SEBELAS

2189 Kata
Mobil Bayu sudah terparkir ketika Dimas memasuki halaman rumah yang gerbangnya terbuka lebar. Bergegas, Dimas memarkirkan mobilnya asal lalu segera keluar, berjalan cepat-cepat menuju bagian dalam rumah. Di dalam rumah kosong, jadi Dimas langsung mengarah ke halaman belakang, tempat di mana pohon Keramat berada. Dan benar saja, ada Bayu dan Kakek Yadi yang sedang duduk bersila di depan pohon. “Maaf bikin nunggu, tadi anterin Liz dulu ke tempat Mamih Tini.” Ujar Dimas, ia kemudian bergabung, duduk bersila di hadapan Kakek dan Bayu. “Kenapa kamu bisa ngomong gitu ke Bayu, Dim?” Tanya Kakek Yadi. Dimas diam sebentar, mengatur napasnya. Pasti, sambil menunggu Bos Bayu sudah menceritakan semuanya pada kakek. Batin Dimas pelan sebelum ia membuka suara. “Jadi, tadi aku tuh ngobrol Kek sama Elizabeth. Terus aku tanya-tanya dia tuh umurnya berapa, dari mana asalnya, terus bisa ketemu Patricia tuh gimana ceritanya.” Dimas membuka penjelasannya. “Terus?” Tanya Bayu dan Kakek Yadi berbarengan. “Dia bilang, dia baru aja ulang tahun yang ke 17, dia dari kampung, namanya dusun Serbahese, dan dia tuh ke sini karena dikejar-kejar raksasa hijau, dan dia bisa ada di sini karena ngelewatin air terjun warna-warni yang ada di dalam lubang pohon. Deskripsinya, persis sama apa yang di depan kita sekarang.” Jelas Dimas, ia lalu menunjuk pohon Keramat yang berlubang di depan mereka bertiga. Deskripsi yang sama dengan yang ada di mimpi Dimas, namun ia tak mengungkapkan hal itu. Seperti ceritanya Dimas, pohon di depan mereka juga memiliki pelangi warna-warni di dalam lubangnya. “Tapi kakek yakin sekali, kalau gak ada yang lewatin portal itu selain Bayu!” Ujar Kakek Yadi tegas. “Ini aneh, Kek. Saya aja gak ingat apa-apa yang terjadi di dunia sana kalau saya ada di sini. Pun sebaliknya, kalau saya di sana, saya gak inget apa-apa soal semua yang saya punya di sini. Well, mungkin ada sedikit kilasan ingatan, tapi gak kuat. Terus, kalau Elizabeth dari tempat yang sama, kenapa dia bisa inget semuanya?” Jelas Bayu panjang. “Atau... dia pura-pura bodoh? Dia mau cari tahu rahasia kamu?” Tebak Kakek Yadi. “Kalau itu, gimana caranya dia tahu Bos Bayu bisa berubah jadi raksasa hijau? Dari mana dia tahu soal pohon dengan air terjun pelangi?” Tanya Dimas. Di dalam lubuk hatinya, Dimas merasa kalau Elizabeth itu jujur. Elizabeth adalah gadis cantik, polos dan lucu. Tidak mungkin gadis selugu itu berbohong dan mengarang cerita. “Iya juga ya?” Ucap Kakek Yadi, nada suaranya kini terdengar ragu-ragu. “Elizabeth bilang apa lagi soal kampungnya?” Tanya Bayu, “Ya itu, dia cuma bilang kalau selama 17 tahun ini hidupnya enak. Dia punya Mbok yang sayang sama dia. Mbok Yem namanya. Dan, Mbok Yem sering berburu binatang di hutan buat di masak dan jadi santapan mereka berdua.” Ucap Dimas. “Kalau soal Bapaknya Elizabeth?” Tanya Kakek Yadi. “Dia gak bilang Kek, dia cuma bilang ya itu, dia hidup cuma berdua sama Mbok-nya dan gak nyeritain satu pun tentang bapaknya. “Coba kamu cari tahu lebih lengkapnya soal Elizabeth ini ya Dim? Biar kita semua gak pusing.” Ucap Kakek Yadi lembut. “Siap Kek!” “Oke, kalau gitu, gue masuk portal dulu, meskipun bakal lupa sama kejadian ini. Gue mau cari tahu info soal dunia sana ya? Kali aja pas gue balik ke sini, kilasan ingatan itu ada, dan gue bisa kasih titik terang untuk masalah ini.” Ucap Bayu. “Hati-hati, Nak!” Ucap Kakek. “Boss, boleh gak lelangnya kita cancel? Kalau benar Elizabeth dari dunia yang sama dengan Bos Bayu, bukankah harusnya kita juga menjaga dia?” Usul Dimas. Sebenarnya, ia tidak rela gadis selugu Elizabeth dijual kepada om-om hidung belang. “Tapi... gue udah tutup lelangnya, dan Pak Chandra Wiguna yang memang.” “Haah? Yaudah, coba ditelepon Boss, bilang aja kalau dibatalkan.” “Gue udah bikin kontrak, udah gue tanda tangan dan kirim ke asistennya.” “Astaga.... Yaudah nanti itu Dimas aja yang urus. Bayu hati-hati ya?” Kakek Yadi menengahi obrolan keduanya. “Oke Kek, Bayu berangkat!” Akhirnya mereka bertiga berdiri dari duduknya. Kakek Yadi dan Dimas masih tetap tinggal, melihat Bayu yang berjalan santai mendekati pohon Keramat, dan ketika Bayu memasuki lubang itu, perlahan-lahan, sambil ia menghilang dari pandangan, terlihat sekilas sosok raksasa menyeramkan berwarna hijau. “Udah, kamu urus soal kontrak dengan Pak Chandra Wiguna. Bilang kalau ada kesalahan, atau apa lah ya? Supaya kesepakatan itu batal,” “Siap, Kek. Yaudah, Dimas pamit ya?” Kakek Yadi dan Dimas masuk ke bagian dalam rumah. Mencium punggung tangan Kakeknya sebelum pergi, Dimas pun meminta doa agar dilancarkan urusannya. Karena yang ia tahu, Pak Chandra Wiguna adalah seseorang yang amat keras dan ambisius. Jadi, membatalkan kesepakatan lelang dengan beliau pasti bukan lah sebuah hal yang mudah. Dimas yakin itu. ****** Buto Ijo terlihat tertidur, pelan-pelan ia membuka mata dan keluar dari sarangnya. Keadaan hutan lumayan gelap. Karena rimbunnya hutan ini, cahaya matahari yang masuk hanya sedikit, terhalang oleh daun-daun dari pohon yang menjulang di atas sana. Merasa lapar, Buto menangkap beberapa ekor burung dan tupai untuk sarapannya pagi ini. “Hoh, laper banget nih gue. Masa pagi-pagi cemilannya cuma ginian? Mana enak?” Oceh Buto sambil mengunyah tupai. “Mamam lontong sayur enak kali ya? Pake bakwan!” Ucap Buto lagi, masih berbicara sendiri karena kondisi hutan yang sepi. Tidak ada makhluk hidup yang mengerti bahasanya saat ini. Burung-burung hanya bisa berkicau, dan tupai-tupai berdecit selayaknya seekor tikus got. Merasa kurang, Buto pun berjalan keliling hutan, mencari hewan buruan untuk mengganjal perutnya yang masih terasa kosong itu. Tiga ekor burung dan lima ekor tupai tidak mampu membuat Buto kenyang. Berjalan-jalan di hutan mencari hewan buruan, Buto senang ketika melihat seekor anoa yang ukurannya lumayan besar terjerat perangkap pemburu. “Ya ampun, rezeki anak soleh banget ini sih, mau berburu, eh dah nemu hewan buruan orang, jadi tinggal mamam deh! Thank God!” Buto Ijo bersyukur karena ia tidak perlu berburu. Mencoba melepaskan Anoa dari jaring-jaring perangkap, tiba-tiba saja Buto merasa lengannya ditembak oleh senapan angin. Meski tembakan itu tak melukai kulitnya yang keras, namun tetap saja itu menganggunya dan membuat Buto Ijo marah. “Heh manusia, ngapain lu ada di dalem hutan begini? Lu kaga tau apa hutan bagian sini tuh udah gue kencingin!” “Hah? Maksudnya?” Tanya manusia kecil itu, yang ternyata Mail, sahabat Elizabeth yang rajin mengajarkan tutorial berburu pada Elizabeth. “Bedon lu dasar! Maksudnya bagian dalem hutan sini tuh daerah teritori gue!” “Kaya kucing aja lu, harus dipipisin segala.” Sahut Mail. “Yee songong lu yak!” “Dah, lepasin, itu hewan buruan gue! Lagian, lu kaga kenyang apa udah makan kekasih gue? My tutur wep!” “Future wife ya anjir! Kenapa sih orang-orang kampung ini pada salah mulu tiap ngomong enggres!” Buto Ijo kesal. “Ya udah itu intinya, lo ngerti maksud gue apaan!” Ujar Mail. “Emang siapa future wife elu? Gue nih laper, belum makan dari SD!” Ucap Buto Ijo, mencoba melawak. Lagi pula, mana ada sekolah SD untuk si raksasa hijau? “Bujug buneng, belom makan dari SD badannya bisa sebegitu gede, apalagi lu makan?” “Gue nanya siapa future wife elu? Gak lo jawab, gue telen nih Anoa, sekalian, elu juga gue telen!” Ancam Buto Ijo. “Ya Elizabeth lah, kekasihku, gadis cantikku tersayang, namun malang nasibnya karena harus berakhir di dalam lambung Buto Ijo yang bau itu.” “Sianying, gue kaga bau ya k*****t! Dan apa tuh? Gue gak makan Elizabeth, parah juga lu fitnah gue!” “Wah? Masya? Lu bohong kan? Lu bohong pasti! Orang Elizabeth udah ilang sebulan, selama sebulan Mbok Yem nangis anak semata wayangnya bernasib naas, hidupnya mentok di usus buntu si Buto Ijo.” “Gue kaga makan dia!” Seru Buto Ijo, tidak terima akan fitnahan yang diberikan. “Bohong!” Seru Mail lantang. “Suwer dah, bocah! Gue kaga bohong! Dia ilang pas gue kejar-kejar, terus gue capek ngejar-ngejar mulu kan ye? Apa banget raksasa kece kaya gue kudu ngejar anak timun kek dia, yaudin gue biarin dia hidup!” Jelas Buto. “Elizabeth ilang ehhhhh, udah sebulan dia kaga balik ke rumah! Daerah sini kan kecil, gak mungkin Elizabeth pergi jauh-jauh.” Mail tak percaya kalau Buto tidak memakan Elizabeth. Mesikpun itu kabar baik, tapi Mail ingin mengecek kebenaran ini sebelum ia menyampaikan berita bahagia ini pada Mbok Yem. “Ya gak tau itu mah bukan salah gue kali, si Elizabeth aja bandel, ngeluyur paling dia sama pacarnya, kumpul kebo, ninggalin elu soalnya elu jelek!” Ledek Buto Ijo. “Dijaga yaa ngomongnya, kalo udah jelek, minimal attitude-nya dibagusin, okeh Buto? Jan sembarangan ngomong Anda!” Mail tersinggung dikatain jelek oleh raksasa yang lebih jelek darinya. Warnanya ijo pula, kaya dadar gulung isi unti. “Ya terus dia ke mana? Wong ndak gue makan kok!” “Kau bohong, kau bohong, lagi-lagi~” Seru Mail, untung gak pakai nada, kalau pake, berasa Syahrini lagi konser tuh. “Serius inih!” Ucap Buto, mencoba meyakinkan Mail bahwa dirinya memang tidak memakan Elizabeth. “Gak, lo pasti cuma alasan. Elizabeth, tenang di sana ya sayangku, aku akan selalu merindukanmu setiap hari.” Mail tiba-tiba berdoa. “Dih, tenang di mana? Alam baka? Orang dia belum nyampe ke sana kok, sumpah ihh sumpah, Elizabeth kaga gue makan!” “Ku tak percaya pada ucapan bualmu itu, Buto!” “Dih, lu kenape ngomongnya jadi begitu? Emang kita lagi syuting film Roma Irama?” “Siapa tuch?” Tanya Mail. “Dah ah, mengcapek gue ngomong sama lo, gue mau makan, ini Anoa hasil perangkap lo buat gue aja ya?” “Bagi dua lah, itu gede banget Anoanya, gue juga laper, udah seminggu di hutan, belum makan.” “Seminggu