Menjauh

1527 Kata
Di dalam mobil, Baik Kennan atau pun Joanna sama-sama terdiam. Suasana dengan pencahayaan yang minim itu tampak sepi. Sesekali, Kennan melirik ke arah Joanna. Ia masih khawatir dengan kondisi gadis itu pasca insiden tadi siang. Dalam diam, Joanna memikirkan Bella yang pulang sendirian. Perasaan tidak enak hati, seketika menyeruak di daddanya. Pikirnya, harusnya Bella yang diantar pulang oleh Kennan, bukan dirinya. “Bagaimana kondisimu?” tanya Kennan memecah keheningan. Joanna menoleh sekilas ke arahnya, lalu pandangannya kembali lurus. “Aku agak menggigil, mungkin efek luka. Tapi mendingan dibanding tadi.” Kennan meminggirkan mobil untuk berhenti sejenak, dan meraih jaket tak jauh darinya. “Pakai jaketku.” Kennan dengan lembut merapatkannya di punggung Joanna. “Makasih,” ucap Joanna yang seolah menghindari tatapan pemuda itu. Ribuan kata berenang di kepala Kennan, tapi ia benar-benar kepayahan untuk mengungkapkannya. Termasuk soal kesalah pahaman mereka akhir-akhir ini. “ken ....” “Ya?” “Makasih ya, dan maaf atas kata-kataku tadi.” “Kata yang mana?” Kennan menatapnya intens. Joanna menundukkan kepalanya. Ia sadar, jika Kennan tampak pendiam sejak tadi, dan yakin itu semua karena kata-katanya yang mungkin menyinggung perasaan pemuda itu. “Soal menuduhmu, bersikap buruk pada Bella.” Kennan melajukan kembali mobilnya dengan pelan. “Udah kubilang gak apa-apa. Semuanya salahku, dan akan kuselesaikan sendiri nanti. Jadi, jangan dipikirkan ya, dan kalau kamu gak nyaman kita dekat, mulai sekarang aku akan mencoba jaga jarak, biar kamu nyaman.” Joanna menatapnya tak percaya. Bahkan setelah kalimat itu meluncur, Kennan tidak lagi bersuara sampai mobil miliknya berhenti di depan gerbang rumah Joanna. Joanna melepas seat belt dan jaket milik Kennan dengan lambat, berharap lelaki itu mau meralat ucapannya. Tapi, ternyata tidak. Kennan turun lebih dulu, dan membukakan pintu untuk Joanna. Kembali lengan kekarnya menggendong tubuh itu masuk ke rumah dan mendudukkannya di sofa ruang tamu. “Rumahmu sepi,” bisik Kennan tanpa ekspresi. Joanna mengangguk. “Jam segini, Oma udah tidur. Mau minum dulu?” Kennan menggeleng. “Aku langsung pulang. Kamu dan oma harus istirahat.” Ada yang mencelos di hati Joanna menatap punggung itu berlalu begitu saja meninggalkan rumahnya. Kini, ia dilanda bingung siapa yang harus dipercayai. Bella, atau Kennan. **** Awan pagi berselimut kabut. Seminggu berlalu. Sejak hari itu, Kennan benar-benar tidak menghubunginya, atau datang ke rumah sekedar menjenguknya. Ia rindu candaan receh Kennan, obrolan hangat atau melakukan permainan berdua. Pemuda itu, benar-benar menepati janjinya untuk menjauh. “Jo, kamu yakin mau masuk kuliah? Kakimu udah benar-benar pulih?” tanya Oma Elle. “Sudah Oma. Terakhir aku dicek sama dokter Gerald, lukaku udah sembuh.” “Ah, syukurlah Oma lega mendengarnya. Tapi, seminggu ini hanya dokter itu yang datang ke sini, tapi nak Kennan tidak terlihat. Apa dia sakit?” Joanna menelan saliva. Ia bangkit setelah selesai mengikat tali sepatu dan menggendong ransel hitam miliknya. “Nggak Oma. Kak Kennan lagi menghadapi musim ujian, doakan dia segera lulus dengan nilai sempurna ya Oma.” “Oh, iya. Hampir lupa, kalau nak Kennan mau selesai kuliah. Pastilah didoakan yang terbaik.” “Emm, Oma. Menurutmu, Kennan lelaki yang seperti apa?” Alis Oma Elle bertaut, namun kemudian ia menjawab dengan cepat, “Pemuda yang baik dan sopan. Kenapa?” “Nggak, nanya aja.” Sejak dulu, neneknya bukan tipe yang mudah menerima orang asing untuk dekat dengan Joanna. Tapi sangat beda sikapnya semenjak lelaki itu hadir. Joanna menyerahkan secarik kertas. “Oma, tolong berikan resep obat ini ke Nanny yang merawatmu ya. Harus ditebus hari ini, takutnya aku gak sempat.” “Iya, Jo. Nanti diberikan.” Baru selangkah kaki Joanna, Oma Elle memegang jemarinya, membuat gadis itu sontak menoleh. “Sebelum pergi, Oma ingin berfoto berdua denganmu.” Ada perasaan yang tidak biasa mendengar kalimat itu, namun Joanna mencoba tersenyum. Tanpa menolak, ia merogoh ponsel miliknya untuk mengambil beberapa foto berdua. “Kamu cantik cucuku,” ujar Oma Elle menatap layar yang berpendar itu. Joanna tersenyum. “Oma juga cantik. Oya, tumben deh, pengen foto-foto.” Tampak wanita renta itu terkekeh. “Emangnya gak boleh, kalau Oma berfoto sama cucunya?” “Hehe, nggak sih. Gak biasanya aja.” Joanna memeluk neneknya dari samping, kedua pipi mereka saling beradu. “Oma, mau sesuatu apa? Nanti Joanna kabulkan.” Oma Elle menggeleng. “Oma udah tua, gak mau apa-apa selain melihatmu bahagia. Dan tolong, tetap bersama Oma ya," ujar Oma Elle yang sukses membuat Joana ingin menangis. “Itu pasti Oma. Aku akan selalu di sisimu.” **** Sepanjang perjalanan. Sikap aneh sang nenek cukup membuat Joanna kurang fokus, hingga ia sampai di kampus dan tersandung batu. “Aduh!” Joanna memilih duduk di kursi area kampus sambil mengelus kakinya. “Joanna. Udah masuk kuliah? Kudengar lo habis digigit ular,” seru Jimmy mendekat. Ia langsung mendudukkan dirinya di samping Joanna. “Hai, Jimmy. Iya, baru hari ini masuk kuliah. Tau dari siapa?” “Kennan cerita.” Tanpa sadar bibir Joanna melengkung. “Kalau udah sembuh, kenapa kakinya dipegangi terus?” Jimmy kembali bertanya. “Oh, tadi ... gue tersandung batu.” Jimmy tergelak. “Ada-ada aja lo. Ngebet kawin ya?” “Hah? Ngawur lo.” “Canda. Ya udah, lain kali hati-hati, gue ke fotokopian dulu ya.” Jimmy mulai beranjak. “Oke.” Langkah Jimmy terhenti. Ia menoleh ke arah Joanna. “Oh, ya Jo. Kalau lo gak sibuk, ajak Kennan ngobrol dong. Sejak lo gak masuk kuliah, dia lebih pendiam dan menghabiskan waktu di perpustakaan, gue ngajak main juga ditolak mulu!” Joanna tercenung mendengarnya. ‘Ah, suasana yang gak mengenakan,' batinnya. Ia melirik jam tangan. Masih punya waktu banyak untuk mengikuti mata kuliah pertamanya. Ia melenggak menuju lantai atas, ke ruang perpustakaan. **** Benar kata Jimmy. Di sudut ruang, Kennan asyik dengan buku-buku sains yang ia baca. “Ehem!” Deheman Joanna, mengalihkan pandangan Kennan ke arahnya. “Hai Tuan es batu. Apa kabar?” Joanna mencoba mengusir rasa tidak tau malunya, dan duduk tepat di depan Kennan. Pemuda itu, melipat kedua tangan, lalu menatapnya. “Kamu udah sehat?” Joanna mengangkat kedua bahunya. “Kalau belum, gak akan kuliah dong.” Kennan mengangguk, ia kembali menatap huruf-huruf kecil di buku tebalnya. Ini seperti Kennan yang dulu pertama dikenal, dingin dan kaku. Dua menit berlalu, Kennan masih mendiamkannya. Tentu saja, itu membuat Joanna merasa diabaikan. Ia bangkit dan mencoba melangkah, siapa tau pemuda itu memanggilnya lalu mengajaknya bicara. Tidak disangka, bahkan saat Joanna sudah hampir belok ke bagian loker lain, Kennan masih asyik menunduk – menatap ke arah buku. Joanna mendengkus kesal seraya menghentakkan kaki, ia berjalan cepat dan meraih pergelangan tangan Kennan. “Ngapain?” tanya lelaki itu. “Mau tau mau ngapain? Ikut gue, yuk!” Dengan sekuat tenaga, ia menggeret tubuh tinggi itu. Diam-diam, Kennan sibuk menahan tawa. Joanna yang mungil, seperti tikus Jerry yang sibuk menarik ekornya Tom. Mereka menaiki anak tangga, terus sampai ke atas. Hingga mereka sampai di markas - maksudnya tempat keduanya selalu mengobrol berdua, yaitu di atap gedung kampus. Angin langsung menerpa wajah mereka. Joanna menatap Kennan yang masih bergeming. “Ken, kayaknya lo beneran marah dan kecewa sama gue,” ucap Joanna membuka obrolan. “Nggak, siapa bilang?” “Mulut dan hatimu beda.” Kennan terkekeh hambar. “Cuma perasaanmu.” “Mau sampai kapan lo menghindariku? Selamanya?” Kennan melirik ke arahnya. “Sampai kamu kembali nyaman, bukannya ini maumu? Jauh sebelum ini kan, kamu yang menghindar. Ingat?” Joanna menghela napas panjang. “Iya, tapi kan itu kulakukan demi Bella, bukan keinginan hati. Lagian saat itu ... gue benci banget sama lo!” Lelaki itu menatap lekat-lekat wajah Joanna. “Demi Bella, kamu jadi menilaiku minus. Aku penasaran, dia ngomong hal buruk apa tentangku sampai kamu mempercayainya dari pada aku yang lebih dulu mengenalmu,” tegas Kennan. Joanna membeku. “Joanna. Saat kamu lebih percaya padanya, itu menyakitiku,” imbuhnya. Wajah Joanna memucat, ia menarik salah satu kursi untuk bisa diduduki. “Maaf, Ken. Tapi, saat gue difitnah soal obat-obatan terlarang, Cuma Bella yang percaya padaku. Jadi, gue bisa menilai dia cewek yang baik.” Kennan berdecih. “Apa kamu lupa, kalau aku juga gak percaya fitnahan itu? Tapi ... kenapa, lebih percaya sama dia dibanding aku?” Joanna sontak menoleh sambil menatap tajam. Ia kembali bangkit. “Lo gak tau kondisi Bella malam itu! Dia kacau banget. Hujan-hujanan, sambil nangis dan berjalan sendirian jauh-jauh ke rumahku. Bella juga tampak sangat stress dan ketakutan akibat ulahmu!” ujar Joanna setengah membentak. Ucapan itu, membuat kening Kennan mengerut. “Emang aku habis ngapain dia coba?” Joanna menggelengkan kepala, karena sangat pusing memikirkan ini. “Bukankah ... saat aku jujur, Bella menerima dengan legowo. Kenapa tiba-tiba memfitnahku? Gak paham deh!” sambung Kennan. “Jujur soal apa?” tanya Joanna. “Soal perasaanku yang sebenarnya cintanya sama kamu.” Joanna terpaku. Kennan pernah mengucapkan kata itu, tapi selalu dinilai Joanna sebagai candaan. “Aku cuma manfaatin dia, biar kita tetap dekat. Sadar ini salah, makanya aku langsung ngasih penjelasan dan ucapan maaf pada Bella. Waktu itu, dia memaafkanku, kok. Tapi kenapa jadi berubah?” terang Kennan tidak paham. Rentetan kalimat itu, jelas terdengar. “Serius. Lo, beneran suka sama gue Ken?” Joanna langsung berdiri menghadapnya sambil menatap tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN