Entah sudah berapa hari, Joanna tidak kunjung membalas chat atau menerima panggilan Kennan. Gadis itu pun sangat pandai menghindarinya saat di kampus.
Tidak ingin larut dalam kekalutan. Kennan memilih menyibukkan dirinya.
Kamarnya malam ini, cukup berantakan. Banyak lembaran kertas yang berserak, sketchbook, alat ukur, alat tulis dan lainnya.
Rose pun mengurungkan niatnya untuk bicara hal penting saat melihat Kennan, begitu serius belajar membuat sketsa.
Kennan masuk kuliah jurusan Ekonomi. Walau sebenarnya, pemuda itu lebih tertarik menggambar jenis-jenis bangunan sejak kecil.
“Cita-citaku mau jadi arsitek.” Begitu jawaban Kennan kecil, jika ia ditanya oleh siapa pun tentang cita-citanya.
Namun, keinginan pemuda itu harus dikubur dalam-dalam, saat Hans memintanya untuk masuk jurusan Ekonomi.
Dulu, jauh sebelum mengetahui perselingkuhan Hans, mereka adalah anak dan ayah yang kompak. Kennan, sangat mengidolakan ayahnya sendiri, sehingga apa pun yang dikatakan Hans, maka ia akan patuh.
Banyak kenangan indah, salah satunya Hans memberikan kue ulang tahun berbentuk mobil balap, yang di atasnya bertengger satu lilin membentuk angka sembilan.
Semua berubah menjadi benci, saat Hans mengkhianati sang ibu.
Hans pandai memberikan kebahagiaan buat Kennan walau menyakiti secara tidak terduga. Membentuk pribadi yang baik di satu sisi, namun buruk di sisi lainnya.
Lelaki ambisius itu berhasil memberi anaknya contoh bagaimana caranya membahagiakan, juga menghancurkan. Membuat Kennan hidup dalam kebencian padanya.
Hingga Kennan bertekad dalam diri, jika ingin semuanya baik-baik saja maka ia harus menjaga sang ibu dan juga wanitanya kelak.
Dering ponsel membuyarkan semua lamunan pahit. Ia meraih benda itu tak jauh darinya.
“Halo.”
“Halo, Ken. Besok datang ya ke peternakan,” ucap Gerald di seberang telepon.
Mereka memang memiliki peternakan yang luas milik keluarga.
“Untuk apa?”
Gerald terkekeh.
“Kok, nanya sih. Bermain kuda lah, sudah lama kita gak melakukannya. Ajak Joanna sekalian.”
Alis Kennan bertaut, ‘ada apa dengan Gerald? Jika hangout pasti mengajak serta Joanna.’
“Sore Ger, gue gak bisa menghubunginya beberapa hari ini, gak tau kenapa.”
“Hm, begitu ya? Kalian berantem?”
“Nggak sih,” jawab Kennan pendek.
“Ya udah gak apa-apa, besok lo datang aja ya, jamnya nanti kukabari lagi.”
"Tapi, gue gak janji buat datang ya. Kerjaanku lagi banyak."
"Sok sibuk lo!"
Sambungan terputus.
Tanpa Joanna, rasanya malas untuk ia pergi.
‘Kayaknya, Joanna punya magnet,' selorohnya menghibur diri.
****
Pagi, memberikan kesempatan baru untuk memperbaiki kesalahan yang telah lalu.
.
Atas undangan Gerald, Joanna dan Bella datang ke peternakan pagi itu.
Keduanya menginjakkan kaki di rumput, dan pandangannya langsung tertuju pada suasana yang tidak biasa dilihat. Di sana, pegawai sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang memberi makanan rumput untuk para ternak, menyuntik vaksin, bahkan memandikan. Sepanjang mata memandang, hanya rerumputan hijau yang terlihat, ditambah pohon pinus berjajar indah di tepi pagar.
“Jo, lihat apa itu? Mereka lagi apa?” seru Bella seraya menunjuk tempat tak jauh dari mereka.
Keduanya berjalan mendekati kandang-kandang besar yang berjejer.
“Kayaknya lagi memerah sapi deh,” jawab Joanna sedikit ragu.
Ia hanya pernah melihat di tayangan televisi adegan itu, tidak pernah melihat secara langsung.
Bella menyikut lengan Joanna.
"Jo, boleh saran gak ke Gerald. Nanti kita gak naik kuda?" bisik Bella.
"Kenapa?"
"Takut lecet."
Pppft.
Joanna menahan tawa. 'Susahnya jadi cewek cantik.'
"Ya, gampanglah. Tinggal nanti, kamu bilang ke dokter itu."
Kembali mereka berjalan, di rerumputan hijau.
Saking takjub, Joanna terus berjalan tanpa memperhatikan arah langkah, hingga ....
Bruuk!!
“Aduh!” Ia meringis, seseorang menubruk tubuhnya.
“Ma-maaf Nona, tak sengaja,” ucap seorang pemuda yang langsung membungkuk. Pemuda itu membawa dua milkcan stainless berisi s**u di kanan kirinya.
Joanna bangkit lalu memiringkan kepala, untuk melihat wajahnya. Namun nihil, karena lelaki itu bertopi dan memakai masker.
“Iya, tapi lain kali hati-hati ya!” ucap Joanna sambil menepuk debu di bajunya.
Pemuda itu tegak dan mengangguk-anggukkan kepala. Mata mereka beradu beberapa detik.
“Joanna, Bella. Kalian udah datang?”
Kedua gadis menoleh ke arah suara.
“Oh, hai Gerald.”
“Sebelum berkegiatan, duduk dan minum yang segar-segar dulu, yuk. Ikuti aku!"
Mereka mengangguk kecil dan mengekor di belakangnya. Bella berjalan tepat di belakang Joanna, namun tanpa diduga seseorang menarik lengan Joanna ke arah jalan lain, dan menutup mulutnya.
Orang itu semakin jauh menarik Joanna tanpa diketahui Gerald dan Bella.
Hingga Bella sadar, bahwa Joanna tidak ada di sana.
“Gerald, Joanna mana ya? Tadi dia di belakangku.”
Mereka menoleh ke kanan dan kiri. Tak jauh dari mereka ada tempat toilet umum khusus pegawai.
“Tenang aja, aku yakin Joanna gak akan ke mana-mana, mungkin lagi ke toilet. Kita tunggu aja di gazebo," ucap Gerald.
Walau ragu, Bella mengangguk saja.
****
"Hhmptt!!"
Joana menepis bungkaman lelaki itu.
“Hei!! Gak kenal main tarik. Gak sopan banget sih sama pengunjung. Atau jangan-jangan, kamu pegawai baru ya di sini?” bentak Joanna.
Matanya melotot tajam.
Lelaki itu melepas topi dan masker, lalu mengukir senyum mautnya - membuat mata Joanna semakin membesar.
“Kennan?” Pekiknya.
“Sttt. Iya, ini aku. Ku dengar dari sepupu Gerald, dia ngundang kamu ke sini.”
Joanna membuang muka.
“Ngapain pake baju pegawai dan masker segala?”
Matanya menyelidik.
Kennan menarik napas sambil menaruh kedua tangan di pinggangnya. “Sengaja. Gak mudah deh, ngobrol sama kamu yang selalu menghindar.”
Joanna terdiam. Tidak berniat membalas ucapan itu, atau pun pergi. Ia hanya ingin menatap wajah lelaki itu yang selama beberapa hari ini dirindukannya.
“Aku yakin ada sesuatu, jadi mari ikut untuk kita mengobrol,” sambung Kennan. Ia seperti biasa menarik pergelangan tangan Joanna.
Namun gadis itu kembali menahannya. “Gue ke sini sama Bella, kalau dia nyariin gimana?”
“Chat aja, kalau kamu ada urusan dulu sebentar. Lagian, Gerald tau kok kalau aku mau ngomong dulu sama kamu.”
“Em, begitu? Ya udah.” Joanna merogoh ponsel miliknya, dan segera mengirimkan chat untuk Bella.
Sebenarnya, ini kesempatan baginya untuk memaki lelaki itu habis-habisan, kalau perlu menggampar pipi kanan dan kirinya sebagai bentuk hukuman karena dengan tega mau melecehkan perempuan.
‘Lihat saja nanti, akan kutendang ke rawa-rawa,’ batinnya kesal.
Selama gadis itu sibuk mengetik chat, diam-diam Kennan menatap pemandangan indah di hadapannya.