Part 4 Alif

2406 Kata
"Nak Gibran tidak cuci tangan dulu?" Gibran mematung seperti orang yang terciduk. Suara datar itu menggagalkan niatnya mengambil udang goreng tepung krispi di hadapannya. Ketika wanita paruh baya itu kembali ke dapur, Mariska menghamburkan tawa. "Bagaimana bisa bibi tidak berubah sedikit pun? Dia masih saja setegas itu diusianya yang sudah lebih dari setengah abad. Kasihan sekali Jay dan Ratna," gumam Gibran beranjak mencuci tangannya di westafel. Sebenarnya ia sudah mencuci tangan di halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Kebiasaan itu ada sejak Bara tinggal di rumah ini. "Kamu yang mengundang masalah. Apa salah Bi Sukma yang hanya mengingatkan kamu?" Hamizan menoleh pada asisten rumah tangganya yang sibuk menuangkan jus ke dalam gelas. Wanita yang sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh Hamizan itu adalah pengasuh Gibran sejak bayi. Sudah bekerja dengannya menjadi asisten rumah tangga ketika ia menikah dengan ibu kandung Gibran. Setelah istri pertamanya meninggal, Bi Sukma ikut bekerja dengannya. Bahkan ikut pindah ke luar negri saat dirinya menempuh pendidikan spesialis. Tidak heran jika wanita itu tahu benar kebiasaan Gibran dan tidak akan segan menegur putranya. Semua dilakukannya untuk kebaikan Gibran yang sudah wanita itu anggap seperti putranya sendiri. "Mungkin kamu yang tidak menyadari jika dirimulah yang sudah banyak berubah. Apalagi sejak setahun terakhir. Papa sama Mama senang dengan perubahan diri kamu yang sedikit lebih terbuka. Kamu sekarang ini lebih easy going. Tidak seperti robot yang cuma mengangguk dan kasih kode," ungkap Hamizan mengulum senyum ketika putranya memutar bola matanya jengah. "Itu semua gara-gara Derdi yang mengontaminasi Gibran." Mariska mencebik kesal karena adiknya berhasil membuat putranya memilih jadi polisi ketimbang jadi dokter. Jawaban yang membuat Gibran terkekeh. Sampai sekarang mamanya masih saja kesal dengan keputusannya itu. Bukan karena ikut-ikutan dengan omnya. Gibran punya alasan kuat sehingga memilih mengubur impian pertamanya menjadi seorang dokter seperti papanya. Kemudian memantapkan diri untuk menjadi seorang polisi. "Prof. Yamin sampai sekarang masih bingung dengan efek samping dari benturan di kepala kamu. Katanya efeknya unik. Papa sudah baca hasil pemeriksaan medis kamu yang terakhir. Hasilnya keluar kemarin Gib. Meski belum sembuh 100 %, tapi tingkat pemulihan kamu cukup menakjubkan. Papa tidak tahu siapa Alif yang selalu kamu sebut dalam keadaan tidak sadar. Tapi nama itu punya efek yang sangat besar. Detak jantung kamu langsung stabil saat papa sebut nama itu di telinga kamu," jelas Hamizan dengan sorot mata penuh tanya. Ia menduga putranya sudah mengingat pemilik nama itu. "Kamu sudah ingat Alif, Gib?" tanya Mariska. Sejujurnya ia sangat penasaran dengan sosok Alif. Mungkin saja dugaan Bara tentang Alif itu benar adalah kekasih Gibran. Alif yang mungkin penggalan nama seorang gadis. Seperti yang pernah diungkapkan oleh putra bungsunya. Gibran mengangguk sambil mengunyah udang goreng tepung krispi lalu berteriak mengucapkan terima kasih pada Bi Sukma ketika membuka penutup mangkuk keramik di hadapannya. Semangkuk kepiting asam manis tersaji dan ia sudah lama tidak menyantap masakan kesukaannya itu. Tidak menyadari jika kedua orang tuanya saling lirik dan memberi isyarat agar menuntun putranya menjawab rasa penasaran mereka selama ini. "Apa dia target atau pelaku yang kejar kamu waktu ini?" Hamizan bertanya dengan hati-hati. Mengingatkan putranya tentang kecelakaan di jurang maut itu sama saja menguak luka. Gibran menggeleng sambil mengemut jari telunjuknya. Satu hal yang tidak akan berubah dari Gibran, jika sudah bertemu masakan yang satu itu, yang lain jadi tidak penting. Matanya terpejam meresapi nikmatnya masakan Bi Sukma. Tiga hari tidak pulang ke rumah dan menikmati hidangan enak seperti ini sedikit membuatnya menyesal. Untung saja tidak ada Bara yang akan berebut dengannya. "Apa dia saksi?" tanya mamanya sambil menambahkan sayuran ke piring Gibran. Gibran kembali menggeleng dan membuka cangkang kepiting kedua. Ponselnya bergetar karena sebuah pesan singkat masuk. Ia pun menoleh dan menekan layar ponsel dengan kelingking kirinya. Membaca pesan dalam diam sambil mengangguk-angguk memahami isi pesannya. Ia sibuk sendiri sambil terus mengunyah lalu tersenyum setelah membaca pesannya. "Lalu siapa?" tanya mamanya berbisik. Gibran melirik mamanya sekilas kemudian kembali fokus pada kepitingnya. "Seseorang yang berharga. Gibran berjanji akan melindunginya tapi kehilangan jejaknya." Mariska berdeham dan kembali bertanya, "Alif atau Alifah? Atau Alifiyah?" "Ck! Mama jangan mikir aneh-aneh deh, Alif ya Alif. Bayi yang sekarang sudah berusia lima tahun. Gibran benar-benar rindu sama dia. Kapan ya bisa peluk dia lagi?" Jawaban Gibran membuat ketiganya terkejut. Bagaimana tidak? Kedua orang tuanya tersedak bersamaan. Gibran ikut terkejut karena papa dan mamanya bereaksi berlebihan setelah meneguk habis isi gelasnya. Tatapan penuh intimidasi dari papanya dan tatapan yang sulit dipercaya dari mamanya. "Ada apa? Apa yang salah?" tanyanya sambil mengemut capit kepitingnya. Dengan telunjuk yang mengarah pada putranya, wanita itu membelalak dengan bertanya, "Kamu pernah peluk bayi? Bukannya kamu itu anti?" Mariska masih syok. "Dunia bisa berubah, kenapa Gibran tidak? Dulu Gibran anti sama bayi, takut kalau Gibran jatuhin atau bikin badannya patah. Tulangnya bayi masih rapuh." Gibran masih saja fokus dengan kepitingnya. Hamizan yang sempat memejamkan mata dengan tangan kiri yang menegepal di permukaan meja kini perlahan kembali membukaa mata. Tatapannya hanya tertuju di antara mangkuk keramik berisi hidangan. Tanpa menoleh ia bertanya, "Dia punya hubungan apa sama kamu?" "Gibran tidak tahu. Gibran cuma tahunya perasaan Gibran itu selalu bersemangat saat dengar namanya Alif dan bayangan bayi itu di pangkuan Gibran," akunya bersandar sejenak kemudian menatap kedua pahanya seolah ada bayi kecil di pangkuannya. "Apa mungkin bayi itu putranya Gibran? Tapi masa iya Gibran menikah diam-diam dan punya anak tanpa memberitahu kami? Tapi bisa saja jika Gibran merasa keberadaan mereka terancam. Anak ini sulit ditebak jika sudah menyangkut masalah kriminal." Hamizan bertanya dalam hati sambil melirik putranya diam-diam. "Apa Alif itu cucuku?" "Kamu mencurigakan deh Gib!" ujar Mariska memicing curiga. "Papa setuju Ma. Jawaban Gibran itu sangat mencurigakan," sahut Hamizan mendukung pendapat istrinya. "Mencurigakan bagaimana maksud Mama sama Papa?" tanya Gibran dalam hati dan mengisyaratkan lewatkan ekspresi di wajahnya yang mengernyit. "Kamu nggak pernah pacaran sebelumnya. Apa jangan-jangan kamu diam-diam nikah di belakang kami? Awas saja kalau itu terjadi! Mama sendiri yang akan cincang kamu sampai jadi rendang!" ancam Mariska. Gibran terdiam. Kebungkaman Gibran justru membuat kedua orang tuanya semakin panik. Mungkinkah dugaan mereka benar? Gibran menghela napas cukup panjang. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu. "Apa mungkin dulu Gibran kayak dugaan Mama? Apa dulu Gibran pernah singgung soal cewek? Atau soal bayi, anak atau sesuatu yang berhubungan dengan anak kecil? Amnesia ini bisa bikin Gibran gila. Bagaimana kalau dugaan Mama benar?" lirih Gibran membuat Mariska membelalak dan Hamizan tercekat. Ingatan Gibran pasca kecelakaan kedua yang dialaminya membuat semua orang tahu jika dirinya lupa apa yang telah dialaminya. Dokter mengatakan jika Gibran mengalami amnesia. Pertama kali sadar pasca koma, adalah dua bulan setelah jatuh di jurang dengan tubuh luka parah. Beberapa butir peluru bersarang di tubuhnya. Menurut Bara ditembak dari jarak yang cukup dekat. Derdi sendiri mengatakan jika peluru-peluru itu berasal dari jenis senjata yang berbeda. Hamizan masih bertanya-tanya apa yang membuat putranya kabur dari rumah sakit dengan naik ojek ke suatu tempat. Kalau saja Gibran menghentikan taksi, mereka bisa melacak tujuannya. Semua orang mengira jika pelakunya menculik Gibran. Tapi beberapa jam kemudian Gibran kembali ke rumah sakit dengan ambulans. Masih mengenakan pakaian pasiennya dan menjalani operasi yang kesekian kalinya. Gibran kembali mengalami kecelakaan tabrak lari. Kecelakaan yang membuat Gibran kembali koma dan sadar setelah hampir tiga tahun lamanya. Mengejutkan semua orang karena tidak ingat apapun mengenai peristiwa kecelakaan yang dialaminya. Ingatannya berhenti ketika baru saja dipindahtugaskan ke Makassar. Masa enam bulan bulan sebelum kecelakaan pertama yang dialaminya. Gibran sama sekali tidak ingat dengan kasus yang diusutnya. Jika saja tidak mempelajari berkas dan bukti-bukti yang dikumpulkan sebelumnya, mungkin ia tidak pernah tahu jika dirinya menjadi incaran teroris. Gibran sendiri syok melihat foto-foto kecelakaan yang dialaminya. Bertanya pada tim dokter mengapa dirinya masih bisa hidup dengan tubuh yang sudah remuk. Tapi di balik semua itu, Gibran yakin ada alasan kuat mengapa dirinya bertahan. Jawaban itu adalah Alif. Nama yang kata papanya dan Bara selalu ia sebut dalam alam bawah sadarnya. Ketika salah satu rekannya dari kepolisian datang membesuknya bersama keluarga kecilnya, Gibran sadar setelah mendengar suara tangisan bayi. Suara tangisan Anggara, putra dari rekannya di kepolisian yang baru saja dimutasi ke Makassar. Hari di mana Hamizan melihat putranya kembali membuka mata setelah dua tahu lebih terbaring di rumah sakit. Dalam keadaan setengah sadar Gibran mengulurkan tangan entah pada siapa dengan menggumamkan nama Alif. Nama yang selalu menjadi tanda tanya besar. Siapa Alif? Apa hubungannya dengan Gibran? "Papa mau Alif segera ditemukan. Kalau dia benar anak kandung kamu, jangan harap kamu masih bisa pakai seragam kamu Gib! Papa bisa buat kamu dengan suka rela melepaskannya," ancam Hamizan dan membuat Gibran sampai berhenti mengunyah. *** Derdi rasanya ingin berteriak saat ini. Gibran tidak membalas pesannya. Pesan itu hanya dibaca dan tidak dibalas sama sekali. Ajudannya pun hanya bisa tertunduk ketika ditatap tajam. Gara-gara ajudannya itu terlambat beberapa menit ke ruangan Gibran, laki-laki itu sudah menghilang. "Di mana ketua tim kalian?" tanya salah seorang kasat yang datang bersama Derdi. "Sudah pulang Komandan," jawab keduanya kompak. "Pulang? Laporannya bahkan belum sampai ke mejaku. Apa dia terluka?" tanya kasatreskrim itu sembari memijat pelipisnya. "Tidak Komandan, ketua tim bilang dia sendiri yang akan menyerahkan laporan hari ini beserta laporan khusus kasus lain. Laporan yang katanya akan membuat Anda... takjub," tutur Bripka Kamil. "Dia berhasil mendikte kalian berdua. Segera obati luka kalian dan pulanglah. Tenanglah," ujar Derdi menoleh pada salah satu sahabat sekaligus rekan yang juga merupakan bawahannya. "Gibran tidak akan berbohong soal pekerjaan, Bram. Anak itu kabur sebelum kita bertanya banyak hal. Kita berdua yang salah karena terlalu lama menghadiri rapat di kantor polda. Ini memang sudah lewat jam pulang kantor." "Tapi ini tidak biasanya, keponakanmu itu bahkan terkadang menginap di kantor. Numpang tidur di dalam sel tahanan. Sekarang dia pulang sebelum sore? Ini jelas mengejutkan. Bripka Kamil benar, aku dibuat takjub," bisik Bram. Menjadi kasatreskrim polrestabes kota ini membuat Bram semakin sering sakit kepala sejak Gibran kembali bertugas. Ada saja kasus yang terjadi setiap hari. Namun di satu sisi ia merasa senang, sejak keponakan Derdi itu kembali bertugas, kasus-kasus berat banyak yang cepat terselesaikan. Ketua tim lain satreskrim jadi semakin bersemangat bekerja. "Ali, apa kau tahu sesuatu? Iya, pasti." Derdi memicing curiga karena melihat salah satu anggota tim serigala yang dipimpin Gibran itu berusaha menahan tawa. "Meskipun tahu, dia tidak akan buka mulut kecuali Gibran mengizinkan. Padahal kita ini atasannya," sindir Bram menghela napas berat. "Maaf Komandan, Iptu Gibran mengatakan, gegabah dan takut hanya akan membuat celah untuk pelakunya bermain dengan tim kami dan mengacaukan hasil penyelidikan. Iptu Gibran sendiri yang bersedia menulis laporannya karena kami terluka. Kami dan rekan yang lain hanya menjalankan perintah. Dia bilang kalau kami gegabah, hanya akan mengecewakan Anda nantinya," jawab Bripka Ali lugas. Sorot matanya percaya diri dan membuat kedua atasannya mengangguk. "Kalau begitu, hubungi dia sekarang. Jangan bicara apapun. Langsung matikan saja telponnya setelah dering kedua," pinta Derdi mengulas senyum ketika Kamil dan Ali saling lirik. Wakapolres sudah memberi perintah, maka mau tidak mau mereka akhirnya menghubungi Gibran seperti instruksi atasannya. Memutuskan panggilan setelah dering kedua. Tidak sampai semenit panggilan Gibran masuk di ponsel Ali, padahal yang menghubunginya itu Kamil. "Bang Al, Bang Kamil kenapa? Dia lagi di mana? Tadi dia kirim sinyal darurat! GPS-nya masih di kantor. Apa jangan-jangan... orang langit mendesak Bang Kamil buka mulut? Atau kalian dilarang pulang?" tanya suara panik Gibran di sebrang sana dengan berondongan pertanyaannya membuat Bram melongo. "Orang langit? Hem?" Derdi menjawab pertanyaan Gibran dari speaker ponsel Ali. Mereka bisa mendengar suara decak kesal Gibran. "Om kenapa ganggu rekannya Gibran sih?" tanya Gibran menggerutu. "Siapa yang ganggu mereka? Om mau bicara sama kamu. Laporan kasusnya mana? Orang langit sudah menangih," balas Derdi. "Oh, menagih... Gibran pikir mereka menangis? Ternyata belum. Sorry deh.... Gibran pulang cepat karena mama bikin ulah Om. Mau jodohin Gibran dan sebelum itu terjadi, ya Gibran harus bertindak lebih dulu. Gibran lagi sibuk nih ngetik laporan. Bosnya Gibran tadi ikut sama Om ke Polda kan? Makanya Gibran pulang lebih awal. Lagipula tugas timnya Gibran sudah selesai. Laporannya juga sudah mau Gibran kirim di email orang langitnya polrestabes. Saran Gibran, Om bacanya pelan-pelan, duduk dan sediakan CCB. Gibran tidak akan kirim laporannya sebelum malam hari kalau anggota tim Gibran dipersulit. Biar Om sama orang langit lainnya penasaran tidak bisa tidur," ancam Gibran balik. "Mereka sudah mau pulang. Ketemu mereka, tapi tidak lihat kamu. Makanya om tanya mereka. Om cuma hawatir kamu ketiduran di sel tahanan cuma untuk menghindari orang langit." Derdi kembali membalas dengan harapan keponakannya itu segera mengirim laporan itu. "Om bilang saja kalau tidak sabar ingin baca laporan kasusnya." Gibran kembali membuat kesal Derdi. "Malam ini kita bicarakan sisanya. Buruan kamu selesaikan laporannya," tukas Derdi. "Sudah, Gibran sudah selesai mengetik. Tapi masih dicek ulang. Jangan sampai ada yang terlewat. Timnya Gibran dapat libur berapa hari?" Gibran sedang memulai penawarannya. "Tergantung laporan hasil penyelidikan," balas Derdi. "Ok. Bang Ali! Selamat tidur dengan nyenyak, jangan lupa temani istri belanja. Gibran yakin kita dapat jatah libur lebih dari dua hari. Bang Kamil, ke Klinik Mariska Bang, Gibran mau ke sana juga malam ini. Itu lengan yang luka harus difisioterapi dulu," saran Gibran. Panggilan itu diakhiri sepihak oleh Derdi. Jika terus bicara, Gibran tidak akan menyelesaikan laporannya. Bram hanya geleng-geleng kepala menatap Kamil dan Ali yang hanya diam. Gibran yang sekarang sangat berbeda dengan Gibran yang dulu. Jiwanya seolah tertukar dengan jiwa orang lain setelah dia kembali bertugas. "Siapa orang langit?" tanya Bram mengernyit. "Orang langit itu samaran untuk istilah 'atasan' versi Gibran." Derdi mengulum senyum, sama seperti yang lainnya. Hanya Bram yang melongo ketika Derdi menunjuk papan struktural yang terpasang. Ternyata selama ini dialah salah satu orang langit yang disebut Gibran menyebalkan. Ia sering setuju dengan rencana Gibran. Tapi kembali lagi, keputusan dari para atasan tidak bisa dibantah, kecuali seseorang itu siap menanggung resiko pemecatan. "CCB?" Bram teringat jika Gibran menyarankan jika mereka butuh CCB saat membaca laporannya nanti. "CCB itu obat tekanan darah tinggi," ujar Derdi tertawa dan Bram mencebik. "Tapi... tadi Iptu Gibran bilang, 'Gibran pikir mereka menangis, ternyata belum' apa akan ada masalah baru?" Ucapan ajudan Derdi membuat langkah kaki kedua petinggi polrestabes itu terhenti. Keduanya saling tatap penuh tanya sampai sebuah pesan masuk di ponsel mereka dan membuat mereka syok. Gibran tidak sedang bercanda dengan ucapannya tadi. Begitu juga rekannya yang mengatakan akan mengirim laporan lainnya. Gibran bukan hanya mengirim satu file laporan, melainkan beberapa. Namun yang paling mengejutkan bukanlah laporan kasus terakhir yang ditangani tim serigala, melainkan kasus sebelumnya. *** -------------- Calcium Channel Blocker (CCB). CCB bekerja dengan cara menghambat jalan masuk kalsium ke dalam otot jantung dan dinding pembuluh darah, sehingga membuat sel-sel jantung dan pembuluh darah otot mengendur dan rileks. Efek ini membuat tekanan darah menurun. --------------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN