Pemakaman Yang Gagal

1309 Kata
"Mbaaaah!" jerit Sukri keras menyayat hati, seakan merobek heningnya suasana pedesaan. Memeluk jasad tua yang perlahan mulai mendingin kaku. Ditatapnya lelaki tua yang kini hanya tersisa jasadnya saja. Lelaki yang sudah dianggapnya lebih dari orang tuanya sendiri, yang bahkan tega meninggalkannya sendiri di usia yang masih sangat dini. Sukri hanya seorang anak buangan. Ia dipungut Mbah Darmo yang menemukannya dalam ketakutan, kebingungan dan menangis sedih di pojokan pasar. Hati beliau tersentuh dan memutuskan merawat Sukri kecil menjadi anak angkatnya sendiri. Namun, berbeda dengan orang tua angkatnya yang sombong, kasar dan congkak, Sukri sangat supel dalam bergaul dengan masyarakat. Dia selalu aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan warga. Dan tak jarang pula terlibat dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan Mbah Darmo dan istrinya, sama sekali tidak tersentuh agama. Beliau terlalu sibuk dengan dunia kleniknya. "Tolooong! Tolooong!" teriak Sukri keras membuat para tetangga berkumpul. --- Proses pemakaman Mbah Darmo berlangsung lama. Juga susah. Berkali-kali galian makamnya selalu saja ambruk dan runtuh. Seakan-akan memang bumi tak menginginkannya. Setelah lebih dari lima kali galian, akhirnya dengan terpaksa jasad Mbah Darmo berhasil dikebumikan juga. Namun, baru saja galian selesai diuruk, tiba-tiba turun hujan lebat dengan petir yang menyambar-nyambar dahsyat, "Splash! Clap! Clap!" "Jederrrrrr!" Seketika bumi yang awalnya terang menjadi gelap dan basah. Hujan menjadikan bumi banjir. Tanah di seputaran kuburan menjadi becek dan banjir. Warga banyak berhamburan akibat hujan badai. Hanya tiga orang saja bertahan di sana; Ustad Basori, Pak RT dan Sukri. Tak sopan rasanya jika Sukri ikut kabur juga, karena hanya dialah yang mempunyai hubungan dekat dengan almarhum. "Jderrr!" Petir dan guntur kembali membahana. Langit yang awalnya gelap sontak menjadi terang benderang. Kilatan-kilatan listrik memenuhi cakrawala. "Pak RT, bagaimana ini?" seru Sukri meminta persetujuan. Karena dilihatnya hujan semakin lebat. Tanah kuburan perlahan-lahan turun diseret arus yang semakin deras. "Proses pemakaman belum selesai. Kita harus kembali menguruknya!" seru Pak RT. Beliau khawatir jika makam ditinggal begitu saja, jenazah akan dimakan binatang buas. Terlebih jenazah itu tidak terlalu dalam ditanam. Tak sampai satu meter. Apalagi tanah pekuburan bukanlah tanah keras, hanya serupa pasir saja. Hanya dengan beberapa kerukan saja, pasti mayat akan mudah diseret binatang buas. "Baik Pak!" seru Sukri, kembali mengambil sebatang cangkul dan mulai menguruknya lagi. Perlu beberapa kali urukan diulang sampai sempurna, karena urukan segera longsor begitu arus deras kembali menghantamnya. --- Selang satu jam kemudian, udara perlahan menjadi cerah. Hujan belum berhenti sempurna. Satu dua tetes masih turun membasahi bumi. "Bagaimana Pak Ustad? Apakah sudah aman?" ujar Sukri meminta persetujuan. "Baiklah. Alhamdulillah proses pemakaman sudah selesai. Sekarang sebaiknya kita pulang saja," sahut Ustad Basori membenahi bajunya yang basah kuyup. Dilucutinya kain sarung dan diperas hingga agak kering, lalu disampirkan di pundaknya begitu saja. "Iya Pak. Saya juga sudah dingin. Brrrrrrr..." timpal Pak RT dengan bibir bergetar menahan dingin. "Saya khawatir kalau sampai lebih lama lagi, kita sendiri yang akan mati kedinginan." "Brrrrrrr..." Setelah sepakat, mereka bertiga segera beranjak pergi. Namun, belum juga sepuluh kaki mereka melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara... "Drrrrrt...drrrrrrt..." Tanah tempat mereka melangkah bergetar. "Hah? Apa ini?" Ustad Basori, Sukri dan Pak RT saling pandang. "Ada...ada gempa Pak." "Apa kita langsung pulang saja?" ujar Sukri lagi. Terbersit satu kekhawatiran. "Drrrrt...drrrrt..." Bumi kembali bergocang. Kali ini terasa semakin keras. "Splash! Jgerrrrr!" Satu sambaran kilat mengarah mereka bertiga. "Awassssss!" "Allahu Akbar!" Ketiga orang itu merunduk memeluk bumi. Nasib baik masih berpihak pada mereka. Ketiga orang itu selamat. "Alhamdulillah," Mereka merasa bersyukur. Ketiganya selamat dari amukan guntur yang menyerang. Namun pandangan ketiganya terhenyak saat menengok ke belakang, "Astaghfirullah! Api...api Pak Ustad!" seru Pak RT. Makam Mbah Darmo yang belum juga hitungan jam itu terbakar habis. Api berkobar tinggi menyala-nyala. "Blarrrr!" "Jegerrrrrr!" Petir kembali menyambar. Kobaran semakin tinggi bagaikan disiram minyak tanah. Dan bersamaan dengan satu ledakan keras, tiba-tiba sesuatu berwarna hitam legam terlempar tinggi, lalu melabrak pepohonan tinggi dan berakhir menghantam batu nisan salah satu makam dengan keras, "Wussssshhh!" "Brakkkk!" "Krakkk!" "Ahkhkhkh!" seru Pak RT dan Sukri bersamaan. Ustad Basori segera memburu sosok itu. Sosok hitam gosong yang terlihat melambung tinggi itu. Jatuh berdebuk tak jauh dari makam Mbah Darmo. Ah, jangan-jangan... "Astaghfirullah!" "Ada apa Pak?" Diperhatikannya sesaat, tampak sosok hitam gosong yang tergeletak di tanah lumpur. Sosok mayat berbalut kain yang tak lagi putih. Kobaran api menyisakan gosong dan sedikit nyala api, namun segera padam terkena percikan air dan lumpur. Dan kini, jasad itu tak ubahnya daging gosong saja, dengan kepulan asap di sana-sini nya. Tanpa ragu Ustad Basori segera menyambut jasad itu. Dihilangkan segala keraguan. Yang ada dalam hatinya adalah rasa kasihan saja. Dienyahkan segala prasangka buruk terhadap jenazah itu. "Tulang kerangkanya patah..." ucapnya seraya meraba punggungnya. "Tengkoraknya pecah..." "Astaghfirullah!" seru dua rekannya. "Mungkin inilah balasannya akibat perbuatannya dulu Pak Ustad," ujar Pak RT mendekat. "Makanya, hidup jadi dukun sih. Jadi begini kan akibatnya?" "Nah, lihat itu Sukri! Kamu jangan coba-coba mengikuti jejak orang tua kamu ya!" lanjutnya. "Menyusahkan saja!" gerutunya lagi. Memang, semua tahu bahwa semasa mudanya dulu, Mbah Darmo adalah seorang dukun hebat. Juga kejam. Lidahnya pahit. Tak segan-segan menyumpahi siapapun yang tak sependapat dengannya. Apapun yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Dan itu sudah tak perlu disangsikan lagi oleh yang lainnya. Pernah satu ketika, seorang warga sempat salah paham dengannya, maka dengan lantang Mbah Darmo berujar, "Hei! Kamu sudah berani ngelawan perintahku? Tunggu saja ajalmu!" ujarnya pongah seraya mematahkan ranting kayu dengan tangannya. Dan benar saja. Tak lama kemudian orang tersebut tewas dengan keadaan pinggang patah akibat jatuh dari pohon kelapa. Dan sejak saat itu, setiap kematian tak wajar selalu saja dihubungkan dengannya. Begitu juga dengan penggalian kubur. Selalu saja harus melalui ijinnya. Kalau saja dilakukan orang lain, maka niscaya tak akan bisa jasad itu terkubur. Pernah satu ketika, ada seorang pendatang yang tidak mempercayainya. Dan satu kali ada kerabatnya yang meninggal. Berkali-kali digalinya makam, namun selalu saja runtuh dan berbagai gangguan lainnya. Dan setelah akhirnya menyerah dan meminta tolong kepada Mbah Darmo, tak sampai lima menit liang lahat itu sudah tersedia dengan sempurna. "Astaghfirullah Pak RT. Jangan begitu! Biar bagaimanapun juga kita tidak boleh membicarakan hal buruk almarhum. Kasihan beliau Pak!" ujar Ustad Basori membersihkan tubuh jenazah dari kotoran yang melekat. Diusapnya wajah tua dengan mata tertutup kapas yang tak lagi putih itu. Diabaikannya rasa jijik dan ngeri akibat luka menganga di sana sini akibat sambaran petir. Asap masih mengepul dari luka bakar. "Sebaiknya kita doakan saja semoga pertaubatan almarhum di akhir hayatnya diterima Gusti Allah," "Iya Pak Ustad. Terima kasih," jawab Sukri ikut membersihkan tubuh jenazah. "Lalu, bagaimana dengan pemakamannya? Apa kita ulangi lagi? Sementara sejak tadi sepertinya jenazah beliau tidak diterima bumi," gusar Pak RT. Sepertinya beliau sudah sangat lelah. "Ehm...bagaimana kalau kita larung saja pak Ustad?" ucap beberapa warga yang tiba-tiba muncul. "Hah! La...larung?" seru Sukri tertahan. Tak terbayangkan ada yang mengusulkan ide itu. "Bu...bukankah...?" Biasanya, jenazah yang dilarung adalah jenazah penjahat besar, tukang sihir ataupun jenazah yang dianggap mampu membawa petaka bagi kampung itu. Sedang jenazah Mbah Darmo? Apa masalahnya? Toh beliau sudah cukup bertaubat di akhir masa hidupnya. "Ya. Lebih baik kita larung saja. Toh sudah tak ada gunanya lagi kan? Dia hanya seorang dukun sesat. Hidupnya tak lebih berguna dari matinya. Larung saja dia!" "Ta...tapi..." seru Sukri tertahan. "Iya. Daripada merepotkan? Iya to?" "Toh kita sudah sama-sama tahu, berapa kali jenazah Mbah Darmo ini ditolak bumi. Iya kan? Itu artinya bumi saja enggan menerima jasadnya. Buat apa kita mempertahankan?" "Daripada kita menghabiskan waktu lebih lama lagi, lebih baik kita lempar saja ke sungai saja. Bagaimana teman-teman?" "Setujuuu!" "Betul!" seru warga yang lain. "Kita buang sama-sama ke sungai!" Segera saja, tanpa bisa dihalangi oleh siapapun, warga mengarak jasad hitam Mbah Darmo. Berulang kali Sukri dan Ustad Basori mencoba menghalangi. Namun urung. Warga terlanjur mengambil keputusan. Jasad Mbah Darmo harus dilarung. "Ayo kita seret saja!" ujar salah satu warga diaminkan yang lain. "Srekkkk...srekkkk...srekkkk!" Diseretnya saja jasad itu dari potongan kain kafan yang tercabik. Tak dihiraukannya kain yang semakin lama tampak semakin lebar geroaknya. Saat ini yang terpenting adalah membuang jauh-jauh jasad dukun tua itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN