Chapter 1
***
"Kontraksi datang, Bu Valeria. Ayo mengejan!"
Valeria mengangguk lalu menarik napas dalam-dalam. Sambil berpegangan pada seprei bed tempatnya berbaring, dia mulai mengejan sekuat tenaga agar bayinya terdorong keluar.
"Ah!"
Tak berhasil dalam sekali ejanan, Valeria menjatuhkan tubuhnya di bed dengan napas yang terengah-engah, pun keringat membasahi wajah. Lemas dan nyaris tak kuat, dia rasanya ingin menyerah saja.
Namun, bayangan wajah mungil bayi yang sudah lama dia nantikan, membuatnya tak bisa berhenti begitu saja sebelum sang anak lahir dengan selamat.
"Jangan mengejan dulu, biar saya periksa plasentanya."
Valeria kembali mengangguk, lalu dengan sisa tenaga yang ada, dia melirik pria di samping bednya yang sejak tadi mendampingi.
"Kamu kalau enggak kuat, keluar aja, Mas. Aku bisa sendiri," ucap Valeria dengan napas yang hampir tercekat. "Telepon aja lagi Mas Asta, siapa tahu sekarang udah bisa dihubungi."
"Tapi—"
"Aku bisa, Mas Rakta. Tenang aja."
Pria tersebut bernama Rakta. Bukan suami Valeria, dia adalah CEO di perusahaan miliknya yang malam ini mengantar dia ke rumah sakit setelah satu kali dihubungi.
Kontraksi secara mendadak di usia kehamilan yang ketiga puluh delapan minggu, Valeria sebelumnya menghubungi Asta—suaminya. Namun, karena berkali-kali ditelepon, Asta tak memberikan respon, dia beralih pada Rakta yang lagi-lagi bisa diandalkan.
"Serius enggak apa-apa saya tinggal?" tanya Rakta memastikan.
"Serius," ucap Valeria, sambil menahan kontraksi yang kembali datang. "Telepon aja Mas Asta, terus kasih tahu dia, aku mau lahiran. Suruh ke sini, kalau enggak mau, aku akan menceraikan dia."
Di saat seperti ini, sebenarnya tidak tepat melontarkan kalimat tersebut. Namun, Valeria tidak punya cara lagi karena tanpa ancaman, Asta mungkin sulit untuk datang.
Dia dan suaminya bukan pasangan yang romatis seperti suami istri lain. Menikah karena sebuah perjodohan dan paksaan dari orang tua, Asta selama ini memperlakukan Valeria dengan cukup buruk.
Tinggal bersama, tapi seperti bukan pasangan, Asta lebih banyak mengabaikan Valeria dibanding memperhatikannya, bahkan ketika Valeria akhirnya dinyatakan hamil, usai ditiduri secara paksa oleh Asta yang pernah pulang dalam keadaan mabuk, sikap pria itu tidak berubah sama sekali.
Asta tetap bersikap dingin. Tak pernah mengabulkan ngidam Valeria, atau menemani perempuan itu melakukan pemeriksaan, dia benar-benar lepas tanggung jawab—membuat Valeria beberapa kali hampir menyerah.
"Baik kalau begitu. Saya keluar dulu."
Valeria mengangguk sebagai respon. Beberapa detik setelahnya, dia kembali meringis saat rasa sakit yang sempat mereda, kembali datang.
"Kontraksinya datang lagi, Bu Valeria. Ayo!"
Valeria tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan tangan yang kembali berpegangan erat pada seprai, dia mengejan lagi sekuat tenaga.
"Akh!"
Valeria berteriak, saat bagian bawah tubuhnya mulai terbuka lebar.
"Perlahan, Bu Valeria."
Sambil menahan rasa sakit yang semakin menggila, Valeria menggeleng, lalu terus mengejan dengan kekuatan yang tersisa. Selang beberapa detik, kedua kakinya yang terbuka, bergetar hebat—bersamaan dengan ejanan panjang yang dia lakukan.
"Ayo, Bu Vale, sedikit lagi."
Valeria terus berusaha, hingga sepersekian detik pasca dokter berucap, dia merasa sesuatu terdorong keluar seakan tersentak. Bersamaan dengan itu, tubuh Valeria jatuh di kasur lalu suara tangisan bayi pun menguar—memenuhi ruang bersalin yang malam ini hanya diisi olehnya juga dokter dan beberapa tenaga medis.
"Alhamdulillah, bayinya perempuan, Bu Valeria. Selamat dan lengkap tanpa kurang sedikit pun."
Dengan napas yang terengah pun tenaga yang habis tak bersisa, Valeria tersenyum tipis sambil memandang bayi berlumuran darah yang kini ada di gendongan salah satu tenaga medis.
Di detik berikutnya, cairan bening menetes di kedua pipi—bercampur dengan keringat yang membasahi wajahnya. Valeria berhasil. Tanpa didampingi suami, dia mampu melahirkan bayi yang sembilan bulan dikandung dan dijaganya sekuat tenaga.
"Vale berhasil, Ma, Pa," cicitnya dengan suara yang bergetar. "Vale bisa lahirin anak Vale meski enggak didampingi siapa pun."
Persalinan selesai, Valeria yang mampu melahirkan tanpa harus dijahit, segera dipersiapkan untuk dipindahkan ke kamar rawat.
Segala administrasi sudah diurus, Valeria dibawa ke kamar rawat pukul setengah sebelas malam, sementara sang bayi akan menyusul setelah selesai mendapatkan perawatan oleh tenaga medis yang berwenang.
"Selamat, Valeria. Kamu berhasil. Kamu hebat."
Di kamar rawat, Valeria disambut Rakta yang langsung mendekati bednya dengan senyuman hangat terukir. Tak ada orang tua, Valeria benar-benar hanya ditemani pria itu, karena memang persis dua bulan lalu saat usia kandungannya menginjak bulan ke tujuh, orang tua Valeria mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal dunia.
Valeria sebatang kara. Dia adalah anak tunggal yang tak punya adik ataupun kakak. Namun, kehadiran Rakta membuat kondisinya lebih baik, karena pria itu selalu menganggapnya sebagai adik.
"Makasih, Mas Rakta," ucap Valeria, disertai senyuman tipis. "Maaf kalau malam ini aku ngerepotin Mas. Aku enggak tahu soalnya harus minta tolong siapa lagi selain Mas Rakta, karena teleponku ke Mas Asta enggak dijawab."
"Kamu enggak merepotkan, Valeria, karena menjaga kamu adalah kewajiban saya."
Valeria tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca, hingga ingatannya tentang sang suami membuat dia buka suara.
"Mas Asta gimana?" tanyanya. "Apa dia bisa Mas hubungi?"
"Bisa," jawab Rakta. "Bahkan tadi dia menjawab telepon dari saya. Cuman, katanya enggak bisa ke rumah sakit karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Valeria kehabisan kata-kata. Meskipun di masa kehamilannya Asta tidak pernah memperhatikan, dia pikir pria itu akan datang setelah tahu anak yang selama ini Valeria kandung, telah lahir ke dunia.
Di mata Asta, Valeria mungkin hanya istri pilihan orang tuanya yang tak perlu dihargai. Namun, seharusnya pria itu tak bersikap seperti ini padaa darah daging sendiri.
"Valeria, are you okay?"
Valeria tersentak dari lamunan, sebelum kemudian beralih pada Rakta. "Aku enggak oke, Mas, aku sakit hati," ucapnya. "Cuman kali ini aku enggak akan diam aja, karena aku capek."
"Kamu mau lakuin apa?"
"Aku mau bercerai dari Mas Asta terus pergi sejauh mungkin dari dia," ucap Valeria. "Apa Mas bisa bantu?"
"Urus perceraian kamu?"
"Iya, dan memastikan gugatan ceraiku diterima pengadilan," ucap Valeria. "Bisa?"