"Iya, serius," tegas Kennan.
Tetap saja, Joanna seolah tidak percaya.
Mungkin saja, pemuda itu tengah stress karena menghadapi masalah pelik kedua orang tuanya. Atau Kennan tengah mempermainkan perasaannya.
“Kamu masih menganggap ucapanku candaan?” tanya Kennan.
Joanna menggigit bibir bawahnya.
“Kupikir begitu. Karena kayaknya gak mungkin lo suka sama gue," ujar Joanna dengan tatapan tak percaya.
Kennan menarik napas. Kesal sebenarnya, sudah dituduh macam-macam, dijauhi, dan sekarang tidak dipercaya. Anehnya, ia tidak bisa membenci makhluk cantik bernama Joanna.
“Jo, jangan membuatku susah. Aku lain dari cowok di luaran sana, yang mampu merayu dan mengucapkan kata-kata romantis buat meyakinkan. Kamu tinggal menerima cintaku aja lalu jalani, dan lihat apakah aku serius padamu atau nggak.”
Joanna menelisik manik elang itu.
“Mau ya!” ujar Kennan.
“Kalau nanti lo nyakitin gue gimana? Tau kan, gue trauma ditinggalin?”
Kennan menangkup kedua pipi putih gadis itu.
"Nggak, Sayangku."
"Apa jaminannya?"
Tarikan napas panjang itu terdengar, Kennan berusaha sabar dengan sikap Joanna.
“Itu gak akan pernah terjadi, aku janji. Kecuali kalau aku mati duluan,” cetus Kennan.
Ucapan Kennan sukses membuat Joanna bungkam. Rasa takut itu menari-nari di pelupuk mata, walau sisi lainnya ia butuh seseorang untuk menemani kesepiannya. Sekali lagi, Joanna menatap lekat-lekat wajah tegas lelaki itu.
Apakah Kennan, lelaki yang tepat?
“Diam artinya setuju. Mulai detik ini, kamu milikku. Setelah lulus kuliah dan kerja, aku akan melamarmu.”
Bola mata lentik itu membulat.
“Main lamar aja lo!”
“Itu, karena aku serius sama kamu. Satu hal lagi, jangan manggil gue lo. Kurang romantis, kita kan bukan sahabat lagi, tapi pa-sa-ngan ke-ka-sih. Catet!” terang Kennan.
Joanna terkekeh dibuatnya. "Oke Tuan es batu. Tapi kamu belum mendengar jawaban dariku, diterima atau nggak," cetus Jaonna.
Kennan menarik tubuh mungil itu ke dekapannya. "Mau nggak mau, kamu harus jadi kekasihku, titik."
Joanna memukul dadda lelaki itu. "Pemaksaan!"
"Kamu milikku sekarang. Milikku," tegas Kennan mengeratkan pelukannya.
Seulas senyum terukir, walau dalam diri Joanna belum bahagia sepenuhnya, karena ada hati yang harus dijaga.
“Kamu tau nggak Jo. Aku selega ini lho bisa memilikimu.”
“Apanya yang bikin lega?”
“Entahlah, aku selalu tenang dan bahagia deket-deket kamu. Sesuatu yang belum pernah kurasakan kalau saat bersama keluargaku, tau sendiri dong, kenapa.” Mata Kennan meredup.
Mereka saling melepas rengkuhan.
“Awal kenal, aku sempat iri sama kamu, Ken. Pasti happy, dari keluarga yang serba berkecukupan. Ternyata, gak begitu juga. Tuhan tetap kasih ujian pada setiap orang," ucap Joanna.
“Kamu benar. Makanya, aku ingin melepas belenggu ini, dengan terus bersamamu.”
Keduanya saling melempar senyuman.
Mereka membiarkan angin menyapu dengan lembut, dengan debu halus yang menari-nari - seolah ikut berbahagia melihat keduanya.
"Ng ... Ken maaf ya, soal kejadian akhir-akhir ini. Jujur aja, kata-kata Bella membuatku sempat takut sama kamu."
Kennan mendengkus kesal. "Rese cewek itu! Gila aja, aku melakukan hal gak senonoh di kafe. Kalau benar, mestinya dia melaporkanku ke polisi. Ya kan?"
Joanna menautkan alis. "Di Kafe?"
"Iya, di Kafe Fun. Emang di mana lagi?"
"Bukan di Villa kamu?" tanya Joanna bingung. Ia sempat luput bertanya hal ini.
Kennan berdecak kesal. "Tanya sama Bella, villa apa? Keluargaku gak punya villa di kota ini. Ngawur tuh, cewek. Udahlah, mulai detik ini jangan dekat-dekat sama cewek stress itu, bisa-bisa hubungan kita terganggu," jelas Kennan.
Joanna menelan saliva, sekali lagi Bella telah berbohong kepadanya.
"Iya, Ken."
Hening.
Tiba-tiba, ada lampu menyala di atas kepala Kennan.
“Lupakan soal dia. Mending fokus ke kita. Gimana kalau kita rayakan hubungan ini?”
Joanna mengetuk-ngetuk dagu lancipnya dengan telunjuk.
“Oke, tapi apa ya? Main futsal?” tawar Joanna.
Kennan menepuk dahi. ‘Nasib punya pacar manly!’
“Please, Jo! Agak romantisan dikit dong, dinner di restoran misalnya.”
“Oh, begitu ya. Oke setuju.”
“Sip! Besok malam jam delapan aku jemput.”
“Apa aku harus dandan?” tanya Joanna. Walau begitu, ia paham, apa itu dinner.
Di mana, kekasih pria akan memakai jas formal lalu pihak wanita, akan memakai gaun indah dan memakai polesan make up di wajah. Barulah pantas memasuki restoran untuk dinner romantis. Sementara dia?
Kennan tersenyum. “Yang penting kamu nyaman, aku suka kamu apa adanya, kok.”
Joanna tersenyum kotak. "Makasih Ken, ya beginilah aku. Gak kayak cewek lainnya."
Kennan merangkul bahunya, sebelah tangannya lagi menggelitik pucuk rambutnya.
****
"Kamu lagi mikirin apa?"
Mereka berjalan beriringan menuju pulang, tak peduli banyak pasang mata memandang keduanya karena cara Kennan yang tanpa ragu terus merangkul bahu Joanna sepanjang jalan.
"Banyak."
Kennan tersenyum. "Salah satunya."
"Gak tau, banyak ketakutan aja pokoknya."
"Emang aku nggak? Sebenarnya kita sama lho, sama-sama trauma soal cinta dan kasih sayang. Tapi, dengan itu kita saling menguatkan, saling jujur dan setia."
"Kalimatmu sering aku dengar di drama-drama televisi,” seloroh Joanna.
Kennan sontak menoyor kepalanya. “Iyain kenapa sih? Gak romantis banget kamu. Padahal aku udah serius," sungut Kennan.
“Halah! Bilang aja kamu malu gak bisa merangkai kata-kata.” selidik Joanna.
“Nah, lo tau!” Kennan mendelik. Wajahnya sudah memerah.
Joanna menyikut lengan pemuda itu.
“Ciee ngambek. Tapi by the way, kadang ngelakuinnya gak semudah bacotanmu, Ken."
Tawa Kennan meledak. "Ya udah, jalani aja dari pada nggak."
"Soal warga kampus gimana? Lihat tuh, pada ngelihatin kita, mungkin dipikiran mereka, kamu seorang pangeran tampan lagi pacaran sama itik buruk rupa."
"Tenang. Aku gak akan membiarkan permaisuriku terluka, kalau sampai itu terjadi maka mereka gak akan hidup tenang karena bakalan kuteror sampai berhenti mengganggumu," seloroh Kennan walau sebenarnya, ia berbicara serius.
Hati siapa yang tidak berbunga-bunga dengan kalimat itu. Saat ini, Joanna seolah gadis paling beruntung saentero kampus.
“Horor banget sih! Teror-teror segala.”
“Itu kan, misalnya Joanna Sayang.”
Joanna mendorong kuat-kuat punggung Kennan. “Kumohon jangan manggil sayang, Ken. Geli gue!”
“Oke, deh Sayang ....” goda Kennan.
“Ken!!” bentak Kennan kesal.
Kennan berlari ke arah parkiran.
“Apa Sayang!” teriaknya.
Mereka tidak menyadari, ada seseorang yang menatap di kejauhan dengan raut wajah benci dan perasaan bergemuruh hebat.
.
.
Happy reading kesayangan :)