Gibran memarkir mobilnya di depan jejeran ruko kosong sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dilirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.11 WITA. Ia pun kembali menyandarkan kepalanya dengan menghela napas yang terdengar berat. Dalam lubuk hatinya kembali menyisipkan harapan agar pencariannya segera berakhir.
Sekolah TK di depannya itu adalah sekolah TK terakhir dalam daftar pencariannya di Kota Makassar. Ada sepenggal pemikiran Aina akan kembali ke kota ini dan menyekolahkan Alif seperti ucapan Nura dulu. Bodohnya ia tidak tahu nama sekolah TK yang dulu disebut Nura. Entahlah, hanya pikirannya saja namun bodohnya ia mempercayai hal bodoh itu.
Setelah menyebrang jalan yang tidak begitu padat lalu lintas, Gibran menghampiri pos satpam dan bertanya letak kantor kepala sekolah. Satpam itupun menunjuk ke arah sebuah pintu di seberang lapangan. Sekitar setengah jam kemudian Gibran kembali keluar dari sana dengan wajah murung. Langkahnya terhenti ketika pandangannya tertuju pada dua bocah kecil yang berjalan beriringan ingin ke toilet.
“Alif pasti sudah sebesar mereka berdua. Ke mana lagi aku harus mencari? Aku sudah menyewa banyak detektif di seluruh Indonesia. Ini adalah TK terakhir dalam daftar yang sudah aku kunjungi. Apa mungkin mereka hidup di pedalaman atau ke luar negri dengan jalur ilegal? Bagaimana jika dugaan Fikri benar? Aku tidak ingin kehilangan mereka berdua,” batin Gibran mulai berkecamuk.
“Anda butuh bantuan Tuan?” tanya seorang wanita yang menurut Gibran adalah petugas kebersihan sekolah itu dengan melihat seragam yang dikenakannya.
“Saya sedang mencari seseorang. Apa ibu pernah melihatnya?” tanya Gibran menunjukkan foto dari sakunya. Foto seorang gadis yang sedang duduk memangku seorang bayi laki-laki.
“Cantik. Apa dia istri dan anak Anda?” tanya wanita itu dengan pandangan yang tidak lepas dari foto yang dipegang Gibran. Gibran sendiri tertawa mendengar kalimat yang sudah seringkali didengarnya itu ketika memperlihatkan foto itu pada orang asing. Sayangnya, wanita itu belum pernah melihat Aina sebelumnya.
Gibran kembali melaju dengan kendaraannya. Tujuannya sekarang adalah rumah Fikri. Ia ingin menemui Anggara, bocah kecil berusia dua tahun lebih yang sudah berhasil membuatnya sadar dari koma dengan suara tangisannya. Tangisan yang ia kira tangisan Alif. Tangisan yang dirindukannya ketika datang ke rumah Ekadanta dan Nura. Tangisan yang akan terhenti ketika ia menggendong Alif dan membalas ucapan bayi kecil itu seperti bahasa planetnya yang tidak ada siapapun yang mengerti.
“Sudah empat tahun lebih mereka menghilang dan aku tidak tahu mereka di mana. Teroris itu juga diam-diam mengawasiku dan mencari tahu di mana Aina. Aku yakin mereka berdua masih hidup. Tapi di mana? Bagaimana mereka bertahan? Mengapa Aina tidak menghubungiku? Rahasia apa yang teroris itu maksud? Apa yang disembunyikan Aina sampai mereka masih mengincarnya?” Gibran terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Ponselnya bergetar dan ada nama salah satu sahabat adiknya. Berisi pertanyaan benarkah jika Aluna ingin dijodohkan? Gibran mengulas senyum karena selain dirinya, mantan sekaligus sahabat Aluna itu sama protektifnya dengannya kalau sudah menyangkut gadis manja yang suka bikin sakit kepala itu. Setelah membalas pesan, Gibran kembali melajukan mobilnya.
***
Gibran baru saja selesai mandi dan memeriksa ponselnya. Ada banyak panggilan tidak terjawab dari omnya. la hanya mengirim pesan sambil menampilkan emoticon dengan tatapan sinis. Sebelum keinginannya terpenuhi, ia tidak akan berbagi informasi miliknya.
Ponselnya itupun dilempar ke tempat tidur lalu beranjak menggeser rak bukunya. Setelah menginjak patahan kayu di sudut kamarnya, sebuah mind map kasus beberapa tahun lalu itu terpampang di dinding. Beberapa benang berwarna menghubungkan beberapa foto dari guntingan artikel koran dan majalah.
