Kematian
Pagi itu, seperti biasanya, Sukri datang dengan sepiring nasi beserta lauk alakadarnya. Berjalan tanpa alas kaki menuju samping rumahnya. Rumah seorang lelaki tua yang senantiasa hidup sendiri.
Dinaikinya tangga kayu dan mengetuk pelan pintu rapuh di depannya,
"Tok tok tok!"
"Kulo nuwun...!"
Lama tak ada jawaban kembali Sukri berseru,
"Mbaaah! Mbah Darmooo! Mbaaah!"
Sebenarnya yang dikatakan rumah itu hanyalah sebuah gubuk kecil saja dengan ketinggian delapan puluh centi. Bagian bawahnya digunakan sebagai tempat menyimpan ayam-ayam peliharaan, sementara bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal.
Atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia yang dianyam dan ditumpuk beberapa lapisan. Cukup nyaman dan hangat, walaupun tentu tidak akan pernah cukup bagi yang membutuhkan kemewahan.
Sukri dengan gusar menengok kanan dan kiri. Sedari tadi tak ada jawaban yang berarti. Hanya kokok ayam dan jeritan anjing liar saja memenuhi kesunyian. Sementara bunyi tonggeret membuat suasana semakin terasa kesunyiannya.
"Mbaaah! Kulonuwun Mbaah!" serunya sekali lagi sebelum memutuskan turun dan mengedarkan pandangannya sekeliling.
Aneh memang. Seharusnya tak ada alasan untuk pria tua itu tidak mendengar panggilannya. Toh dengan suara sekeras itu dan ukuran rumah yang hanya empat kali enam tak mungkin bagi beliau tidak mendengarnya.
Beberapa kali memindai sekeliling, Sukri tetap tak menemukan jawaban. Harapannya menemukan pria tua itu di kebun kecil belakang rumahnya nihil. Keadaan pohon-pohon itu masih sama saja dari kemarin.
Atau jangan-jangan Mbah Darmo sedang pergi? Sepertinya tidak mungkin. Sejak memutuskan istirahat dari prakteknya, kesehariannya tidak pernah jauh dari rumah. Paling juga hanya sekedar mengurus ayam peliharaannya di kolong rumahnya itu, yang hidup nyaman berdampingan dengan beberapa ekor kambing gembel di sana. Atau paling jauh juga hanya berjemur di halaman. Kemana beliau? Sukri menghela nafas panjang sebelum akhirnya mundur dan menatap berkeliling. Namun nihil saja. Sosok yang dicarinya tetap saja tak ada.
Tak puas atas kedatangannya yang tidak membuahkan hasil, Sukri berkeliling rumah siapa tahu Mbah Darmo sedang ada di kebun belakang. Tapi sepertinya nihil. Tak ada siapapun disini. Bahkan kelihatannya tanaman itu belum tersentuh air seperti kebiasaan laki-laki tua itu kalau pagi, yang langsung menyirami tanaman yang tak seberapa itu.
Dipandanginya sekeliling. Rumah disini memang saling berjauhan. Antar rumah bisa dua puluh hingga lima puluh meter. Dan tak biasanya Mbah Darmo berkunjung ke tetangga. Beliau orang yang sangat tertutup. Tak banyak bicara. Apalagi betah berlama-lama berdekatan dengan orang lain. Tidak! Hanya dengan Sukri lah biasanya lelaki tua itu bercengkerama. Tentang apa saja. Termasuk kebiasannya sewaktu muda dulu.
"Le," ujar Mbah Darmo satu ketika.
"Iyo Mbah."
"Dulu, waktu Mbah masih muda dulu. Mbah akan berkelana dari hutan ke hutan, pantai, atau bahkan gua yang gelap. Dan Mbah paling senang kalau ketemu kuburan angker."
"Kamu tahu buat apa Le?"
Sukri tahu kemana arah pembicaraan lelaki tua itu. Tak terhitung lagi berapa banyak pria tua itu sudah bercerita hal yang sama. Tentang pencarian senjata keramat, tentang mencari khodam pendamping, atau bahkan tentang bertemu orang-orang suci dari jaman dulu. Tapi demi menghargai orang yang telah menolongnya itu, Sukri memutuskan mendengarkan saja dengan takzim. Toh paling hanya beberapa tahun lagi kan?
"Buat apa Mbah?"
Tiba-tiba lelaki tua itu terkekeh,
"Ya buat cari spot yang instagramable to Le? Masak gitu saja ndak tahu? hehehehe..." kekeh lelaki tua itu memamerkan barisan giginya yang panjang kehitaman.
"Gini-gini, Mbah juga dulu seorang YouTubers, hehehehe..."
"Hehehe...Mbah ini lho bisa saja. Hehehehe..."
Sukri garuk-garuk kepala. Memang hanya dengan dirinya sajalah pria tua itu bisa bercanda. Dengan orang lain, ia tak lagi betah berlama-lama.
"Hehehe...ndak, ndak Le. Mbah itu gemar prihatin itu ya buat cari kesaktian Le. Obsesi Mbah itu waktu muda dulu ya jadi orang tersakti, orang terhebat. Gitu lho Le, hehehehe..."
"Kamu tahu to kalau ucapan Mbah ini keramat? manjur?"
"Bahkan beberapa orang menjuluki Mbah ini punya 'idu geni'. Kamu tahu to Le?"
"Nggih Mbah. Saya tahu."
Memang, di kalangan penduduk desa Rawajati dan Rejomukti, Mbah Darmo ini dikenal punya ilmu 'idu geni'. Apapun ucapan buruk dari mulutnya akan mampu membuat si penerima menerima penderitaan. Maka itu, penduduk desa sangat jarang sekali mau mencari masalah dengan pria tua itu. Takut terkena tulah.
"Nanti, kalau Mbah memang ndak ada umur lagi, mau ndak Mbah turunin satu ilmu buat kamu?"
Sukri garuk-garuk kepala. Ia tak terlalu tertarik dengan hal-hal diluar nalar. Tapi ya...sudahlah. Demi menyenangkan hati diiyakannya saja.
"Insyaallah, kalau Mbah ridho, saya mau Mbah. Purun," ujarnya seolah bersemangat, dan ditanggapi senyum terkekeh oleh lelaki tua itu.
Begitulah kesehariannya. Tak banyak berubah. Hanya obrolan tanpa makna terjadi diantara mereka berdua.
Dulunya Mbah Darmo adalah dukun terkenal. Kehidupannya mewah dan serba ada. Namun sikapnya cenderung congkak dan sombong. Kepada orang lain selalu saja merendahkan. Bahkan tak segan-segan berkata kasar untuk menunjukkan kekuasannya.
Namun semua berubah sejak tiga tahun lalu. Tepatnya sejak kepergian istrinya. Istrinya sakit keras dan berujung kepada kematian.
Mbah Darmo sangat terpukul. Berhari-hari tak mau makan dan minum. Matanya selalu saja sembab jika teringat mendiang istrinya. Dan ujung-ujungnya, ia berhenti total melakukan kegiatan perdukunan. Hanya Sukrilah saja yang mau mendampinginya menjalani hari-hari.
Rumah besar dijualnya sudah, dan dipilihlah gubuk ini sebagai tempat istirahatnya di hari tua. Tak lagi ia berambisi pada apapun. Hanya satu yang diinginkannya. Beliau ingin menikmati hari tuanya dengan tenang. Itu saja.
Namun, kendatipun Mbah Darmo sudah berubah, tidak demikian sikap warga padanya. Beliau selalu saja dikucilkan. Warga terlanjur antipati pada beliau. Tak sedikitpun mau berurusan dengan beliau kecuali yang berminat pada dunia hitam. Itupun ditolak karena Mbah Darmo sama sekali tak berminat akan itu. Bahkan untuk lewatpun harus memilih jalan lain biarpun itu harus memutar dan makan jarak lebih jauh.
Hanya Sukri dan istrinya lah yang senantiasa peduli pada nasib pria tua itu. Acapkali dikirimkannya sedikit makanan ataupun cemilan buatan mereka sendiri. Keadaan ekonomi membuatnya tak bisa memberikan yang lebih baik. Tapi Mbah Darmo tetap menerima dengan senang hati.
Selepasnya dari perdukunan, kini Mbah Darmo hanya menyibukkan dengan berkebun kecil-kecilan saja di sekeliling rumahnya. Pohon tomat, cabe dan terong adalah kesukaannya. Pun hasilnya tak pernah dijual. Hanya akan dibagikan pada tetangganya saja. Itupun tetap saja tidak ada yang mau. Mereka selalu saja menaruh curiga dan syak wasangka pada pria tua itu.
Selain itu, beliau juga gemar beternak. Ayam dan kambing adalah kegemarannya.
Hei! Ayam?
Mana ayam-ayam beliau?
Sepertinya ayamnya juga belum dikeluarkan dari kandang. Kemana gerangan beliau?
Jangan-jangan ...
Seketika muncul firasat buruk akan lelaki tua itu.
Dengan rasa penasaran didekatinya jendela kecil di samping rumahnya. Dan seketika matanya terbelalak kaget saat melihat sosok yang dicari ada di dalamnya.
"Astaghfirullah... Mbah! Mbah!" ujarnya berseru keras. Tak dipedulikannya piring berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada lelaki tua itu. Diletakkannya begitu saja di tangga hingga isinya tumpah berhamburan.
"Brakkk!"
Segera didobraknya pintu kayu rumah lelaki tua itu begitu melihat kondisi Mbah Darmo yang tak berdaya. Lelaki tua itu tergolek sekarat. Badan kurusnya meringkuk menggigil di lantai. Dan sesekali terdengar mulutnya mengerang seolah menahan sakit yang teramat berat.
"Sssssss... brrrrrrr..."
"Kriiiiii..."
Cepat diangkatnya tubuh kurus itu dan diletakkan di amben kayu. Ditopangnya kepalanya dengan sebuah bantal keras.
"Mbaaah..."
"Sampeyan kenapa Mbah? Mbah?" ujar Sukri seraya meletakkan kepala lelaki tua itu di pangkuannya. Dibalurkannya minyak angin untuk membuat tubuh tua itu agar lebih hangat. Dipijit-pijitnya tangan dan kaki untuk melegakan otot yang kejang.
Namun lelaki tua itu hanya diam tanpa suara. Nafasnya tersengal-sengal. Sesekali terdengar dengkuran lirih dari mulutnya,
"Mbah! Mbaaah!" Isak Sukri mendapati tubuh itu semakin lemah. Nafas memang sudah tak lagi tersengal, namun tubuh itu masih sangat dingin.
"Kriiii.....Sukriiiii..." ratap Mbah Darmo seraya menatap wajah pria di depannya.
"Iyo Mbah. Sabar nggih Mbah." ujar Sukri berniat mencari bantuan, tapi tak tega meninggalkan pria itu sendirian.
"Buuuuuu! Bueeeeeee!" ujar Sukri keras memanggil istrinya.
"Tolong bikinkan air teh hangat buat Simbah yo!" teriaknya lagi keras agar terdengar. Maklum, rumah mereka terpisah ladang selebar dua puluh meter, sehingga harus bersuara nyaring agar didengar.
"Kriiiii....." ujar lelaki tua itu lagi.
"Iyo Mbah..." ujar Sukri masih dengan isaknya. Ia tahu umur lelaki tua itu takkan lama lagi. Apalagi saat disentuhnya jari jemari yang seolah sudah tak lagi menyatu.
"Sepeninggalku....aku nitip yo..."
"Nitip apa Mbah?" ujar Sukri penasaran, karena setahunya tak ada keluarga atau apapun yang bisa dititipkan.
"Mbah nitiiiiip....."
"Iya Mbah. Nitip opo?"
Lelaki tua itu tak menjawab. Hanya telunjuknya tampak menunjuk satu sudut ruangan.
"Apa Mbah?" ujar Sukri mengikuti dengan sudut matanya.
"Itu....nanti tolong dirawat dan digunakan seperlunya..." ucap lelaki tua itu lagi. Suaranya terdengar semakin melemah.
"Itu apa Mbah?" ujarnya lagi. Tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.
"It...ttuuuh..." ujarnya lemah dengan jari tertunjuk pada pojok ruangan.
Sukri mengikuti dengan pandangannya, namun sesaat jari itu terkulai sebelum Sukri tahu persis titipan apa yang dimaksud. Ucapan Mbah Darmo terputus. Tak lagi sanggup ia meneruskannya. Ajal sudah menjemputnya lebih dulu.
"Mbaah! Mbaaah!" seru Sukri cemas. Dirabanya wajah dan kulit tangan pria tua itu yang berangsur-angsur mulai dingin dan beku.
"Mbaaaaah!" ucapnya keras dengan air mata menetes membanjiri pipinya. Tak lagi dihiraukannya ucapan Mbah Darmo yang terputus. Ia kini dihinggapi perasaan sedih yang luar biasa. Sosok tua yang sudah merawatnya layaknya anak sendiri.
Apa sebenarnya titipan Mbah Darmo?