Bertemu Gadis Tomboy

1128 Kata
_Tiga tahun kemudian_ Rintik hujan membasahi jalanan ibu kota. Sebuah tempat yang terkenal dengan julukan kota metropolitan, di mana gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, dan berjejer mobil-mobil pribadi yang menambah kemacetan jalan. Dengan menggunakan kaos oblong longgar berwarna putih, dan celana selutut, seseorang bertopi cokelat usang. Bersandar di tembok belakang bangunan ruko. Tetesan air hujan menambah perih luka lebam yang menyiksa. Di hadapannya, tiga lelaki berwajah garang dan bertato mencengkeram kaos bagian lehernya. “Sekali lagi, lo ikut campur urusan kami! Kurobek ginjalmu!” geram salah seorang dari mereka. “Punya hak apa melarangku hah?! Kalian bahkan bukan orang tua mereka!” ucapnya. Ketiga lelaki yang bertindik di kedua telinganya kompak terkejut dan saling menatap mendengar suara orang itu. “Wah, jadi di balik topi lusuh ini, lo seorang perempuan? Kejutan gak terduga,” ucap salah seorang dari mereka di sela tawa. Kemudian mengangkat kasar dagu lancip gadis itu. “Dengar ya, Nona sok tahu! Anak-anak itu sengaja dilatih, mencari uang sendiri agar bisa mengisi perut mereka, apanya yang salah?” Tanpa rasa takut, gadis berusia dua puluh satu tahun itu mendecih. “Kalian udah ambil uang hasil jeri payah mereka, masih tanya apanya yang salah, dasar sialan!” Satu tamparan melayang di pipinya. Membuat gadis itu jatuh tersungkur, hingga cairan merah keluar dari sudut bibirnya. “Kami gak peduli lo seorang cewek. Yang pasti, jauhi anak-anak itu, dan jangan pernah tampakkan wajahmu di sini lagi. Kalau masih ngeyel, akan kubuat lo menyesal!" “Ya, bisa-bisa kehormatanmu kami ambil. Ha ha ha,” timpal salah seorang lainnya, lalu mereka tertawa bersama. Ucapan terakhir mereka, membuat nyali gadis itu menciut. Dia terdiam, sampai ketiga orang itu pergi begitu saja meninggalkannya. Gadis itu berusaha bangkit walau terhuyung, rasa perih di sekitar wajah masih terasa. Sebelum ketiga lelaki itu tahu kalau ia seorang perempuan, pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah mulusnya. “Aaaarggh!! Dasar brengsekk!” umpatnya di tengah hujan yang terus turun. Tak jauh darinya, terdengar suara tepuk tangan dari seseorang. Sontak membuat gadis itu menoleh ke arah yang minim cahaya, hingga netranya bisa menatap wajah berahang tegas mendekatinya. “Pertunjukkan yang amazing. Jujur, baru pertama kali ini gue lihat seorang perempuan dengan berani melawan tiga laki-laki. Gue bisa tebak, mereka sepertinya para preman yang hobi malak,” ucap pemuda berwajah bersih itu. Rupanya lelaki itu sedari tadi memperhatikan adegan secara detail dengan santai. “Siapa lo ikut campur urusanku?” tanya gadis itu, menatapnya dengan nyalang. “Kennan Alister Edberth, panggil aja Kennan. Lo siapa?” pemuda itu balik bertanya, sambil mengulurkan tangannya. Namun gadis itu tidak membalasnya. “Huft! Oke kalau gak mau sebut nama, tapi sangat gak baik kalau lo terus berdiri di sini sementara hujan terus turun. Ayo, menepi.” Gadis itu masih bergeming. Dengan sigap Kennan memegang pergelangan tangannya, berlari kecil mendekati flyover. “Lepas!” bentaknya sambil menarik tangannya. Lalu, diusap-usap pergelangan tangannya yang cukup sakit. “Maaf, terlalu kencang megangnya ya." “Lo pergi dari hadapan gue!” ujarnya memotong ucapan Kennan. “Gue bingung mesti ke mana. Boleh ikut kamu gak?” tanya Kennan kemudian. “Lo gila ya? Baru kenal minta ikut.” “Minimal sampai hujan reda.” Merasa heran, gadis itu menatap Kennan dari atas hingga bawah. Baju yang dipakai tampak bersih, ia pun curiga khawatir kalau lelaki itu, pemuda labil yang kabur dari rumah. “Duh! Buang-buang waktu ngobrol sama orang gak jelas kayak lo!” Gadis itu setengah berlari meninggalkannya, menerobos hujan yang semakin deras. Tanpa sadar, Kennan mengikutinya dari belakang. **** “Ya Tuhan Joanna! Kenapa hujan-hujanan!” ujar seorang nenek yang muncul di balik pintu sebuah rumah mungil di antara deretan rumah-rumah yang besar. Sepanjang Kennan melihat, hanya rumah itu yang tampak kecil dan sederhana. Ia pun, memilih berdiri di balik pagar memperhatikan kedua perempuan yang berbeda jauh usianya. Dengan telaten, wanita tua itu melap tubuh Joanna yang kebasahan. “Masuklah! Kamu harus membersihkan dirimu lalu mengganti baju.” Namun gadis itu bergeming dan hanya menundukkan kepala. “Kenapa?” tanya wanita itu yang bernama Elle. “Maaf ya Oma, tadi kan Jo mau beli nasi dan lauk, tapi__” “Eh, eh sebentar. Kenapa mukamu kok biru gini?” tanya Oma Elle yang baru saja melihat wajah serta kedua lengannya yang terlihat lebam. “Kepentok tiang listrik,” ujarnya asal bicara. “Kepentok dari wajah sampai tangan?” Oma Elle menatap tak percaya. "Ah, jangan-jangan kamu pasti dikeroyok preman lagi gara-gara membela anak pengamen jalanan, iya kan?” imbuh Elle. Gadis itu menarik napas panjang. “Iyaaaa.” Mendengar jawaban itu, sontak Oma Elle menjewer kedua telinga Joanna. “Aaakkh! Sakit Oma.” “Kamu harus berubah Joanna, gak mungkin begini terus! Cucu Oma kan perempuan.” “Iya, Oma. Iya.” “Ya sudah. Ayo, masuk di luar sangat dingin,” cetus Oma Elle, kemudian menutup pintu. Sementara Oma Elle membuatkan cokelat panas, gadis itu memilih mandi membersihkan diri. Namun betapa terkejutnya ia, saat berjalan menuju kamarnya terdengar suara tawa Oma Elle dengan seseorang di ruang tamu. Ia pun melangkah dan membulatkan mata. “Lo beneran ngikutin gue?” tanya gadis itu menatap tajam. “Nggak ih, geer. Gue cuma lagi nyari temen buat makan bareng. Mau ikutan?” ujar Kennan santai, tapi terdengar menyebalkan di telinganya. Gadis itu mendengkus kesal. Ia tahu, lelaki itu sengaja mengikutinya, bahkan membelikan makanan buat mereka. “Jo, mau sampai kapan kamu berdiri di situ. Sini ikut makan,” ucap Oma. Karena perutnya yang lapar sudah tidak bisa kompromi lagi, akhirnya gadis itu menyerah dan ikut makan bersama mereka. “Heh!! Gue gak kenal ya sama lo!" "Tapi, gue tau namamu. Joanna Olivia Wyne, betul kan?" Joanna memandang ke arah Elle, pasti wanita paruh baya itu yang memberi tahu namanya. "Lo, jangan co_" “Ssst ... kalau makan jangan sambil ngomong, nanti tersedak. Benar kan Oma?” Kennan memotong ucapannya, sambil mengedipkan sebelah mata, membuat Joanna semakin kesal dibuatnya. Setelah makan, Joanna membereskan piring dan melap meja. Sedikit pun ia tidak ingin menatap wajah lelaki itu. “Makasih ya Nak Kennan, sudah kasih kita makan. Joanna beruntung bertemu orang sebaik kamu,” ucap Oma Elle. “Sama-sama. Kalian tinggal berdua?” tanya Kennan. “Betul. Sejak lahir, Jo tinggal sama Oma,” terang wanita tua itu. Kennan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia tidak ingin bertanya lebih yang khawatir membuat mereka tidak nyaman. Ia pun menoleh ke belakang, menatap Joanna yang sibuk mencuci piring. “Oma. Maaf, tadi saya gak sengaja mendengar obrolan kalian. Kok, Oma tau kalau Joanna dipukuli para preman yang suka malak?” tanya Kennan sambil berbisik. “Pernah ada salah satu teman kecilnya yang ngadu ke Oma soal ini. Ah ... Joanna memang keras kepala, seperti ibunya ....” Mata wanita itu tiba-tiba meredup. Kennan dapat menangkap, jika wanita tua itu sangat khawatir akan keselamatan cucunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN