Larung

1369 Kata
"Sreeeek...sreeeek...sreeeeek!" Jenazah semakin diseret mengarah sungai. Air banjir bergolak-golak. Sesekali pucuknya mencium ujung dedaunan, seakan berpesta pora menyambut datangnya mangsa. Sementara suara pucuk dedaunan dan ringkikan batang bambu semakin menyeramkan suasana. "Bapak bapak...tolong hentikan ini semua! Kasihan jenazah beliau," ujar Ustad Basori memperingatkan. "Tidak! Kami khawatir kalau kampung kita akan mendapatkan bala' kalau jenazah dukun sesat ini kita paksakan dikuburkan!" "Betul Pak Ustad. Buktinya bahkan jenazah tadi bahkan dilemparkan bukan? Bahkan buka hanya itu. Pak Ustad lihat sendiri kan kalau langitpun bakalan menolaknya?" timpal warga lain. "Iya Pak Ustad. Apalagi ini mumpung arus sungai sedang besar-besarnya? Mudah-mudahan jenazah dukun ini segera menjauh dari kampung kita agar terbebas dari segala bala." "Astaghfirullah!" gumam Sukri pelan. Melihat kekejaman warga, Ustad Basori hanya bisa beristighfar saja. Miris memang, di jaman yang disebut abad modern namun nyatanya masih saja ada kebodohan jahiliyah. Mata hati mereka dibutakan oleh dendam. Memang, Mbah Darmo dulu dikenal sebagai dukun yang kejam. Lidahnya pahit. Namun ia tak menyangka kalau dendam warga sedemikian dalam. "Maaf Mas Sukri...." ujar Ustad Basori menggelengkan kepala pada Sukri. Ia tahu sia-sia saja menghalangi kemauan warga. Salah-salah bukannya menuruti ucapannya, malah warga akan menuduhnya ada maksud tertentu. Tak sampai hitungan menit, arak-arakan warga telah sampai di bibir sungai. Jenazah yang hampir tak berbentuk itu diayun-ayunkan keras dan siap dilemparkan ke arus deras. "Satuuuu...duaaaaa...tiiii...." "Tunggu!" Melihat jenazah itu siap dilarung, gegas Sukri berlari dan berhenti tepat di depan rombongan. Kedua tangan terentang menghalang, "Tolong...jangan lakukan itu!" Kedua netra Sukri memerah. Ditatapnya rombongan satu persatu. "Aku mohon, jangan kalian buang jenazah itu," ibunya. "Heh! Sukri! Tidak kau lihat jenazah ini bahkan sudah ditolak langit dan bumi? Lihat jenazah gosong ini!" ujar salah satunya menunjuk jasad tua gosong. "Lebih baik kita larung saja biar habis dimakan ikan. Ha-ha-ha..." Sukri menjatuhkan diri. Ia kembali memohon, "Tolong! Jangan kalian lakukan itu! Kumohon!" ibunya lagi. Air matanya berlinangan. "Jika memang kalian tidak bersedia menguburkan kembali jasad itu, biar aku saja yang melakukannya!" ujar Sukri mengangkat kedua tangannya. Gerahamnya menyatu dengan wajah memerah. Semua tahu kelakuan Mbah Darmo dulu semasa hidupnya. Semasa mudanya. Tapi, apakah setega itu warga pada jasad orang tua itu? Orang tua yang bahkan tak lagi memiliki sanak famili. "Bagaimana?" ujar Ustad Basori yang tiba-tiba sudah berada di samping Sukri. Jemarinya sibuk dengan untaian biji Jenitri. Perlahan terdengar gumaman ucapan lirih memuji kebesaran illahi. "Sabar Mas Sukri. Mudah-mudahan belas kasihan Mas Sukri mendapatkan imbalan dari Gusti Allah," lanjutnya kemudian. "Inilah saat penghormatan terakhir sampeyan pada beliau. Dulu, sampeyan sudah dirawat beliau. Sekaranglah saatnya membalas budi. Hanya ini satu-satunya kesempatan." "Kalau kita tidak bisa melihat kebaikannya pada kita, setidaknya lihatlah beliau sebagai orang tua, yang selayaknya kita yang lebih muda menghormatinya," "Baik Pak Ustad," jawab Sukri bersiap-siap. Lengannya kembali digulung