Malam telah berganti pagi, tapi wanita itu masih saja bergulung nyaman di balik selimut tebal miliknya, tertidur pulas dengan kedua mata yang terpejam rapat, Deina mengulurkan tangan untuk membangunkan suaminya yang harus berangkat kerja pagi ini. Namun, tidak ada apa pun yang dapat dia sentuh ketika meraba tempat di sampingnya, dengan enggan Deina mencoba untuk membuka mata secara perlahan.
Kilatan cahaya menyilaukan matanya, membuat mata yang sedikit terbuka itu kembali terpejam rapat.
Deina beranjak perlahan merubah posisinya menjadi duduk, mengucek mata itu secara pelan dan membuka kedua indra penglihatannya dengan sempurna.
Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Diego ada di sana, dia melirik jam dinding yang menggantung di dekat pintu kamar dan membelalakkan matanya sempurna ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 09.45 pagi.
"Astaga!" pekik Deina seraya meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidurnya.
Benar saja, ada sebuah pesan dari Diego di sana.
[Sayang. Maaf, ya. Aku gak tega bangunin kamu yang tidur nyenyak, aku izin kerja dulu, ada meeting penting yang gak bisa ditinggalin hari ini. Mungkin nanti aku juga bakal pulang larut malam, kamu gak usah nungguin aku, ya. Kamu juga jangan lupa makan dan jaga bayi kita dalam perut kamu itu dengan baik, gak usah melakukan pekerjaan apa pun, nanti takutnya kamu kelelahan terus anak kita kenapa-napa, aku gak mau sampai hal itu terjadi. Sekali lagi, maaf, ya. I Love You]
Begitulah isi pesan yang di kirim oleh Diego, Deina tersenyum senang atas sikap suaminya yang begitu perhatian. Bahkan, dia tidak marah sama sekali ketika Deina bangun kesiangan dan tidak menyiapkan sarapan untuknya. Benar-benar suami idaman, Deina beruntung memilikinya.
Namun, seketika dia baru sadar, bahwa hari ini ada jadwal untuk dia cek kandungan. Padahal, Diego sudah janji jika dia akan mengantarnya, tapi karena Diego sedang sibuk, Deina pun coba untuk memakluminya.
Setelah membalas pesan dari suaminya secara singkat, Deina dengan malas beranjak dari kasur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.
Di tempat lain, Devino berjalan di koridor kampus untuk menuju ruangannya, beberapa mahasiswa yang berpapasan dengannya mengangguk sopan, tak jarang juga mahasiswi yang menyapanya dengan genit serta tatapan nakal yang dilakukan mereka hanya untuk menggodanya.
Tak heran jika hal itu terjadi, pasalnya Devino adalah dosen muda yang berkepribadian ramah dan juga baik hati, serta tampangnya yang mendukung pun membuat dia banyak disukai oleh mahasiswinya sendiri.
Setelah mengajar dari jam tujuh hingga jam sepuluh pagi, dia tidak memiliki jadwal untuk mengajar kelas lain lagi hari ini.
Dia memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah, tapi tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya.
"Pak, Dev," panggil mahasiswi yang berjalan ke arahnya.
Devino mengernyit heran, seingatnya dia tidak pernah mengajar wanita itu di kelas manapun selama dia menjadi dosen di kampus itu.
Namun, Devino tetap tersenyum ramah pada mahasiswi cantik di depannya, "Iya, Ada apa?"
"Pak Dev, Bapak ada waktu luang gak hari ini?" tanya wanita itu sembari tersenyum malu.
"Em, ada apa memangnya?" Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Devino malah melemparkan pertanyaan lain pada lawan bicaranya.
Baru saja wanita itu akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba ponsel Devino yang berada di sakunya berdering menandakan bahwa ada sebuah panggilan masuk.
Wanita itu kembali mengatupkan mulutnya ketika Devino mengangkat satu tangannya dan berkata 'sebentar' tanpa suara, kemudian Devino pergi menjauh dan mengangkat panggilan di ponselnya. Wanita itu pun mendengus kasar dan menghentakkan kakinya kesal.
Devino memasuki ruangannya yang memang sudah dekat, kemudian dia mengangkat panggilan dari ibunya.
"Hallo, Ma. Ada apa?"
"Hallo, Dev. Kamu lagi sibuk gak? Bisa tolong, Mama?" ucap mamanya dari seberang sana.
"Nggak kok Ma, Mama mau minta tolong soal apa?"
"Antar Mama ke rumah sakit sekarang."
"Mama sakit apa?" tanya Devino dengan nada gusar, dia cemas karena takut terjadi apa-apa dengan mamanya.
"Ma, jawab."
"Nggak, Mama gak sakit. Mama cuma ada urusan saja sama dokter Nita, sekarang kamu jemput Mama, ya. Di rumah gak ada supir, jadi Mama terpaksa minta tolong sama kamu. Kamu bisa, 'kan, Sayang?"
Devino menghela napas lega karena mamanya ternyata baik-baik saja, "Iya, Ma. Dev jemput Mama sekarang."
Alinda merasa bosan karena hari ini tidak ada lagi yang harus dia kerjakan, pekerjaannya telah selesai. Apalagi tadi Diego–Bos sekaligus suami dari sahabatnya itu tiba-tiba membatalkan meeting tanpa alasan.
Karena tidak ingin membuang waktu sia-sia, dia pun memutuskan untuk pergi ke salon dan melakukan perawatan, siapa tahu nanti Devino akan cepat mencintainya, 'kan? Semoga saja begitu.
"Woy, sendirian aja!"
Seseorang mengagetkan Deina dengan tepukan ringan di pundaknya, Deina mengibaskan tangan seraya memukul bahu pria itu pelan, "Ih! Ngagetin aja!"
"Iya-iyaa, maaf," ucap pria itu sambil tertawa kecil.
Kalian tahu siapa pria itu? Ya, pria itu Devino. Tadi ketika mamanya meminta dia untuk menemaninya menemui dokter Nita, Devino izin untuk menunggu di kantin rumah sakit.
Niatnya ingin mencari makan. Akan tetapi, dia malah melihat Deina yang sedang duduk sendirian di depan ruangan dokter kandungan.
Jadi, dia berinisiatif untuk menghampirinya, tak lupa juga karena dia hobi sekali menjahili Deina. Devino pun mengagetkannya dan berhasil. Deina memang mudah terkejut, tak pernah sekalipun dia gagal jika dalam hal menjahili Deina.
Namun, ada yang aneh dari raut wajah musuh bebuyutannya itu, biasanya dia akan marah-marah tanpa henti ketika dikagetkan seperti barusan, tapi sekarang wanita itu hanya menunjukkan rasa kesalnya sekali kemudian terdiam lagi seperti semula.
"Lo, kenapa sih, Dei?" tanya Devino penasaran.
Deina menoleh sinis dan berujar, "Kepo!"
"Jangan gitu ah, sama sahabat sendiri." Devino terkekeh geli dengan ucapannya, biarlah mumpung tidak ada siapa pun, sesekali dia harus akur dengan Deina–pikirnya.
"Apa? Sahabat? Maaf, Anda siapa, ya? Emang kita kenal?" Ucapan Deina barusan justru membuat Devino tertawa geli.
"Astaga, masih aja gengsi sama gue. Kita kapan sih, mau damai?" tanya Devino berhenti tertawa dan menatap Deina dengan tampang seriusnya.
"Kapan-kapan kalau gak hujan," dengus Deina singkat dan kembali menekuk wajahnya, membuat Devino mengulurkan tangan dan mengacak rambut Deina gemas.
"Ih, apaan, sih! Sok asik deh." Deina menepis tangan Devino dengan kasar.
"Buset, bar-bar banget sih, bumil satu ini!"
"Bodohamat!"
"Iya deh terse–" Ucapan Devino terhenti ketika suster keluar dari dalam ruangan.
"Ibu Deina Devina," ujar suster itu memanggil Deina, kini giliran dia yang akan diperiksa kandungannya.
Deina berdiri merapikan sedikit pakaiannya yang sedikit kusut, setelah dirasa cukup, dia pun berjalan memasuki ruangan. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara suster itu kembali berbicara pada orang yang berada di belakangnya.
"Bapak suaminya bu Deina, 'kan? Gak mau ikut masuk juga ke dalam?" tanya suster itu pada Devino, sedangkan yang ditanya hanya melongo menatap suster yang berdiri di hadapannya.
"Hah? Saya, sus?" tanya Devino seraya menunjuk dirinya.
Suster itu mengangguk, "Iya, Pak. Kalau bukan Bapak siapa lagi, yang ada di sini kan tinggal kalian berdua." Suster tersebut berkata bingung seraya menatap Deina dan Devino secara bergantian.
Baru saja Deina ingin menjelaskan bahwa Devino bukanlah suaminya, pria itu malah dengan seenaknya mendekat dan merangkul mesra bahu Deina seraya berkata, "Iya, sus, saya suaminya. Ayok, Sayang, aku udah gak sabar liat anak kita."
Seketika Deina membelalakkan matanya, kemudian mendelik tajam ke arah Devino.
Apa maksud pria itu mengaku-ngaku sebagai suaminya? Padahal tinggal katakan bahwa mereka tidak saling mengenal dan semuanya tidak akan jadi salah paham seperti ini.
Devino berjalan sembari memapahnya, karena merasa jengkel dengan perbuatan pria itu. Deina pun mencubit pinggangnya cukup kencang, sedangkan sang empu hanya meringis pelan. Namun, tetap melanjutkan langkahnya sampai keduanya benar-benar berada di dalam.