kaga makan berarti? Dah kaya uler lu!” “Seminggu di hutan! Bukan seminggu kaga makan!” Teriak Mail kesal. Lama-lama darah tinggi juga nih dia kalau terus berdialog dengan Buto yang nyebelin to the bone, alias nyebelin ke tulang-tulang! “Yaudah, ini kita berdua langsung makan aja yuk?” Ajak Buto, sok-sokan romantis. “Ya jangan dimakan idup-idup juga dong, ganteng! Sini dah, gue bikin Anoa panggang, mau kaga lo?” Tawar Mail. “Jadi menurut lo, gue ganteng nih?” Buto Ijo salah fokus, soalnya selama ini gak pernah ada yang muji dia ganteng. “Iyaa dah lu ganteng, iya. Dah gue masak nih yaa?” Akhirnya si Buto setuju dengan tawaran Mail. Dilepaskan Anoa tersebut dari perangkap, dan ia biarkan Mail menyembelih hewan tersebut kemudian memanggangnya dengan api yang ia buat sendiri. Buto duduk di lantai hutan, bersandar pada pohon besar sementara Mail memanggang Anoa untuk makan mereka berdua. “Lu belajar bikin api dari sapose?” Tanya Buto Ijo, membuka obrolan biar gak gabut diem-diem bae. “Anak-anak kampung, dari kecil udah diajar bikin api, soalnya this little sun is our protection in the jungle.” “Wihh, lancar Inggris lo?” “Hehehehe, gue kalo error emang gitu, But.” “But, But, emang gue j****t! s****n lu manggil gue seenaknya!” Buto Ijo ngamuk. Enak aja wibawanya yang ia bangun tinggi-tinggi hancur oleh panggilan But dari si anak curut. “Terus gue manggil lo apaan? Oh iya, kita belum kenalan, gue Mail, mantan calon suaminya Elizabeth yang sudah tenang di alam baka!” “Eh Mail, kupret! Elizabeth belum meninggoy!” Ujar Buto. “Yaah, terserah kehaluan elu dah yaa. Tapi gue udah ikhlas kok Elis sayangku yang cantik itu meninggal, pasti ini jalan terbaik yang sudah dituliskan oleh sang Gusti Pangeran.” Ucap Mail, sok tegar. “Capek gue ngomong sama lo, Mail. Ngeselin bat lu! Gue tuker juga dah elu sama upin-ipin.” “Ih? Siapa tuh?” “Banyak gak tahunya lo,” Hanya itu balasan Buto Ijo. Akhirnya masakan Mail selesai, Buto Ijo bisa mencium aroma harum dari daging yang dimasak oleh Mail ini. Berbakat dia kayaknya, bisa lah duel sama Chef Juna. “Ayok But, makan!” Ajak Mail. “Sekali lagi lu manggil gue But, gue kentutin lu ya?!” Buto Ijo emosi lagi. “Ya terus gue manggil lo apaan?” “Panggil gue Richard.” Buto Ijo sok ngide banget, ngarang-ngarang nama. Gak pantes pula sama mukanya. “Ricar?” “Yaa itu lah boleh.” “Oke, ayo makan, Car!” Mail mengambil sedikit daging Anoa, sisanya ia berikan ke Buto Ijo. Ia sadar, melihat ukuran tubuh Buto, pasti Buto butuh banyak daging untuk memenuhi perutnya. “Umhh, ena banget nih Mail, lo bumbuin pake apa?” “Aer ketuban babi hamil, emang resep dari nenek ogut nih the best banget, enak kan?” “Mantap!” Seru Buto. Di dalam hutan, akhirnya Mail berteman dengan Buto Ijo yang mengaku sebagai Richard. Buto sudah lupa dengan misinya masuk ke dunia ini. Lagi pula, ia bukan Bayu, jadi Buto tidak mengingat apapun yang menjadi rencana Bayu. Yang ia ingat dari dunia modern hanyalah Upin-Ipin, istilah-istilah gaul, dan lain sebagainya, yang amat sangat tidak penting untuk rencana Bayu, Dimas dan Kakek Yadi dalam mengorek informasi seputar Elizabeth yang sedang terjebak di dunia modern. ***** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN