Gibran yang berada di balik kaca hanya tersenyum memperhatikannya. Dua petugas polisi berpangkat brigadir hanya saling memberi isyarat dan lirikan satu sama lain. Sejujurnya keduanya merasa tegang karena sejak tadi Gibran masuk hanya berdiri diam mengamati pria dalam ruang interogasi itu.
“Tunggu lima menit lagi. Sebentar lagi pria itu akan memukul meja dan berteriak. Saat aku menyebut deretan angka nanti, pastikan menyorot wajahnya. Aku butuh pergerakan mimik wajahnya,” pinta Gibran sambil melirik jam tangannya. Kemudian merogoh sakunya dan mendesah kesal karena sakunya kosong. “Kalian punya koin? Pecahan berapapun tidak masalah.”
Salah satu dari mereka merogoh saku dan menyodorkan sebuah koin pecahan seratus rupiah pada Gibran. Saat Gibran memegang koin itu, pria dalam ruang introgasi itupun memukul meja dengan keras dan berteriak tidak haruan. Saking kesalnya ia sampai berdiri sambil mendorong meja dengan kakinya. Gibran tertawa dan beranjak berpindah ke ruangan itu. Kedua petugas tadi tertegun melihat ucapan Gibran baru saja terjadi.
"Prediksinya akurat,” bisik petugas bagian kontrol audio.
"Dia tidak pernah main-main saat melakukan proses interogasi. Setiap kali keluar dari ruang interogasi, dia pasti mendapatkan sesuatu,” balas petugas bagian kontrol monitor.
"Kau sudah lama mengenalnya?" tanya rekannya lagi. Ia memang petugas yang baru saja dipindahkan ke kantor polrestabes.
Rekannya mengangguk antusias. "Dia dijuluki serigala pemburu. Setiap kali mendengar kasus narkoba, radarnya langsung bekerja. Seakan dia punya antena khusus. Tidak ada yang bekerja lebih cepat darinya terkait penggerebekan kasus kriminal yang berhubungan dengan narkoba. Empat tahun lalu dia nyaris tewas dengan mobil yang terjun ke jurang. Kabar beredar ia berobat ke luar negri selama beberapa tahun. Dia beruntung bisa selamat.”
“Serigala pemburu? Bukankah....”
“Dugaanmu benar, dia petugas polisi yang sadar dari koma setelah hampir tiga tahun. Tidak banyak yang tahu kalau kecelakaan itu yang membuatnya koma. Kuat dugaan dia sedang mengejar sindikat narkoba yang terkait jaringan teroris. Tapi sejak menyelidiki kasus itu, dia jadi target pelenyapan. Dia nyaris tewas jika saja tidak berhasil keluar dari mobil yang meledak," jelasnya pada rekan di sampingnya.
"Wah... pantas saja dia tak mengenal takut." Pria itu bergidik sendiri.
Sembari menggeser kursinya lebih dekat, pria itu berbisik, "Gosip yang aku tahu dari anggota timnya, dulu dia dingin dan sangat kaku. Jauh berbeda dengan kepribadiannya yang sekarang. Bripka Ali yang bilang."
“Itu benar, sekarang kalian fokus,” ucap Bram yang baru saja masuk dan memperhatikan Gibran dan pelaku yang baru saja menyerahkan diri. Dari tempatnya sekarang ia melihat pelakunya mengedarkan pandangan ke arahnya. Walau demikian pelaku maupun Gibran tidak bisa melihat ke dalam ruang pengamatan.
Keduanya pun mengangguk lalu kembali fokus saat melihat Gibran memasuki ruang introgasi. la memperbaiki meja dan kursi yang terbalik setelah pria yang menyerahkan diri itu mengamuk. Gibran dengan sopan mempersilahkannya duduk kembali, lalu beranjak membuka borgol di tangan tersangka. Pria bertubuh tambun itu sedikit heran ketika borgolnya dilepas.
“Maaf membuatmu menunggu, atasanku pagi ini ceramah terlalu lama. Kemarin aku membuat kesalahan dan harus mendengarkan nasihat darinya dulu.” Gibran berujar santai seolah bertemu teman lama.
"Kau pikir aku akan percaya?" Pria di hadapannya menggeleng dan tersenyum licik.
"Harus," jawab Gibran bersandar di kursinya dengan mata terpejam.
"Kau datang terlambat, mengapa tidak memulai interogasinya?" tanya pria itu mendekat sambil meletakkan kedua lengannya di meja. Sambil terus memijat kedua pergelangan tangannya. Gibran masih diam saja. Bergeming mencoba mendengarkan irama napas pria di hadapannya.
"Pak Iptu Gibran Akhtar Hamizan, aku sedang bicara denganmu,” ucap pria itu mengetuk meja.
“Aku mendengarkan, maka bicaralah!” Gibran dengan tenang mempersilahkannya.
Pria itu memukul permukaan meja dan berbisik, “Kau mencoba mempermainkanku?”
"Ck! Kau yang datang menyerahkan diri, maka bicaralah! Katakan yang ingin kau sampaikan! Jangan mencoba bermain-main denganku setelah membuat rekanku tadi kesal karena kau hanya menjawab ya dan tidak saja,” ucap Gibran yang langsung mendekatkan kepalanya sehingga mata keduanya hanya berjarak satu kepalan tangan. Pria itu tertegun menahan napas dan menelan ludah hingga Gibran menepuk pundaknya lalu mendorong pria itu kembali duduk di kursinya.
"Harusnya aku membuatmu senang dengan datang ke tempat ini bukan?” Pria itu merasa memberi hadiah namun sayangnya Gibran tidak merasa demikian.
“Terima kasih atas niat baikmu, tapi aku lebih senang berburu,” ujar Gibran menggedikkan bahu cuek dan bisa melihat rahang pria itu mengetat. Kesal sudah pasti.
Pria itu mengusap rahangnya dan berucap, “Kabar di lapangan beredar kalau kau begitu sombong. Aku rasa mereka benar."
"Aku tersanjung. Sampaikan ucapan terima kasihku atas perhatian mereka. Jangan lupa katakan lantai dingin dan dinding jeruji merindukan mereka,” ucap Gibran menanggapi dan membuat pria itu mendengus kesal. Sementara di balik kaca Bram tersenyum mendengar ucapan Gibran. Keponakan sahabatnya itu benar-benar pandai membuat orang kesal.
"Tapi Pak Gibran, mengapa kau tidak menyiapkan laptop atau alat perekam? Tidakkah kau terlalu percaya diri?" sindirnya.
Sudut bibir Gibran berkedut dan kali ini ia kembali memejamkan mata dan bertanya, “Mengapa? Kau begitu ingin eksis di tempat ini? Ini pertama kalinya kau datang ke tempat ini? Biar kuberitahu, lampu di atasmu punya alat perekam audio. Dinding ruangan yang sempit ini juga punya mata yang merekam segala tingkahmu. Harusnya tadi kau tidak menendang meja dan mengamuk seperti itu. Kini daftar kesalahanmu sudah bertambah, Tuan Daren.”
Daren, pria paruh baya itu pun tertawa terbahak-bahak karena tidak menyangka Gibran sudah tahu namanya. Tepatnya nama aslinya. Padahal ini pertama kali dirinya kembali ke kota ini sejak 20 tahun yang lalu. la memperbaiki tatanan rambutnya dan menyisirnya menggunakan jari kirinya.
"Bagaimana kau tahu nama asliku? Aku bahkan tidak mengatakannya pada petugas sebelumnya,” bisiknya dengan suara panik.
“Tuan Daren, Darwis Renaldi. Usia 47 tahun, lajang, tempat tanggal lahir sebenarnya Sorong, 5 Februari. Pernah terlibat kasus pelecehan dan kasus kurir sabu. Menderita diabetes dan migran. Harus aku sebutkan yang lain lagi?” tanya Gibran. Daren kembali diam menelan ludah.
Gibran membuka mata dan menatapnya tenang namun dalam. “Sekarang, katakan apa alasanmu menyerahkan diri? Tenang saja, aku bukan zombie seperti film terakhir yang kau tonton. Aku tidak suka menggigit orang, jadi tenang saja.”
"Alasan?" tanyanya sambil kembali tertawa terbahak-bahak dan mencoba menutupi ketegangannya. "Aku ingin menebus kesalahanku. Aku tertipu dengan mempekerjakan pegawai baru yang mencuri mobil trukku. Lalu dia memodifikasinya menjadi tangki minyak berisi obat-obat itu. Di sini aku juga korban! Aku datang melaporkannya, tapi kalian malah menjadikanku sebagai tersangka yang menyerahkan diri. Sekarang hidupku sudah normal dengan berbisnis distribusi minyak dan bahan bakar ke pelosok. Tapi pria itu malah mencuri trukku. Aku dipanggil mengambil kembali truk milikku."
“Aku yang sengaja meminta agar kau dipanggil untuk mengambil kendaraanmu. Menjemputmu akan mengeluarkan uang jutaan. Aku juga tidak akan punya waktu istirahat kalau harus menjemputmu. Anggap saja ucapanmu benar, lalu siapa yang memaksamu mengambilnya?" tanya Gibran dengan sebelah alisnya yang menukik. Daren menggeleng tapi Gibran malah tersenyum.
Gibran mencoba mengubaah posisi duduknya agar lebih nyaman sembari mengatakan, "Truk itu disita sebagai barang bukti. Kau tidak bisa mengambilnya begitu saja. Jelas ada orang yang memaksamu datang ke sini. Kau mungkin sudah menganggap dirimu sebagi veteran. Tapi jangan lupa, kantor ini juga punya orang langit yang lebih veteran darimu. Bukan hanya satu, tapi dua, tiga, empat, lima bahkan belasan.”
Kedua petugas di depan Bram langsung bereaksi dan melakukan istruksi Gibran tadi. Membuat pria itu mengulas senyum karena keduanya cepat tanggap. Senyum itu semakin lebar ketika mendengar kalimat berikutnya dan raut wajah pria itu.
“Aku rugi milyaran! Aku harus membayar banyak hal.... Tolong bebaskan aku dan kembalikan truk tangki milikku,” ungkapnya setengah memohon dengan lirih. "Kau tidak akan berhasil, perbuatanmu ini sia-sia saja. Bukan aku pelakunya.”
"Aku tahu. Aku juga ingin tahu betapa pentingnya perananmu dalam kasus ini. Kau sengaja terlibat, dilibatkan ataukah… dijebak? Aku sedang menyelidikinya, jadi tolong kerja samanya, Tuan Darwis Renaldi,” bisik Gibran yang membuat Bram tertawa.
"Kau polisi sinting!" teriak Daren.
"Jangan berteriak, jangan melantur... katakan tujuanmu datang kemari!" bisik Gibran seperti sedang berbicara dengan seorang bocah. Dalam hatinya la mulai senang melihat bola mata Daren yang tidak tenang dan napasnya mulai tidak stabil. "Bagaimana kau membeli truk baru itu? Kau membelinya dengan cash bukan?"
"Mengapa kau ingin tahu? Ha??" Daren menggeram kesal.
"Kau memintaku memulai introgasinya. Kau lupa?" tanya Gibran menyatukan kedua tangannya di meja sambil berbisik, “Aku datang terlambat dan baru saja bangun. Kesadaranku baru pulih sepenuhnya. Bisa kita mulai proses introgasinya? Aku punya banyak sekali pertanyaan untukmu.”
“Pak Polisi, kau mulai membual? Kau ingin bercanda?” Daren kembali memukul meja.
“Mau aku katakan alasanmu datang menyerahkan diri? Kau lupa? Tadi aku bilang tahu film terakhir yang kau tonton. Aku sudah membuntutimu sejak sebulan lalu. Alasan itu juga aku tidak menjemputmu dan mengarahkan kau sendiri yang datang kemari. Kau pikir aku tidak tahu apa yang membuatmu terpaksa datang ke sini? Aku berburu dengan caraku sendiri. Aku ingatkan peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu kau mencoba menembak seorang petugas polisi yang sedang mengejarmu di hutan Kalimantan. Saat itu kau menyelendupkan dua karung ganjah yang belum kering. Dia adalah orang langit kantor ini," tutur Gibran terdengar lembut sekaligus menyebalkan.
“Siapa yang dimaksud Gibran?” tanya Bram yang dijawab kedua bripda itu dengan gelengan kepala.
Daren mendengus kesal dan berkilah. “Aku tidak melakukan kesalahan, waktu itu aku hanya kurir.”
“Sama seperti sekarang. Kau kembali menjadi kurir. Sayangnya kau lebih bodoh. Alasanmu melakukan hal ini untuk mendapatkan truk lain milikmu. Bukan satu truk, tapi tiga truk. Apa… aku benar?” Gibran menahan tawa dengan beredehem pelan yang kembali membuat Daren bersandar di kursinya. Bergeming.
“Jika kau datang melaporkan kehilangan truk dan mengidentifikasi truk sitaan itu adalah milikmu, kau akan membawanya pulang, mereka akan mengembalikan dua truk lainnya. Itu yang mereka janjikan bukan? Benar begitu bukan, Tuan Daren?” tanya Gibran dan kali ini suaranya terdengar dingin.
"Jadi kau masih mengira itu orang yang sama dengan kelompok yang sudah membuatmu koma?” Daren memperbaiki kembali posisi duduknya.
“Kau pernah bertemu langsung dengan mereka? Sepertinya dugaanku benar.” Gibran meniru posisi duduk Daren yang mendengus kesal.
“Jangan mengarang Pak Polisi. Jaringan barang seperti itu ada banyak di negara ini. Aku melihat berita tentangmu yang begitu gigih ingin menangkap mereka," kata Daren yang menoleh ke arah lain.
"Pertanyaan berikutnya. Kapan Katak Hitam pertama dan terakhir kali menghubungimu? Wajahmu langsung memberitahuku kalau dia menghubungimu. Kau tidak bisa menyangkalnya lagi. Kakimu sampai bergetar. Wah… aku lupa membawa tissue, seka keringat di wajahmu. Ini bukti yang sangat meyakinkan,” ungkap Gibran mengangkat tangannya seolah sedang diborgol dan menunjukkan pada Daren jika ia tahu tangan pria gemetar dan berusaha menyembunyikannya di bawah meja.
“Siapa Katak Hitam? Aku tak mengenalnya?” sangkalnya.
“Siapa Katak Hitam?” Bram kembali bertanya dan kedua orang yang duduk di depannya dengan fokus pada pekerjaan mereka kembali menggeleng. Satunya fokus dengan earphone di telinganya dan satunya fokus memperhatikan layar monitor cctv.
"Tentu saja kau tidak mengenalnya. Selama ini kau belum pernah bertemu langsung dengannya. Beberapa anak buahnya kadang menghampirimu dan menawarkan kembali bisnis itu. Dia mencuri mayat ibu angkatmu, bukan? Itulah sebabnya kau terpaksa terlibat untuk mendapatkan mayat itu kembali. Kau sudah berniat menguburkannya dengan layak. Tapi mereka mencurinya karena ibu angkatmu adalah salah satu pengguna barang haram yang mereka bisniskan. Pertanyaanku yang belum terjawab sampai saat ini, narkoba jenis apa yang mereka coba sembunyikan sampai penggunanya pun mereka curi walau sudah menjadi mayat? Mereka jelas ingin menghilangkan jejak,” ungkap Gibran yang membuat siapun di antara mereka yang mendengar kini membelalak.
"Jangan salah paham! Aku di sini bukan karena kalian kompeten. Aku yang datang pada kalian! Jangan sok! Kau hanya seorang perwira biasa!” teriak Daren emosional.
"Aku tidak mengada-ada. Aku ingin datang bertanya padu sebulan lalu mengingat kau punya banyak pengalaman di bidang ini. Tapi aku tidak bisa menemuimu karena mendengar kau bolak-balik ke luar negri untuk pengobatannya. Mata-mataku mengatakan ibumu meninggal dua minggu lalu tapi kau tidak mengadakan upacara pemakaman. Apa penyebabnya? Tentu saja… karena mayatnya tidak ada. Semalam sebelum pemakaman itu, mayat ibumu dicuri. Sebagai gantinya, kau harus menyiapkan truk dan melakukan apa yang mereka inginkan. Itulah alasan kau terjebak dan terburu-buru minta diintrogasi.”
“Jangan mengarang!!” teriak Daren lagi.
"Terserah padamu saja. Jawab saja pertanyaanku Tuan Daren. Kapan dia menghubungimu? Apa yang dia katakan?" Gibran tetap tenang dan di balik kaca Bram dan kedua bawahannya itu hanya melongo mendengar fakta yang disebutkan Gibran. Mereka menyadari jika itu bukan kasus penyelundupan biasa.
“Aku tidak tahu dan tidak mengenalnya. Mengapa kau terus mengulang pertanyaan yang sama? Nikmati saja hidupmu dan bekerjalah. Kali ini berapa banyak yang akan terluka jika kau terus mengejar yang tidak bisa kau lihat?” tanya Daren tersenyum puas sambil bersandar di kursinya dan santai.
Daren merasa senang dengan tatapan Gibran yang seakan menusuk matanya. Gibran menghela napas dan menghembuskannya pelan. Dalam beberapa saat tidak ada yang bersuara. Tiba-tiba Gibran berdiri sambil mendorong mundur kursinya, mencoba menahan kekesalannya.
“Introgasinya sudah selesai. Terima kasih atas kerjasama Anda, Tuan Daren yang terhormat,” ucapnya.
Daren menggeleng sembari berucap, “Kau masih saja payah seperti empat tahun lalu. Harusnya kau tidak perlu bangun agar tidak membuat pusing seperti ini.”
"Apa maksudmu?" tanya Gibran memasukkan ponsel ke saku jaketnya setelah mengirim pesan pada seseorang. Dari balik kaca Bram membaca pesan Gibram dan meminta agar perangkat introgasi itu dinonaktifkan. Meskipun masih penasaran ingin mendengar apa yang akan diucapkan perwira yang satu itu, tapi Bram tidak akan membuat rencana Gibran hancur. Gibran sudah memberikan informasi penting dengan menyebutkan benang merah dari kasus tangki narkoba ini. Tangki yang melibatkan Daren untuk sebuah pertukaran.
"Ilmuwan di kantor BPOM itu… dia tewas karena dirimu," ucap Daren dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kau tahu? Katak Hitam yang mengatakannya?" tanya Gibran sedikit terkejut.
"Kau bertahan dengan rasa bersalahmu? kembalikan dulu ingatanmu," cibir Daren menunjukkan seringai liciknya.
"Kau sungguh ingin kubunuh?!” Gibran tidak menggertak karena dengan kaki kanannya ia langsung mendorong sisi meja. Membuat meja dan kursi yang diduduki Daren bergeser mundur hingga ke tembok dan membuat pria dengan rambut klimis itu terperanjat. Belum sempat berdiri dari kursinya, Gibran kembali mendorong dan menahan sisi meja sehingga Daren terjepit. Mereka yang berada ruang pengamatan ikut terkejut. Gibran yang selalu tenang kini menunjukkan taringnya. Bram berlari keluar ruangan. Jangan sampai Gibran gegabah.
“AARRGGGHH!!!!”
“Aku bisa melakukannya tanpa menyentuhmu. Jika dia itu psikopat sialan, aku juga prikopat. Aku akan menyeretnya dan membuatnya berlutut memohon maaf dan setiap detiknya mengemis kata ampun. Sayang sekali, harusnya kau memilih dintregasi oleh petugas lain. Orang mungkin berpikir psikopat tidak berperasaan, tapi aku masih tahu diri untuk berbelas kasih,” ujar Gibran semakin mendorong meja dengan kaki kirinya. Ia yakin perut buncit pria di hadapannya itu akan sangat sakit.
"Ketua Tim, Pak Kasat memanggil Anda," ucap salah satu rekan timnya, Bripda Samuel saat Gibran menarik kaki meja dengan sepatunya. Daren bernapas lega. Kekuatan kedua tangannya kalah dengan kaki kiri Gibran. Nyeri di perutnya sudah pasti akan membekas jadi lebam. Meja itu kembali ke posisinya tanpa Gibran sentuh dengan tangannya.
“Pindahkan dia ke sel," ucap Gibran menyerahkan borgol pada Bripda Samuel. “Kalau Anda mencoba melawan lagi Tuan Daren, Bripka Kamil yang akan membuat tulang tubuh anda remuk. Beberapa kali bertarung dengannya aku kalah poin. Jadi rasa sakit tadi, bukan apa-apa jika dia yang memberikan pelajaran untukmu."
***
“Kita akan tinggal di sini Bunda? Ini rumah kita?” tanya Bizar.
Mata bocah kecil itu berbinar saat Aina membuka pintu rumah setelah membayar sewa pada sang pemilik yang baru saja pamit pulang. Rumah sederhana dengan dua kamar tidur itu sebelumnya dihuni dua mahasiswa. Kini Aina yang mengambil alih kontrakannya.
“Bilang salam dulu,” ujar Aina dan keduanya mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah.
“Bunda, di sini lebih kecil dari rumah yang di sana,” komentarnya.
“Rumah ini memang kecil. Tapi bunda bisa bebas mau ngapain saja sama Bizar. Bizar mau main dan berantakin rumah, bunda tidak akan larang. Bizar juga akan punya kamar sendiri. Bunda sudah pesan banyak barang sama mainan untuk hias kamar Bizar. Sekarang kita makan dulu. Pasti Bizar lapar lagi. Besok kita daftar Bizar ke sekolah seperti janjinya bunda,” ujarnya dan keponakannya berseru riang.
“Bunda, nanti Bizar boleh main keluar tidak?” Bizar bertanya dengan ragu-ragu.
“Bisa dong, tapi bunda temani. Di sini masih asing, kita belum kenal sama tetangga. Nanti sore, kita rumah sebelah, bawa kue sama kenalan sama tetangga.” Bizar mengangguk. Ini kali pertama mereka merasakan hidup berdua seperti ini.
“Bunda akan membuat kehidupan kita kembali normal. Bunda tidak akan takut lagi. Bunda sudah tahu apa yang mereka inginkan. Mereka tidak akan bertindak gegabah. Bunda hanya perlu terus berpura-pura tidak tahu apa-apa agar mereka tidak mengusik kita berdua sampai waktunya tiba,” bisik batin Aina.
“Bunda pikir apa? Kok melamun? Kangen sama orang di panti ya?” tanya Bizar cemberut. “Bizar juga kangen. Bizar juga tidak punya teman lagi.”
“Bizar akan punya banyak teman di sekolah nanti. Di sini juga pasti ada banyak yang mau jadi temannya Bizar. Bizar kan anaknya bunda yang ganteng, yang pinter, yang baik hati dan suka menolong,” puji Aina mencoba menghiburnya.
“Bunda pintar gombal deh,” cicit Bizar.
Aina tertawa mendengar Bizar memujinya juga sambil menaikturunkan alis tebalnya. Keduanya pun beranjak ke dapur dan membuka kotak makan siang yang sudah ia pesan via online. Ketika melihat kardus oven, Bizar bertanya untuk apa?
Sebelumnya Aina memang memesan beberapa barang via online ketika menghubungi pemilik rumah kontrakan sebelumnya. Tidak ingin repot memindahkan banyak barang. Aina pun memberitahunya kalau mulai sekarang ia akan membuat kue di rumah. Bukan lagi di toko dan lembur.
Bizar tentu saja senang karena Aina tidak akan meninggalkannya saat bekerja. Ketika bocah kecil itu mengatakan akan membantunya membuat kue, Aina mengangguk sambil memberi hormat dan mengatakan siap bos. Keduanya kembali tertawa memulai kehidupan baru mereka di kota ini.
***