dan bersiap menggali kubur. Jasad yang hanya tinggal gumpalan gosong diangkatnya kembali menuju pemakaman. "Kita ulangi sekali lagi. Kita buat makam yang baru, lalu sama-sama kita adakan doa lagi, kita sholat kan lagi. Semua kita mulai dari awal," ujar Ustad Basori kemudian. "Tapi..." "Kita abaikan keadaan kita yang penuh percikan lumpur ini. Allah Maha Tahu apa yang menjadi kendala kita. Lumpur ini biarpun terlihat kotor tapi bukan najis. Insyaallah kita masih bisa bersuci. Sama-sama kita bermunajat agar Allah merestui apa yang kita upayakan ini." "Aamiin..." Setelah kesepakatan itu, segera saja mereka bersuci dan kembali melaksanakan sholat jenazah, walaupun dengan keadaan seadanya. Dalam hati mereka hanya berharap agar jenazah almarhum diterima bumi dan diampuni segala kesalahannya semasa hidup. Selesai berdoa, ketiga orang itu saling celingukan, "Cangkul...dimana ya?" gumam Pak RT. Dicari kesana kemari tidak juga ditemukan, akhirnya Sukri mengambil inisiatif sendiri. Dilepasnya baju yang basah dan kotor oleh lumpur, "Baiklah. Kalau memang ndak ada lagi yang bersedia lagi mengayunkan cangkulnya, biar saya saja yang menggali dengan kedua tangan saya ini." ucapnya yang dengan sigap dan langsung mengais-ngais tanah layaknya tikus tanah yang besar. "Krauk...krauk...krauk..." Sukri terus saja mengais. Tak dihiraukannya sakit di tangannya yang sudah mulai berdarah akibat kerasnya tanah dan bebatuan yang menutupi bakal lubang galian. Begitu juga peluh yang menetes tak henti-hentinya. Tak dipedulikannya semua itu. Ia hanya ingin memberi penghormatan terakhir bagi lelaki tua itu. Bagaimanapun ia sudah menganggap orang tua itu layaknya bapaknya sendiri. Satu jam lamanya Sukri berusaha, dan ternyata Sukri berhasil. Lubang galian sedalam satu setengah meter dengan panjang dua meter dan lebar satu meter berhasil digali. Tanpa ada gangguan sedikitpun. Hanya tangannya saja yang lecet-lecet dan memar. "Hosh hosh hosh!" "Nah ... Teman-teman, lubang...sudah...berhasil ...kubuat...silahkan diteruskan..." ucapnya dengan nafas terengah-engah. Dan selanjutnya langsung terkapar lelah. "Alhamdulillah...." ujar warga berbarengan, dan segera mengakhiri proses pemakaman. --- Sepulangnya dari pemakaman, tak ada lagi acara. Masing-masing tetangga pulang ke rumah dengan ceritanya. Bahkan tak diadakan acara doa selamat seperti biasa terjadi pada warga lainnya. Tak ada modal, itulah alasannya. Padahal itu hanya karena ketidaksukaan mereka saja pada almarhum. Memang dimana-mana hukum adat selalu lebih kejam dari hukum apapun. Dan kini Sukri tinggal sendiri ditemani istrinya seusai pemakaman lelaki tua itu. Penat dan lelah diacuhkannya. Mereka masih berbenah di rumah lelaki tua itu. Barang-barang masih berserakan. Tak banyak, namun tetap saja mengganggu pemandangan. "Kasihan Mbah Darmo ya Kang. Pasti nanti bakalan jadi buah bibir diantara para warga." ujar istrinya pelan. Tangan kanannya sibuk mengaduk kopi. Sesaat tampak Sukri menghembuskan asap rokoknya pelan seraya berujar, "Yah, begitulah hidup Dek. Kadang kita ndak tahu apa yang bakal terjadi. Dan kakang rasa Mbah Darmo juga tahu itu. Semoga kesalahan beliau diampuni oleh Gusti Allah," "Aamiin...Monggo Kang kopinya!" ujarnya menyodorkan gelas kopi dihadapan suaminya, yang langsung meneguknya tanpa ditiup terlebih dahulu. "Bismillah..." "Lalu bagaimana dengan rumah ini Kang? Apa anaknya sudah diberitahu?" lanjut Tuminah seraya membereskan baju kebanggaan Mbah Darmo, seragam hitam-hitam. "Belum tahu Dek. Mungkin sementara kosong dulu. Soalnya kita belum tahu kapan anaknya bakal kembali," ujarnya seraya menghirup cairan hitam kental dalam cangkir itu. "Slurrp...ahhhh..." Terasa pahit dan manisnya pas. Sukri tersenyum, kopi buatan Tuminah selalu pas buatnya. "Jadi, nanti malam akan diadakan Yasinan atau ndak?" ujar istrinya lagi. Sesaat tampak Sukri menghela nafas panjang. "Ndak ada Dek. Warga di sini ndak bisa menerima. Mereka terlanjur antipati dengan beliau," "Paling kalaupun mau nanti malam kita saja berdua yang baca Yasin disini." Tuminah mengangguk. Dapat dirasakan kepedihan suaminya. Disusutnya air mata yang menggenang di sudut netra. "Ya sudah ya Kang. Saya tak pamit ke belakang dulu. Masih banyak cucian yang harus dibereskan," ujarnya berlalu. "Iyo. Ini juga Kakang mau membereskan barang-barang Mbah Darmo biar rumah ini lega." Mulailah dibersihkan barang-barang di rumah gubuk itu. Dari peralatan berkebun, pakaian dan juga beberapa barang lainnya. Namun, sesaat sebelum Sukri beranjak pergi, tiba-tiba pendengarannya terganggu oleh sebuah suara, "Crek crek!" Sukri terdiam. Langkahnya terhenti. Apa itu? Dipindainya sekeliling. Tak ada lagi barang tersisa. Semua sudah bersih. Sudah lega. Bahkan tak ada satu debu pun tersisa. "Crek crek!" Kembali terdengar suara itu, namun diabaikan olehnya. Dia tetap melangkah pergi. Namun sesaat langkahnya terhenti karena pintu yang tadi terbuka tiba-tiba tertutup sendiri. Entah oleh angin atau apa. "Brakkkk!" "Ya sudah ndak usah pamit segala. Kami sudah ikhlas," gumamnya lagi. "Crek crek!" "Ada apa to Mbah?" gumamnya pelan. Namun diam-diam pandangan matanya berusaha mencari sumber suara. "Ya sudah tak cek lagi. Nyuwun Sewu nggih? permisi," Sukri kembali untuk mengeceknya. Dan sesaat pandangannya terpana. Karena ternyata, di salah satu sudut ruangan itu, terdapat sebuah pintu rahasia. Sebuah pintu yang tertutup papan dengan engsel besi yang telah berkarat. "Ah, apa ini?" gumamnya pelan. Hati-hati Sukri membukanya agar tidak sampai engsel itu rontok akibat sudah terlalu tua. "Krieeeet..." Dan setelah dibuka, ternyata sumber suara itu berasal dari sebuah bungkusan karung berwarna putih. Tergeletak begitu saja di lantai bawah tanah. Bergemeretak seolah memanggil-manggil dirinya. "Crek crek!" kembali kantong itu berderak-derak. Sukri tercekat. Ditatapnya takut-takut. Sesaat dia tampak tertegun. Seolah ragu untuk meneruskan langkah. Namun rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya. "Apa ini?" ujar Sukri seraya meraih bungkusan itu, dan mencoba menariknya ke atas. "Srekk!" Susah payah ditariknya bungkusan itu dan dicoba untuk dibukanya. "Srekkk!" Begitu sulit bungkusan itu dibuka. Terlalu banyak lilitan tali sabut kelapa yang dipakainya. Dan begitu bungkusan berhasil dibuka, sekonyong-konyong keluar asap merah pekat yang berbau harum menyengat. "Ahkhkhkh!" "Apa ini?" gumamnya seraya menyibakkan tangan, namun tak urung beberapa hembusan sempat terhirup olehnya. Dan dalam hitungan tiga detik kemudian... "Brukkkk!" Apa yang terjadi? Apakah Sukri terkena racun yang dipasang Mbah Darmo? Atau ada kekuatan lain yang masih tertinggal disana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN