Awal Yang Perih
“Keep enjoy in the game! Anggap ini adalah pertandingan final, jadi kalian harus berusaha maksimal.” Pelatih basket berusia paruh baya menepuk-nepuk bahu Kennan dan beberapa teman-temannya yang lain.
“Siap Coach!!” ujar mereka serempak.
Ketika semua temannya mengharapkan kemenangan, lain halnya dengan pemuda tinggi tegap bernama Kennan. Lelaki tampan yang irit bicara itu tampak santai, ia berpikir tidak peduli mencetak skor berapa pun, yang penting memberikan kontribusi untuk tim.
Pertandingan pun, dimulai.
Pemain inti satu persatu dipanggil ke lapangan termasuk Kennan.
“Ini dia Kapten basket Victory, Kennan Alister Edberth!”
Riuh sorak dan penonton tertuju padanya yang hampir semuanya perempuan. Bahkan jerit histeris karena sangat terpukau dengan paras menawan milik Kennan, cukup memekikkan telinga.
'Memuakkan!' batin Kennan kesal.
Dengan tatapan dingin pada lawan, Kennan pun melakukan tip off. Sangat tidak heran jika ia menang karena loncatannya terkenal cukup tinggi.
Di quarter pertama saja, tim Kennan unggul dengan skor 10-0. Dan terus unggul hingga babak terakhir.
Kennan pun tersenyum sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. “Hh! Dasar pecundang. Kalian memang selalu kalah.”
Setelah permainan selesai, Kennan menemui sang pelatih.
“Coach. Sesuai yang pernah saya katakan sebelumnya, setelah pertandingan finnal nanti, itu adalah permainan terakhirku di tim. Setelah itu, aku tidak lagi bermain basket.”
Pelatih itu kambali menepuk bahunya dengan seraut wajah sedih.
“Kami kehilangan salah satu pemain terbaik. Tapi, jika suatu saat kamu mau kembali bermain, pintu selalu terbuka untukmu.”
Mendengar kalimat itu, Kennan mengangguk seraya membungkuk. “Terima kasih Coach.”
Ia mundur beberapa langkah dan meninggalkan ruang ganti.
Bukan tanpa alasan ia berhenti dari olah raga yang sangat dicintainya itu. Tapi ada seseorang yang memintanya untuk berhenti, dengan alasan tidak suka pada suara teriakan histeris penonton perempuan.
'Kekasihku sangat pencemburu.’
****
“Hai!” Kennan berlari ke arah wanita yang tengah sibuk memoles pipinya dengan blush on.
Wanita itu tampak cantik dengan riasan tebalnya.
Tampak desahan kasar dari wanita itu, saat Kennan mendekatinya.
“Jangan berteriak. Aku tidak tuli,” desis wanita itu.
Kennan tergelak. “Sorry. Ini hadiah untukmu."
Pemuda itu memberinya seikat bunga mawar putih. Namun, Laura tidak menggubris dan tatapannya tetap mengarah pada cermin.
Melihatnya, Kennan melemaskan bahu karena kecewa, walau mencoba untuk sabar.
"Kita jadi kencan kan?”
Tatapan Kennan begitu penuh harap. Selama dua bulan sejak mereka diam-diam berhubungan, hanya tiga kali saja berjalan berdua, itu pun harus secara rahasia.
“Aku tidak mau seisi kampus mengetahui hubungan kita.” Itulah kalimat yang sering diucapkan wanita itu. Sikap ketusnya sangat kontras dibanding saat wanita itu menyatakan perasaannya pada Kennan dulu. Saat itu, ia setengah memaksa penuh rayuan pada pemuda itu untuk menerima cintanya.
Entah apa yang ada di pikiran pemuda yang masih berusia dua puluhan itu, hingga akhirnya menerima cinta Laura.
Semenjak berhubungan, Kennan selalu berusaha memahami Laura, walau terkadang ini tidak adil baginya karena menjadi 'pacar rahasia' itu tidak enak.
Wanita itu tampak menggeleng lemah. “Maaf ya Ken. Aku lagi-lagi ada urusan penting, ini aja buru-buru. Lain kali aja oke!”
“Ta-tapi ....”
Wanita yang jauh lebih tua dari usianya itu, berlalu dan masuk ke mobil porsche hitam miliknya, meninggalkan Kennan dengan wajah penuh kecewa.
'Huft! Ini sangat memuakkan, kalau tau akan terus diabaikan begini, harusnya aku gak menerima cintanya saat itu. Buang-buang waktu!' batinnya bergemuruh.
Sejenak ia menyesal, kenapa harus berhenti dari club basket demi wanita yang ia sendiri pun tidak tahu, apakah ini sebuah perasaan cinta atau bukan?
Drrtt ....
Drrtt ....
Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor telepon tidak dikenal.
“Halo?”
“Halo, dengan Kennan?” tanya suara dari seberang telepon.
“Iya, saya sendiri.”
“Ah, syukurlah. Kami berusaha menghubungi pak Hans, namun hp nya tidak aktif.”
“Ada apa? Ini siapa?” tanya Kennan.
“kami dari tim medis. Bisakah ke rumah sakit Harapan sekarang? Ibu Anda masuk rumah sakit.”
Deg!
Mata elang itu membulat sempurna.
Tanpa menghiraukan apa pun lagi, ia berlari mendekati motornya dan langsung melesat menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, ia menatap Rose – ibunya, tampak lemah tak sadarkan diri.
“Penyakit stroke yang diderita ibumu semakin parah. Kemungkinan beliau akan lumpuh,” terang dokter.
Kennan tidak siap mendengar berita tak menyenangkan ini, lututnya terasa lemas.
Tidak mau membuang waktu, ia harus segera menemui ayahnya. Entah kenapa, sejak dua bulan terakhir ini Hans begitu sibuk dan mengabaikan Rose juga dirinya yang merupakan anak semata wayang.
‘Papa sedang sibuk apa sebenarnya?' batin Kennan bertanya-tanya.
****
Menurut informasi yang didapatkan dari kantor milik Hans. Lelaki paruh baya itu diketahui tengah berada di sebuah apartemen.
Kennan bergegas menemui lelaki paruh baya itu, dan kini ia telah sampai dan berdiri di depan pintu. Tentu saja, ia hafal gedung mewah itu. Rose telah menghadiahkan apartemen tersebut, saat Hans berulang tahun sekitar dua tahun lalu.
Pemuda itu menarik napas panjang, kemudian memencet bel. Setelah beberapa kali dicoba, akhirnya seseorang membukanya.
Matanya seketika terbelalak, atas apa yang ia lihat.
Kekasihnya, yang katanya sangat sibuk hingga beralasan untuk tidak pergi kencan dengannya, ternyata tengah berada di sebuah apartemen. Bahkan tubuhnya, hanya memakai lingerie berwarna merah.
Wanita itu tampak tengah bergelayut manja dengan seorang lelaki yang sangat dikenalnya.
“Papa ....”
“K-Ken. Ka-kamu ada di sini?” Hans tergagap dan seketika melepas pelukan. Ia hanya tampil tellanjang dadda di hadapan anaknya itu.
Kennan menggeleng kuat, ia tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Saat ibunya tengah berjuang antara hidup dan mati, rupanya sang ayah tengah bermesraan dengan perempuan lain yang tak lain.dan tak bukan adalah kekasihnya sendiri.
“Kalian berdua benar-benar menjijikan. Dan kamu!” Kennan menunjuk ke arah hidung wanita itu.
“Anggap kita gak pernah kenal sebelumnya,” imbuhnya.
Tidak ingin lama-lama menatap pemandangan yang menyakitkan, ia berlari meninggalkan apartemen. Samar terdengar panggilan dari Hans, namun ia abaikan. Sangat tidak mungkin, ayahnya berlari mengejar, karena kondisinya nyaris tidak memakai baju.
“Kalian berdua! Brrengsek!” teriaknya saat mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
Ia benci menangis dan tampak lemah. Namun rasa sakit itu tidak terbendung lagi, Kennan berkali-kali menepuk-nepuk daddanya yang terasa sesak. Dikhianati kekasih dan juga sang ayah yang ia banggakan selama ini, membuatnya sulit untuk percaya.
'Ya Tuhan aku gak nyangka bisa sesakit ini ... sekarang, aku harus bilang apa pada mama soal ini? Pasti, beliau pun tak kalah terlukanya denganku,' batinnya.
Hari mulai gelap. Kennan tidak kunjung pulang, ia memutuskan terus mengendarai motor berkeliling kota berharap kesedihan itu menguap pergi.