"Apa yang aku lewatkan? Apa yang membuat mereka dibunuh seperti itu? Kematian mereka berdua benar-benar terlihat seperti kecelakaan dan bunuh diri. Satu-satunya orang yang mungkin tahu alasannya adalah Aina. Tapi sampai sekarang aku belum menemukannya. Gadis ini benar pandai bersembunyi. Tentu saja, dia gadis yang pintar. Dia tidak akan mengambil resiko yang akan membahayakan keponakannya. Kalau saja hari itu aku tidak membuat kesalahan, saat ini mereka bisa hidup tanpa bersembunyi. Aku butuh signal darimu Aina,” bisik batin Gibran beranjak merogoh saku jaketnya. Berniat memasang foto yang baru saja berhasil ia pulihkan.
Mata Gibran membelalak karena tidak menemukan foto yang dicarinya. Ia kembali berusaha mengingat saat terakhir kali memegang foto itu. Dirinya sangat yakin dia memasukkan kembali foto itu dalam saku jaketnya sebelum turun dari mobilnya waktu itu. Jaket ini terakhir dipakainya beberapa hari yang lalu sepulang dari pulau. Digesernya kembali rak bukunya dan berlari turun ke halaman tempat ia memarkir mobilnya.
"Ada apa dengannya Pa? Seperti baru saja meninggalkan barang berharganya di dalam mobil?” tanya Mariska.
Hamizan terkekeh karena istrinya belum juga berbaikan dengan Gibran karena sore tadi sempat menyinggung nama seorang gadis. "Ini bukan pertama kali Gibran seperti itu. Biarkan saja. Sinetron kesukaan Mama sudah mau tayang, nanti Mama kesal kalau tidak lihat tayangan dari cuplikan episode sebelumnya,” ujar sang suami.
"Ma! Pa! Lihat selembar foto cewek sama bayi tidak?!” teriak Gibran yang muncul dari teras samping dan mengundang kernyitan di dahi Hamizan. “Gibran pasti menjatuhkannya di sekitar sini.”
“Yakin? Mungkin jatuhnya di kantor," ujar papanya dengan santai. Putranya datang disaat yang tidak tepat. Terganggu sudah rencananya bermesraan dengan sang istri.
“Tidak Pa, waktu pulang dari pulau kemarin tuh Gibran masih pegang sebelum turun dari mobil. Gibran taruh di saku jaketnya Gibran. Jaket itu Gibran lepas waktu datang kan? Ingat kan Ma?” Mariska mengangguk karena waktu itu ia memang melihat putranya mengenakan jaket hitam itu.
“Sudah cari dengan benar di kamar kamu?” tanya Mariska sambil menaikan kedua kakinya ke sofa saat Gibran menunduk memeriksa kolong sofa yang didudukinya.
“Maaf ya Ma,” ucap Gibran sambil menggeser sofa tempat mamanya duduk tanpa memintanya berpindah.
Gibran tahu benar fokus mamanya saat ini adalah sinetron kesukaannya. Setelah memeriksa kolong meja, kolong sofa, lembar majalah, koran, dan menghamburkan bantal sopa, Gibran terdiam. Kedua orang tuanya melirik anaknya yang sedang menahan kesal dengan memegang kepalanya. Tak lama Gibran kembali keluar ke teras samping. Kemudian Gibran kembali muncul sambil mengacungkan telunjuk.
"Aku duduk di sini lalu memeluk mama, harusnya di sofa ini. Tapi tidak ada, lalu… aku ke dapur buka pintu lebar-lebar biar sejuk. Habis itu… aku lihatin awan bakal hujan apa nggak? Terus… duduk di kursi karena lapar,” ucap Gibran sambil berjalan ke sana kemari sambil menggerakan bahunya seolah-olah melepaskan jaketnya dan menaruhnya di sandaran kursi meja makan.
Gibran sedang mereka ulang kejadian saat ia datang. Duduk sebentar di kursi meja makan sambil merogoh ponselnya dari saku celana. Persis seperti saat ia menghubungi Bara. Meletakkan ponselnya di atas meja dan mengetuk permukaan meja makan. Tidak lama Gibran beranjak ke westafel dan kembali duduk. Kembali mengetuk permukaan meja makan. Tapi kali ini bukan dengan jarinya, melainkan dengan kepalanya.
"Gibran, sudah dicek di kolong sofa depan di kamar kamu belum?” tanya papanya.
"Sudah Pa. Tapi tidak ada. Gibran juga sudah cek di mobil sama di halaman dibantu Jay. Tapi tidak ketemu. Bi... Bi Sukma...” panggil Gibran yang sekali lagi memeriksa kolong meja makan.
“Ya Nak Gibran? Ada apa ya?" tanya Bibi Sukma yang datang bersama Ratna dari arah kamar mereka.
"Bi Sukma sama Ratna lihat foto ukuran 4R di sekitar sini tidak? Gibran yakin menjatuhkannya di dalam rumah. Waktu Bibi beres-beres setelah makan siang, mungkin Bibi lihat ada kertas di lantai? Tolong diingat-ingat Bi, tolong. Foto itu sangat berharga,” ungkap Gibran dengan raut wajah panik yang membuat Ratna melongo. Gadis itu untuk pertama kalinya melihat Gibran seperti itu sejak tinggal di rumah ini.
"Maaf Kak Gibran, waktu Ratna membersihkan lantai, tidak melihat apapun. Tiap hari kan Ratna yang bersih-bersih lantai. Ratna cuma dapat kancing baju sama satu baut kecil, ujung selotip, sama robekan ujung amplop. Seperti biasa Ratna amankan di laci belakang. Tidak ada foto di lantai seperti yang Kak Gibran bilang.
"Memangnya itu foto apa? Kamu sampai panik segitunya?" tanya papanya sambil menyalakan semua lampu di ruangan itu. "Apa itu foto tersangka yang sedang buron?"
"Itu foto yang sangat berharga! Dengan susah payah Gibran pulihkan setelah kecelakaan itu. Aku bisa mati jika tidak menemukannya!” teriak Gibran sambil memukul meja makan dengan berusaha mengendalikan napasnya sesak.
Sebenarnya bukan fotonya, melainkan orang dalam foto itu. Semua orang menjadi terkejut. Mamanya yang syok melihat kondisinya yang kacau karena selembar foto yang hilang itu langsung menonatifkan televisi dan melupakan sinetron kesukaannya.
“Sekarang kamu balik lagi ke kamar. Periksa sekali lagi. Kami berempat yang akan periksa di sini,” bujuk Mariska mengelus punggung tegap putranya. Rasa penasarannya dengan foto itu semakin besar ketika melihat mata Gibran sampai berkaca-kaca. Jelas itu bukan foto biasa.
“Papa jadi penasaran, itu foto siapa yang membuatnya bisa mati jika tidak menemukannya?” ujar Hamizan memandang punggung putranya yang menaiki tangga menuju ke kamarnya. Menyetujui usulan sang mama untuk memeriksa sekali lagi.
“Mungkin nggak sih, Bu… itu foto ceweknya Kak Gibran?” tanya Ratna pada ibunya.
"Hussh! Jangan bicara ngawur!" tegur ibunya.
Ratna mengernyit dan mendongak ke lantai dua tempat kamar Gibran berada. “Ya habisnya ini pertama kalinya Ratna lihat Kak Gibran kayak gitu.”
“Tante juga makin penasaran Ratna. Foto itu harus kita lebih dulu yang nemuin. Ayo buruan dicari!” pinta Mariska.
“Sebenarnya sudah ketemu Tante. Ratna nemu di kolong lemari waktu menyapu kemarin. Tapi Ratna simpan di meja kerjanya Om. Di belakang fotonya ada tulisan ‘To Mr. Hamizan’ ya Ratna pikir itu punya Om,” bisik Ratna yang membuat Hamizan mengusap sayang puncak kepalanya. Sementara Mariska mengacungkan jempol dan meminta mereka pura-pura sibuk mencari ketika suaminya beranjak ke ruang kerjanya.
“Cantik sangat ya Pa,” ujar Mariska menatap sosok gadis yang tersenyum dalam foto itu. Sekilas Mariska tahu jika gadis itu sepertinya memiliki garis keturunan dari timur tengah. Iris matanya coklat seperti warna rambutnya yang dikuncir.
“Mama benar, dia cantik. Bagaimana kalau lihat orangnya langsung ya Ma? Apa jangan-jangan... yang dibilang Ratna benar? Ini kekasihnya Gibran dan masih dicari-cari sampai sekarang. Makanya kandidat yang Mama sodorin tidak digubris. Lihat matanya indah. Seperti yang dibilang Gibran, kriterianya punya tatapan indah,” jelas Hamizan dan senyum istrinya langsung merekah.
“Cowok mana yang bisa move on dari cewek secantik ini,” tambah Ratna yang setuju dengan ungkapan Hamizan tadi.
"Bentar Ratna, pinjam ponsel kamu buat jepret nih foto. Jangan sampai Gibran tahu! Kalau dia jadi menantu mama Pa, bisa iri ibu-ibu sekomplek,” ujar Mariska mengembalikan ponsel Ratna setelah memoto foto yang dicari Gibran. Bi Sukma dan Ratna pamit ingin kembali ke kamarnya.
“Mama kenapa tidak minta kirim ke ponselnya Mama saja?” tanya Hamizan melihat istrinya senyum-senyum.
“Jangan Pa, Gibran itu biasa pinjam ponselnya mama. Kalau ketahuan Gibran, anak itu nanti jarang pulang kayak dulu karena kesal sama kita.” Hamizan mengangguk setuju.
"Gibran! Ketemu!" teriak papanya.
Gibran berlari turun dan melangkahi beberapa anak tangga sekaligus dan berlari ke arah mama dan papanya. Tangannya gemetar memegang lembaran foto yang diulurkan papanya. Air matanya menitik di atas lembaran foto itu. Getar lirih hatinya meminta maaf. Tampak jelas ia terguncang karena mengira dirinya kembali melakukan kesalahan. Semua itu tidak luput dari tatapan kedua orang tuanya.
“Mereka menggenggam hatimu?" tanya papanya. Gibran mengangguk dengan mata masih tertuju pada foto Aina dan Alif. Rasa bersalahnya terlalu dalam.
“Gibran ingkar janji sama mereka. Gibran mulai mengingat mereka dalam ingatan yang kusut ini. Intinya, aku sudah membuat mereka berdua menderita. Kesalahanku terlalu besar, setidaknya Gibran harus meminta maaf langsung pada mereka berdua," ucapnya kembali mengusap tetesan yang jatuh di pipinya.
“Kalau boleh mama tahu, ini namanya siapa?" tanya mamanya sambil menunjuk foto gadis cantik di dalam foto.
“Aina. Namanya Aina, Ma.” jawab Gibran.
Mariska memilih diam mengamati putranya. Ia sadar bukan saat yang tepat untuk mencari tahu lebih jauh. Ia akan minta adiknya untuk mencari tahu sosok dalam foto itu. Mungkin saja berhubungan dengan kasus kecelakaan Gibran beberapa tahun lalu. Bagaimanapun ia tidak ingin jika putranya terus merasa pusing dan tersiksa karena mencaritahu masa lalunya saat mengalami kecelakaan. Seperti yang dikatakan putranya, walaupun hasilnya nanti tidak menyenangkan, setidaknya Gibran tidak akan menyesali apapun. Tapi sebagai ibu, tentu dirinya ingin semua baik-baik saja, terutama kondisi putranya.
***
"Halo, di sini Anda terhubung dengan Gibran. Silahkan bicara!" ucap Gibran masih dengan mata terpejam berbaring di bangku panjang dekat ruang tahanan. Tangan dan kakinya diregangkan, ponselnya masih di telinga kanan diapit oleh lengannya.
"Ini om, kau di mana? Cepat datang ke kantor!” tanya suara yang tidak lagi asing baginya.
"Aku sudah di kantor. Ada apa?" tanyanya sembari melenguh.
"Kau tidak pulang? Uhuk... uhuk...." tanya Derdi terbatuk.
“Ada apa? Mengapa menggangguku subuh-subuh begini? Aku baru saja akan tidur," jawabnya mengiba.
"Subuh? Ini sudah pukul 10.05 Gib!” tegur Derdi.
"Benarkah?" tanyanya seolah tidak percaya.
Di sebrang sana Derdi memijat kepalanya meninggalkan ruang pengamatan. "Pelakunya menyerahkan diri. Sekarang dia ada di ruang interogasi."
"Pelaku apa Om? Pelaku kasus apa dulu? Kasus di mejanya Gibran itu tidak ada habisnya,” jawabnya seolah sedang curhat.
“Pelaku kasus kriminal, apalagi? Kau pikir pelaku drama? Setelah itu temui om. Ada hal penting yang mau om bicarakan. Mama kamu kasih om sebuah foto yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Kamu suka janda satu anak?” tanya Derdi terkekeh.
“Kasus yang mana? Gibran itu punya banyak kasus yang diusut." Gibran kembali melenguh karena masih merasa mengantuk.
“Tangki narkoba.”
Bruukkk!!
"Apaaaa?!! Auugh! Sshhh...."
"Kau baik-baik saja? Om sama terkejutnya denganmu. Satu hal lagi, dia ingin bicara dengan petugas yang menyita tangki miliknya. Itu kau bukan? Dia berbahaya, berhati-hatilah!” Derdi mengingatkan Gibran karena tidak ingin keponakannya itu terpancing.
Gibran dengan mata yang sudah membelalak kembali bertanya, "Dia mengatakan alasannya menyerahkan diri?"
Derdi mendesah memijat kepalanya. “Tidak. Sejak tadi dia hanya menjawab pertanyaan petugas dengan kata ya dan tidak. Ini menarik, bukan?”
“Aku akan ke sana sekarang. Gibran juga sepertinya dicari sama orang langitnya Gibran,” ujar Gibran yang melihat pesan dari salah satu rekannya. Atasannya Bram sedang mencari keberadaannya.
Sementara di ruang interogasi, pelaku yang menyerahkan diri duduk santai bersandar di kursi sambil memainkan jarinya di atas meja dalam kondisi terborgol. Sudah hampir sejam sejak petugas sebelumnya keluar. la mulai melepas kancing kerahnya dan kembali bersandar. Pintu ruangan tidak kunjung terbuka. Sudah beberapa kali kakinya dinaikturunkan di atas meja tapi orang yang hendak ditemuinya belum juga muncul.
***