinas Kesehatan," ujar Bara.
Prof. Galuh mengangguk setuju dan turut memberikan pendapatnya, "Itu mungkin milik beberapa klinik atau pihak swasta."
"Tapi... tetap saja mengejutkan berada di ruang operasi dan tiba-tiba dapat paket darah," lirih dokter wanita di samping Bara.
Merasa semua orang kembali menatapnya, Bara kembali berujar, "Dugaan saya seseorang mengumpulkan beberapa orang dengan golongan darah yang sama. Dalam satu waktu meski di tempat berbeda kemudian mengumpulkannya dalam waktu singkat. Atau sudah disiapkan beberapa waktu sebelumnya. Beberapa kemasan ada yang ukurannya berbeda,” ujar Bara menoleh pada rekan residennya yang mengangguk setuju.
Sebelum keluar dari ruang operasi mereka berdua memang memeriksa kantong-kantong darah itu. Siapa yang tidak terkejut menerima paket darah sebanyak itu? Bara kembali menghentikan langkahnya dan menarik napas dalam-dalam ketika Prof. Hamizan menaikan sebelah alis ketika menatapnya. Memahami jika profesor idolanya itu sedang penasaran.
“Dugaan pertama darah itu dikirim oleh orang yang Prof., minta karena paket itu ditujukan atas nama Anda. Untuk pasien berinisial G.A.H yang baru saja tiba di rumah sakit ini. Jeda waktunya hanya sekitar sejam. Bukan hal mustahil untuk itu. Koneksi Anda di beberapa rumah sakit dan klinik lain sudah tidak diragukan," ungkapnya.
"Kedua?" tanya Prof. Faizal.
"Dugaan kedua, pelaku sengaja mengirimnya agar pasien selamat karena masih menginginkan sesuatu dari pasien. Dugaan itu juga berlaku untuk pihak lain selain pelaku yang memiliki tujuan yang sama. Tubuh dengan luka separah itu... jelas jika pasien menyimpan informasi yang sangat berharga. Dugaan keti-"
"Masih ada lagi?" tanya Prof. Galuh terkejut.
"Demon yang Anda sebut tadi adalah rekannya," jawab Bara menatap Hamizan, "Meski sedikit menggelikan, tapi Devil dan Demon itu berteman. Mungkin dikategorikan sejenis.” Mereka kembali mengangguk dengan menahan senyum geli.
“Prof., maaf. Tapi saya harus pamit lebih dulu. Putra bungsu saya masih butuh ASI. Saya dengan sangat terpaksa menolak tawaran Anda,” ujar dokter Jane pamit lebih dulu.
“Saya juga Prof., hari ini saya harus menjemput putri saya. Dia baru saja kembali dari Paris. Dia akan menjadi sangat penurut jika saya yang menjemputnya,” ujar Prof. Galuh sembari memperbaiki letak kacamatanya.
“Baiklah, anak memang yang utama. Jangan menyetir sendiri. Supir saya akan mengantar Anda berdua pulang. Jangan menolak lagi. Sampaikan salam saya pada ayah Anda, Dokter Jane. Dan sampaikan juga pada putri Anda Prof. Galuh, dia boleh memilih hadiah apapun di toko kado adik ipar saya karena sudah membuatnya menunggu. Toko itu baru dibuka Lenata seminggu lalu,” ujar Prof. Hamizan mempersilahkan kedua dokter itu berlalu memasuki lift. Sementara mereka berlima berbelok ke arah lain menuju ruangannya.
“Bara, ayo! Kenapa diam saja? Kau tidak dengar ajakan Prof. Hamizan tadi?” tanya dokter Ikhsan pada rekannya yang masih terdiam.
Bara sebenarnya sangat bingung dengan kehadiran Prof. Hamizan di depan ruang operasi. Jika Prof. Faizal ia bisa menebak karena pasien yang mereka tangani adalah pasien khusus yang saat ini dipantau pihak kepolisian. Tentu direktur rumah sakit akan memberi perhatian lebih. Ia hanya tahu jika pasien yang ditanganinya selama 13 jam itu bernama Gibran.
“Prof. Galuh bilang kondisi pasien akan dijelaskan oleh dokter residen,” ucap Prof. Hamizan memecah hening ketika mereka baru saja keluar dari lift dan menatap Bara dan Ikhsan bergantian. Prof. Faizal berusaha menahan tawa melihat kedua dokter residen itu mengangguk pasrah dan kembali mengikuti langkah para senior mereka.
“Dokter Bara, tentang 15 kantong darah itu. Jika kamu di posisi pasien, dugaan keempat apa?” tanya Prof. Hamizan berbalik menatap dokter residen dengan paras tampan yang belakangan membuat heboh departemen bedah. Hampir tiap hari ia mendengar para perawat menggosipkan dokter residen yang satu ini.
“Apa jika saya menjawab, Prof. akan bersedia menjawab rasa penasaran saya?” tanya Bara terdiam sejenak dan kembali melanjutkan ucapannya saat Prof. Hamizan mengangguk. “Jika di posisi pasien… saya yang akan memesan 15 kantong darah itu.”
Jawaban Bara membuat semua orang menoleh padanya. Dokter Ikhsan yang berdiri di sampingnya sampai melongo. Bagaimana mungkin Gibran mempersiapkan darah itu untuk dirinya sendiri? Sama saja jika sejak awal laki-laki itu berniat bunuh diri.
Prof. Faizal meraih handle pintu dan berniat masuk lebih dulu. Perutnya sudah lapar ketika Mariska memberitahu beberapa saat yang lalu jika wanita itu menyiapkan makan siang untuk mereka. Memintanya untuk mengajak para dokter yang menangani putranya untuk makan siang bersama di ruangan Hamizan. Tapi jawaban sahabatnya kembali membuat mereka terkejut.
“Dugaan Anda benar Dokter Bara. Gibran sendiri yang sudah menyiapkan 15 kantong darah itu. Entah sejak kapan, tapi memang benar jika Demon itu adalah nama pena sahabatnya. Sebaiknya kamu jadi Lucifer, kalian bertiga akan cocok. Devil, Demon dan Lucifer. Bagaimana menurutmu?” Prof. Hamizan menoleh pada sahabatnya yang tercengang.
“Gibran yang melakukannya? Sebenarnya kasus apa yang dihadapi anak itu? Harusnya kau memperingatkannya!” geram Prof. Faizal tapi langsung terdiam ketika melihat Mariska yang menarik daun pintu dan mengajak mereka masuk.
“Kenapa lama?” tanya wanita cantik yang terlihat sedikit kacau dengan mata bengkaknya.
Wanita itu menatap satu persatu orang yang berdiri di depan ruangan. Faizal mengibaskan tangannya kemudian masuk lebih dulu. Saat duduk di sofa, terlihat jelas jika Mariska sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
“Mama tenang saja, serigala pemburu kesayangan Mama akan baik-baik saja. Nanti kita ke ICU sama-sama. Lenata sama Derdi sudah balik duluan. Mereka akan kembali ke sini lagi nanti,” ujar Prof. Hamizan.
“Prof. Galuh sama dokter Jane mana?” tanya Mariska kembali menoleh ke arah pintu masuk yang baru saja ditutup Bara.
Tatapan keduanya bertemu. Bara sudah tahu jika wanita itu adalah istri Prof. Hamizan dan sudah beberapa kali melihatnya datang ke rumah sakit. Sorot matanya sendu dan wajahnya murung.
“Dokter Bara,” panggil Prof. Hamizan.
“Ya Prof.?” jawab Bara yang terkesiap karena sempat melamun.
“Saya papa dari Devil yang kamu bilang baru kembali dari neraka. Rasanya saya sudah menjawab satu dari sekian banyak pertanyaan yang membuat kamu penasaran. Ayo, silahkan duduk!” ajaknya sambil mengulum senyum ketika melihat reaksi Bara yang terkejut.
Beberapa detik kemudian, barulah Bara kembali memasang raut wajah tenang setelah melirik dokter Ikhsan. Prof. Hamizan menepuk bahunya dan mempersilahkannya duduk di sofa. Bara merasa baru saja menghancurkan kesempatannya dibimbing langsung oleh Prof. Hamizan.
“Bang Ikhsan pasti sudah tahu identitas pasien. Kenapa tidak bilang?” bisik Bara.
“Aku sendiri terlambat menyadarinya. Luka di wajahnya cukup parah. Kalau saja tidak melihat kehadiran Prof. Hamizan di depan ruang operasi, aku pasti menduga jika dia orang lain," balas Ikhsan.
“Apakah dia setinggi Gibran?” Pertanyaan Mariska membuat semua orang menoleh pada objek tatapan wanita itu. Bara merasa tegang ditatap curiga seperti itu.
“Berapa tinggi tubuhmu Dokter Bara?” tanya Prof. Faizal menikmati hidangan lebih dulu yang diberikan Mariska.
“178 cm Prof.,” jawab Bara. Sekujur tubuhnya panas dingin karena baru tahu fakta penting.
“Gibran lebih tinggi dikit. Tapi kamu lebih ganteng dikit dari putra saya. Sudah berkeluarga?” tanya Mariska yang langsung tersenyum lebar mendengar jawaban sahabatnya.
“Dokter Bara ini masih single. Gosipnya belum punya pacar. Terlalu sibuk belajar biar bisa dibimbing jadi spesialis jantung sama suami kamu Mariska. Dia yang pertama kali menangani Gibran di IDG. Awalnya dia sudah mau pulang. Saat tiba di parkiran dan lihat ambulans datang, dia balik lagi karena dugaannya pasien yang sebelumnya ada di IGD sudah dibawa ke ruang operasi. Itu berarti tidak ada dokter bedah di sana,” jelas Prof. Faizal memberitahu Mariska dan wanita itu menggumamkan terima kasih.
“Sebagai direktur rumah sakit ini, biarkan dia yang menangani Gibran. Boleh kan, Pa?” tanya Mariska menatap Faizal dan suaminya bergantian. Pertanyaan itu tentunya membuat Bara semakin tegang.
***