Bab 01. Memergoki Perselingkuhan
"Kamu berselingkuh dengan siapa lagi Mas kali ini?"
Langkah Aji yang akan masuk ke rumah pun terhenti, mendapati pertanyaan dari sang istri yang hampir setiap hari dirinya diintogerasi. Rahmi berujar kesal, setiap pulang kerja selalu ada wangi parfume wanita dengan jenis yang sama.
Rahmi curiga, jika Aji mengulangi hal yang sama seperti beberapa tahun lalu. Di mana dirinya pernah memergoki Aji sedang bermesraan dengan wanita lain.
Aji mendengus kasar. "Apa sih! Suami pulang kerja bukannya disambut malah dibikin pusing! Kamu tuh tahunya cuma duit mulu, Rahmi!" ketus Aji.
Hal yang wajar bagi seorang istri mencurigai, terlebih lagi Aji memang sering telat pulang dan tidak lagi menyentuhnya.
"Jawab pertanyaan aku, Mas! Dengan siapa kamu selingkuh? Apa dengan wanita yang sama seperti beberapa tahun lalu?" Rahmi terus mencecarnya dengan pertanyaan. Sengaja, supaya Aji mengakuinya.
"Halah sudahlah! Terserah kamu mau bicara apa! Mana buktinya kalau selingkuh? Jangan asal kalau bicara!"
Rasa sesak menyeruak di d**a, saat Aji menepis kasar tangannya hingga Rahmi hampir terjengkang jika tidak menahan keseimbangan.
Mendengar pertengkaran orang tuanya, Dilara yang sedang mengerjakan PR di dalam kamar lantas keluar. Dia menghampiri ibunya, berjaga-jaga supaya sang ayah tidak bertindak kasar.
Sudah pemandangan biasa bagi Dilara yang selalu menyaksikan perdebatan keduanya. Bahkan Aji --- ayahnya tak segan melakukan kekerasan pada ibunya jika melawan.
"Ayah, udah, Ayah! Kasihan Ibu!" ujar Dilara melerai pertengkaran mereka, dia berusaha melindungi Rahmi yang hendak dipukuli.
Rahmi merasa bersalah, selalu melibatkan Dilara dalam masalah rumah tangganya. Ia juga tidak menyangka, semakin lama Aji semakin sulit dikendalikan jika sedang marah.
Aji berdesis, menatap tajam pada istri dan juga anaknya. "Dasar gak berguna kalian!" katanya sambil berlalu begitu saja.
Dilara bisa bernapas lega, karena Rahmi tidak apa-apa. Ia takut, jika Rahmi mendapatkan luka karena pukulan Aji.
"Bu ... Ibu nggak papa?" tanya Dilara, menampilkan raut kekhawatiran pada wanita yang melahirkannya.
Air mata Rahmi tertahan, dia memeluk Dilara agar anaknya tidak khawatir. "Ibu nggak papa, Sayang. Maafin Ibu dan Ayahmu, ya. Selalu melibatkanmu dalam pertengkaran ini. Ibu janji, bakalan nyari jalan keluar."
Dilara mengangguk mengiyakan. Selama berumah tangga selama delapan belas tahun lamanya sikap Aji terbuka, ternyata Aji yang dikenal pria baik dan juga lembut malah justru sebaliknya.
Bagai menemukan dua orang yang berbeda, rumah tangga keduanya tidak seharmonis awal-awal pernikahan. Ia curiga, jika sang suami punya simpanan di luar sana. Instingnya mengatakan demikian.
Karena hari terus beranjak malam, Dilara kembali ke kamar. Dilara Anataya, gadis berusia delapan belas tahun itu merebahkan diri di atas kasur kapuk miliknya. Sambil berusaha memejamkan mata.
Ia tidak tenang, karena pikirannya terus memikirkan ibunya.
"Kenapa aku tiba-tiba nggak tenang, ya? Semoga gak ada hal buruk terjadi," gumam Dilara sambil bermolog sendiri.
Sekian lama mencoba memejamkan mata, akhirnya gadis itu sudah di alam mimpinya.
Prang!
Kurang lebih tiga jam lamanya tertidur, Dilara terperanjat kaget tatkala mendengar suara benda terjatuh begitu kerasnya.
Gadis muda itu beringsut, menurunkan kakinya ke lantai. Dia ingin melihat di mana sumber bunyi itu berasal.
Ketika Dilara menyibak tirai kamar, alangkah terkejutnya Dilara saat melihat Rahmi yang sudah tergelatak tak berdaya di bawah lantai.
"Ibu, Ibu kenapa? Bu ... Ibu!" Dilara berjongkok, menghindari serpihan kaca. Ia terus memanggil-manggil nama ibunya, namun nihil, Rahmi tak kunjung membuka mata.
Perasaan Dilara berkecamuk, dia mencari keberadaan Aji, pria itu tidak ada di sini. Segala cara Dilara coba, sampai ia meminta tolong pada para tetangga untuk membawa ibunya ke rumah sakit.
"Waduh, ada apa ini, Dilara? Kenapa bisa?" pekik dua warga yang sedang meronda, berhenti ketika dipanggil oleh Dilara.
"Tolong bawa Ibu saya ke rumah sakit, Pak. Kayaknya penyakit Ibu kumat," pinta Dilara.
"Sebentar, saya ambil mobil angkot dulu," pamit satu bapak-bapak yang berlari keluar sana.
Tubuh Rahmi digotong, untuk dibawa ke rumah sakit terdekat supaya ditangani. Dilara sudah menangis, takut terjadi sesuatu pada ibunya.
"Bu, bangun, Bu," ujar Dilara dengan lirih.
"Emangnya ayah kamu ke mana, Dilara? Istri sakit kok ditinggalkan begitu saja? Kalau terjadi apa-apa gimana?"
Saat ini Dilara masa bodo dengan Aji, yang ia pikirkan hanyalah soal Rahmi.
***
Selang beberapa menit menempuh perjalanan, Rahmi dipindahkan ke atas brankar untuk dibawa ke ruang periksa. Dilara terus mengikuti, ingin menamani ibunya.
Di depan ruangan, Dilara mondar-mandir sambil memanjatkan doa agar ibunya baik-baik saja. Sekian lama menunggu, pintu ruangan terbuka.
Dilara lekas menghampiri. "Dokter, gimana keadaan Ibu saya, Dok?"
"Sepertinya penyakit Bu Rahmi sudah terlalu parah, kami menyarankan untuk melakukan tindakan operasi," papar dokter tersebut pada Dilara.
"Lakukan yang terbaik untuk Ibu saya, Dokter!" pinta Dilara dengan penuh harap.
Dokter itu mengangguk. "Silakan urus adminitrasi dulu supaya kami bisa langsung menindaklanjuti Bu Rahmi."
Sekujur tubuh Dilara lemas seketika. Uang dari mana? Sementara dia tahu jika uang untuk operasi itu besar.
"Jangan pikirkan soal biaya, Dok. Yang penting selamatkan Ibu saya. Nanti saya akan bayar jika ada uang, saya akan berusaha, Dok."
Mendengar permintaan Dilara, dokter itu tidak tega. Tapi mau bagaimana lagi, sudah peraturan rumah sakit seperti ini.
Malam itu juga, Rahmi dilarikan ke rumah sakit. Dilara hanya bisa menangis, kenapa hal ini terjadi lagi. Ia juga benci, pada Aji yang entah ke mana.
"Dasar gak berguna! Lepas tanggung jawab begitu saja!" maki Dilara.
Ia membawa langkah kakinya keluar dari rumah sakit. Tujuannya kini untuk mencari keberadaan sang ayah. Bukan karena Dilara peduli, tetapi dia ingin meminta uang untuk biaya operasi.
Di tengah malam seperti ini, jarang sekali ada kendaraaan lewat. Dilara harus berjalan sepanjang jalan agar sampai di rumahnya.
"Astaga ... suara suapa itu?"
Dilara hendak membuka pintu, tetapi ia terpaku mendengar suara wanita yang meringis kesakitan di dalam sana. Dilara mendekatkan telinga, ternyata benar, di dalam sepertinya ada orang.
"Shhhh ... lebih dalam, Sayang!"
"Nikmat*an aku atau Rahmi, Mas?"
"Ya jelas kamu. Aku bahkan nggak selera dengan wanita dekil itu. Dia nggak bisa menjaga penampilan, berbeda dengan kamu."
Deg!
Tubuh Dilara terbujur kaku, mendengar suara Aji yang sepertinya sedang berhubungan. Dengan tangan gemetar, Dilara sedikit membuka tirai kamar.
Matanya membelalak lebar, saat melihat Aji tengah menjelajahi gair*hnya di atas ranjang, bersama seorang wanita yang menikmati indahnya surga dunia, hingga kedua insan tersebut tenggelam dalam permainan asmara yang terlarang. Dilara membekap mulut tak percaya, melihat apa yang dilakukan ayahnya ketika ibunya sedang bertaruh nyawa.
'Ayah? Bersama siapa dia? Ya Tuhan ... kenapa bisa mereka?' batin Dilara tak menyangka.
Tangan Dilara mengepal kuat, menatap nyalang pada sepasang insan yang tengah beradu kenimat*n di atas ranjang. Keduanya tidak menyadari, ada Dilara di sini.
Dengan perasaan hancur berkeping-keping, Dilara pun membuka tirai gorden hingga terbuka.
"Ayah!" teriak Dilara penuh murka.