Part 3 Kriteria Gibran

2407 Kata
Hamizan Irsyad hanya bisa geleng-geleng kepala memperhatikan istrinya yang sejak tadi berjalan mondar-mandir sambil terus berusaha menghubungi putra sulungnya. Meski itu adalah panggilan yang kesekian kali hanya berdering, tapi wanita itu tidak menyerah. Matanya bergantian menatap layar ponsel dan pintu rumahnya. Bukan pintu depan, melainkan pintu kaca samping yang terhubung ke taman belakang. Pintu yang selalu menjadi tempat masuk Gibran sekalipun mobilnya terparkir di depan. Maklum saja, Gibran tidak suka dengan bunyi pintu utama berbahan kayu jati itu. "Nyonya Hamizan, sudahi saja panggilan yang tidak kunjung terjawab itu. Hatimu akan sakit nanti," ujar sang suami. "Maaf Tuan Hamizan, istrimu ini bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ck! Mama sudah menghubungi kantornya dan rekannya bilang Gibran sudah pulang sejak dua jam lalu. Bagaimana jika dia tiba-tiba tidak sadarkan diri dan pingsan di tengah jalan kayak dulu? Walaupun kayak pemain game yang dibanting berkali-kali nggak mati-mati, Gibran itu masih kategori pasien. Sekalipun Bara bilang dia si Pasien Devil, tetap saja mama tuh hawatir. Kondisinya belum pulih sepenuhnya tapi dia tetep kerja siang malam," keluh Mariska. "Dia berusaha mengejar ketertinggalannya selama ini Ma. Dilarang pun percuma, dia keras kepala kayak mamanya," timpal Hamizan. "Jangan lupa, keren juga kayak mama," kata Mariska berpose seperti seorang model di depan suaminya dan keduanya tertawa. Hamizan mengangguk sembari mengacungkan jempol. "Itu sudah pasti, Nyonya. Gibran belakangan ini cuekin Mama, makanya Mama sering kesal kan?" Mariska kagum karena suaminya ini memang peka. "Ck! Bagaimana bisa mama biarkan begitu saja? Mama bakal ganggu dia terus sampai kasih mama cucu. Mama kan juga pengen Pa kalau ke mana-mana bawa mantu, bawa cucu. Mantu mama pamerin, ini loh istrinya Gibran. Cucu mama bakal bikin gemes semua orang. Terus bilang mama tuh beruntung banget. Kayak tetangga sebelah, anaknya seusia Gibran sudah punya tiga anak. Nah kita, mantu aja belum ada," keluh Mariska kembali mendesah berat, sarat kecewa karena impiannya belum terwujud. "Mama kan sering ajak Ratna?" sahut sang suami yang sebenarnya sudah seringkali mendengar alasan yang sama. Tidak dipungkirii, Hamizan juga merasa demikian. Ingin sekali ia mengajak cucunya jalan-jalan menikmati hari tua. Tapi apa daya? "Itu dulu. Tapi sekarang kan Ratna kuliah? Tugas kuliahnya itu ya ampun bikin mama sakit kepala. Kok mesti diketik pakai mesin ketik manual sih? Masih mending ditulis tangan," ungkap Mariska menghela napas lagi karena panggilannya belum juga dijawab. Jika saja itu ponsel milik orang lain, mungkin ia mengira pulsanya habis. Nyatanya itu adalah ponsel suaminya. Nominal pulsanya bahkan punya nol lebih banyak dari ban minibus. Masalahnya adalah sang putra yang tidak kunjung menjawab panggilan telpon itu. "Mama tuh kadang kesel tahu Pa kalau teman-teman mama tanya umurnya Gibran. Mama bilang 29 tahun, pasti bilangnya ya ampun udah hampir 30 tahun. Emang nggak punya pacar? Kok belum nikah?" ungkap Mariska menirukan reaksi teman-temannya selama ini. "Mereka tanya apalagi?" Hamizan berusaha mengalihkan perhatian sang istri dari panggilan telepon yang masih dalam mode speaker dan terus berdering tanpa dijawab. "Bu Mariska punya anak cowok? Memangnya umur Gibran berapa, kok belum nikah? Kerjanya apa? Sudah punya pacar tapi belum dikenalin mungkin? Ya mama bilang apa adanya. Tahun ini Gibran bakal 30 tahun. Pekerjaannya polisi. Sayangnya mama nggak tahu dia punya pacar belum atau cuma pura-pura punya cewek. Dia lebih sering ngejar buronan dibandingkan ngejar cewek," tutur Mariska tertunduk lemas. "Dia akan menikah disaat yang tepat Ma. Mama jangan putus asa. Lagipula papa yakin dia tahu yang terbaik buat dirinya dan keluarga kita. Dia sendiri sudah janji akan bawa calon istrinya ketemu kita sebelum usianya 30 tahun. Dia sudah berniat menikah sebelum usianya genap 31 tahun." "Dua bulan lagi usianya 30 tahun Pa. Itu artinya Gibran harus bisa ikhlas nikah sama pilihan mama. Kalau saja dia masih Gibran yang dulu. Gibran yang masih penurut kayak Bara. Mungkin Gibran sekarang sudah nikah. Ngomong-ngomong, Bara pulangnya kapan Pa?" tanyanya lagi. Mariska teringat dengan putra angkatnya. Ia memang tidak ingin mengganggu putranya yang satu itu. Bukan pilih kasih, tapi Bara sering mengirimkannya pesan. Berbagi apa saja tentang kegiatannya. Sementara Gibran? Ia tidak tahu kabar si sulungnya sejak 42 jam yang lalu. "Jangan terlalu tinggi standar calon mantu idamannya. Pertama lihat hatinya dulu baru kepribadiannya. Kalau soal penampilan, apa gunanya salon?" saran Hamizan yang membuat istrinya melongo. "Ih... papa nyindir?" kesalnya. "Tidak." "Lalu?" "Ya cuma tidak ingin Mama menyesal karena salah pilih. Nanti Gibran lupa sama Mama dan tidak peduli lagi karena cuma dengarkan istrinya saja. Tapi kalau Mama sudah buat ikatan lebih dulu dengan gadis pilihan Mama, itu lebih baik," tambah Hamizan dan sang istri terdiam. "Papa benar," sahut Mariska pada akhirnya. "Memangnya Mama sudah punya berapa calon istri buat Gibran pilih? Sekalian juga kenalin buat Bara. Siapa tahu dia mau nikah duluan." Hamizan membolak-balikkan lembaran kertas koran mencari berita yang dikatakan temannya. "Sebenarnya ada beberapa sih, Pa. Tapi tidak srek di hati mama. Satunya cantik tapi sedikit egois. Walaupun itu mungkin cuma perasaan mama. Terus satunya lagi lumayan cantik Pa, tapi mama rada bosen ngobrol sama dia. Ada juga model yang pernah mama kenalkan sama Papa. Model yang datang di kafenya Gibran, tapi Jay bilang dia matre. Dia sendiri dengar tuh cewek bilang penghasilan kafe nggak bakal cukup buat kebutuhan dia. Aneh sih, kayak tahu aja berapa penghasilan kafe. Tuh kafe kenapa tiba-tiba dibuat sama Gibran ya Pa? Kok sampai sekarang nggak mau bilang? Papa interogasi dong," ujar Mariska merajuk karena rasa penasarannya mulai mengalihkan perhatiannya. "Percuma. Kafe ARU kata orang sekarang tempat titipin rindu, karena di sana mereka akan selalu dengar lagu rindu itu selalu diputar. Papa tidak tahu ada alasan dibaliknya atau murni bisnisnya Gibran yang ingin menutupi target rekening yang pernah dia bilang sebelumnya," ungkap Hamizan berbohong. Kenyataannya, ia sudah tahu alasannya. Namun ia menghargai alasan putranya sehingga memilih untuk tidak mengungkapkannya. Lagipula Gibran juga sudah berjanji akan menceritakan beberapa hal yang perlahan ia ingat pasca kecelakaan itu. "Kayaknya nggak deh, Pa. Bisnisnya Gibran kan banyak. Bengkel, rental motor, warnet, cuonter pulsa. Belum lagi bisnis warung campurannya di mana-mana yang dia bagi hasil sama emak-emak. Mama lihat sendiri loh catatan yang diceklist sama Jay. Tiap bulan nih warung-warung nyetor jutaan." Mariska berceloteh sendiri dan tidak lagi ingat dengan ponsel yang sudah berhenti berbunyi itu. "Terus Mama maunya yang bagaimana?" tanya Hamizan kembali mengingatkan kriteria menantu idaman istrinya. "Mama sih maunya Gibran punya pendamping yang lebih dari mama. Bisa buat Gibran nyaman. Mama juga mau dia setia, sederhana, cerdas, sopan, menghargai orang tua, penyayang, wajahnya nggak harus cantik. Seperti yang Papa bilang, apa gunanya salon," sebut Mariska antusias. "Nyaris sempurna. Mama masukkan saja kriteria menantu idaman Mama itu di situs jodoh," saran Hamizan yang mengulum senyum melihat bibir manyun istrinya. Sebenarnya ia sudah tahu masalah yang timbul gara-gara situs jodoh. Ia hanya suka menggoda istrinya. "Sudah Pa, tapi ketahuan sama Gibran. Padahal mama sudah sangat berhati-hati loh. Pakai nama samaran pula. Gibran belakang ini tuh berubah kayak cenayang. Gara-gara masalah itu juga dia tidak jawab telpon mama selama seminggu. Mama kapok. Mama tidak mau Gibran marah seperti waktu itu. Kalau papa maunya Gibran nikah sama gadis yang seperti apa?" tanya Mariska kini beranjak duduk di samping suaminya setelah Hamizan menepuk sisi sofa di sampingnya. "Gadis yang bisa membuat Gibran menoleh tanpa dipanggil. Artinya gadis itu menarik bagi Gibran. Soleh, sederhana dan cerdas. Gibran bisa ajari dia buat jadi sosok penyayang. Jadi papa tidak akan menuntut. Lagi pula kita akan menyayanginya, jadi gadis itu juga akan terpapar rasa sayang dan jadi sosok penyayang seiring waktu," jawab Hamizan bijak. "Harus yang setia juga dong, Pa!" Mariska tidak mau punya menantu yang membuat putranya patah hati. "Gibran yang harus buat istrinya kelak setia padanya, seperti papa." Hamizan kembali mengundang derai tawa istrinya. "Hahaha... Ya ampun! Papa siang-siang gombal!" Mariska mencibir tapi tetap saja tersipu, termakan gombalan sang suami. Hamizan kali ini menoleh dengan serius menatap istrinya dan bertanya, "Tapi apa pendapat Mama kalau Gibran suka sama janda yang sudah punya anak?" "Kalau Gibran suka sama dia, mama akan berusaha menerima dia sama anaknya. Dulu mama butuh waktu cukup lama untuk berpikir tentang lamaran Papa. Mama ragu, Papa itu duda satu anak. Mama nggak yakin bisa jadi ibu yang baik buat Gibran. Belum lagi kondisi mama saat itu nggak bisa dibilang cewek normal. Tapi Gibran mengubah pandangan mama. Dia yang lebih dulu curi hati mama. Eh ternyata... dicuri buat dikasih ke papanya." Kali ini Hamizan yang berderai tawa sambil meraih tubuh istrinya ke dalam rangkulannya. Suara pintu pagar yang dibuka membuat keduanya saling tatap. Mariska tersenyum lebar karena mendengar suara mobil Gibran. Mariska langsung melepaskan pelukannya dan bergegas menyambut putranya. Hamizan menghela pasrah, dirinya selalu kalah dengan putra-putranya jika menyangkut perhatian Mariska. Belum semenit berlalu, Mariska kembali masuk dengan berlari kecil ke arahnya. Lebih tepatnya kembali duduk di sampingnya sambil berpura-pura membaca majalah dengan mata yang selalu melirik ke arah pintu. Hamizan hanya mengulum senyum melihat istrinya mengatur napas berkali-kali. "Assalamu alaikum.... Ma... Pa... Bi... Gibran pulang!" Gibran berteriak sambil menutup kembali pintu kaca dengan mengumumkan kehadirannya yang tidak disambut. Biasanya mamanya akan menghampiri dan bertanya banyak hal karena mencemaskan dirinya. Ia suka dengan semua itu. Panggilan telpon sengaja ia abaikan agar disambut manis seperti biasa. Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda, rumah sepi. Gibran pikir mungkin mamanya keluar bersama papanya ke suatu tempat. Tapi kemudian Gibran menggeleng, ia sempat melihat mobil papanya di parkiran belakang. Dugaannya mungkin sedang ada tamu sehingga dirinya diabaikan. "Ma, putra kamu pulang," kata Hamizan memecah keheningan ketika melihat Gibran mengernyit melihat mereka berdua. Merasa ditatap, Mariska hanya mengulas senyum di balik majalah yang pegangnya. "Mama tahu Pa. Kedengaran kok suara mobilnya. Tadinya mama pikir dia tersesat di jalan atau lupa jalan pulang ke rumahnya. Ya ampun, mama lupa kalau sulung kita itu kan amnesia." Mariska menyindir putranya yang mengulum senyum geli mendengar kalimat yang hampir saja selalu sama jika dirinya tidak memberi kabar. Gibran merebahkan tubuhnya di sopa dan bertanya, "Mama sama Papa syuting drama apa?" Bohong jika dirinya tidak lelah. Sejak kemarin ia tidak beristirahat hingga berhasil menangkap pelaku pembunuhan subuh tadi. Pelaku mencoba kabur dengan kapal nelayan. Sayangnya jika sudah masuk dalam daftar buruan Gibran, maka ia tidak akan lolos dari Tim Serigala. Tim yang dipimpinnya saat operasi tersebut berlangsung. "Syuting apa maksud kamu? Di sini tidak ada kamera sama sutradara," jawab mamanya dan Gibran hanya terkekeh. "Terus kenapa Mama tiba-tiba berlari masuk? Membaca majalah dengan posisi terbalik. Otot leher tegang dan sorot mata mama fokus pada satu titik. Bola matanya Mama sama sekali tidak bergerak seperti Papa. Seperti normalnya orang yang sedang membaca. Bola matanya itu normalnya bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Fokus mama sekarang hanya menatap garis tengah dari kedua halaman," papar Gibran menatap keduwnya bergantian. "Kamu sedang menginterogasi mama?" tanya Mariska menutup majalahnya dengan mendelik kesal. "Tidak Ma, cuma melaporkan apa yang sedang terjadi," ujar Gibran melirik papanya. Gibran tersenyum lebar ketika melihat bahu mamanya sudah merosot. Ia pun segera beranjak, berpindah duduk dan memeluk mamanya dan berbisik, "Mama belakang ini pakai skincare apa? Kelihatan lebih muda dan fresh. Kalau Gibran jalan sama Mama ke mall, orang-orang mungkin akan berpikir kalau Gibran ini berondongnya Mama." "Masa sih? Keriput mama nggak kelihatan?" Mariska terpancing. "Nyonya Hamizan, sepertinya kamu melupakan dialogmu," bisik suaminya melihat istrinya tersipu malu dengan pujian putranya. "Ehem... kau dari mana saja? Kenapa tidak jawab telpon mama? Sibuk sama siapa kamu? Kamu itu tidak pulang selama tiga hari dan hanya balas satu pesan. Mana balasnya dengan kata 'OK' doang kayak orang pelit. Satu kata sama satu baris kalimat kalau orang kirim pesan SMS itu biayanya sama Gib!" Mariska merajuk pada putranya. "Mengelilingi tiga kota yang tidak bisa Gibran sebutkan. Tidak jawab telpon Mama karena lagi tugas sama nyetir mobil tadi. Mama kan biasanya marah kalau jawab telpon sambil nyetir. Gibran sibuk sama orang jahat dan tidak pulang kemarin karena belum ada kapal yang bisa nganter Gibran pulang," jelasnya dengan jujur. "Kapal? Kamu ke pulau?" Hamizan bertanya dengan raut wajah penasaran. "Untuk kejar barang bukti." Gibran kembali merebahkan tubuhnya di sandaran sofa dan berkata, "Mama tahu? Satu kata 'OK' itu bukti betapa setianya seorang Gibran Akhtar Hamizan pada Nyonya Mariska Irsyad. Mama adalah satu-satunya wanita yang pesannya Gibran balas selama sepekan ini." "Mama tidak tahu harus merasa senang atau kecewa mendengarnya," ungkap Mariska meletakkan majalahnya di meja. Senang karena pujian putranya. Di sisi lain kata 'satu-satunya' adalah pertanda jika menantu harapannya masih belum jelas. "Mama kecewa karena Gibran belum punya pacar?" tanya Gibran tepat sasaran. "Baguslah, setidaknya kamu peka! Mau lajang terus?" sindirnya. "Gibran punya satu kriteria penting buat referensi Mama. Dia harus punya tatapan indah. Pastikan itu ada dalam daftar kriteria menantu Mamaku. Hari ini masak apa, Ma?" tanya Gibran beranjak ke dapur sambil melepaskan jaketnya. Tanpa menyadari ada selembar foto yang jatuh dari sakunya. Saat menggeser pintu kaca, angin berhembus dan menerbangkan selembar foto itu ke bawah lemari. "Pa, dari mana Gibran tahu kalau kita bahas calon mantu?" Mariska tersadar dan menoleh pada suaminya. "Papa juga tidak tahu. Mama tanya saja yang bersangkutan," kilahnya. "Tidak ah, nanti Gibran pergi dan berubah pikiran lagi," ujar Mariska beranjak menyusul putranya. Hamizan hanya geleng-geleng kepala, lagi-lagi diabaikan. "Pa, ayo! Katanya tadi sudah lapar? Tuh cacingnya sudah konser." "Kapan perut papa bunyi?" elak sang suami. "Anggap saja bunyi. Ayo! Putra kita kelaparan dan dia tidak akan makan sebelum salah satu dari kita duduk makan bersamanya," kata Mariska menarik tangan suaminya untuk ikut ke dapur. "Baraaaa!!!" panggil Gibran. Aroma masakan dari dapur rumahnya semakin lapar. "Nak Bara lagi ke Jakarta Nak Gibran," sahut Bi Sukma. "Belum balik Bi? Kok lama? Tuh anak kenapa betah di sana?" tanya Gibran sembari merogoh ponselnya dan langsung menghubungi Bara via video call. Sayang tidak dijawab dan ia mengerti jika adik angkatnya itu pasti sedang sibuk. "Gib, kamu sudah lihat belum berkas yang mama taruh di atas nakas sebelum kamu pergi?" tanya mamanya. "Map yang biru?" tanya Gibran yang diangguki Mariska. "Sudah?" tanya sang mama dengan mata berbinar. "Lain kali Mama berdoa saja. Bukan kasih kandidat buat Gibran. Anak Mama ini nggak butuh dijodohkan. Gibran sudah punya calon istri pilihan Gibran sendiri. Seperti janji Gibran, bakal bawa dia dan ngajak dia nikah secepatnya," jawab Gibran mantap. Mariska mendesah pasrah melirik suaminya yang menggedikkan bahu cuek. Gibran terkekeh karena mamanya benar-benar keras kepala dan pantang menyerah menjodohkan dirinya. Kalau saja Aina sudah ketemu, dia pasti akan mengajaknya langsung ke depan orang tuanya. Jika bisa ke KUA saja langsung. "Gibran janji. Gibran bakal kasih Mama menantu terbaik, karena Gibran juga tahu kalau dialah yang terbaik buat Gibran," ungkapnya sambil meraih tangan kiri Mariska dengan tatapan penuh kesungguhan. "Namanya?" cicit Mariska berharap ada sebuah nama yang disebut putranya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN