Pagi ini kami akan ke rumah mertuaku untuk menanyakan masalah pengeluaran resepsi kami. Sebelumnya kami sarapan dulu, karena aku butuh tenaga untuk melawan mak lampir itu. Aku makan dengan lahap, sampai ku tersedak,
Uhuk..uhukk..
"pelan-pelan sayang, gak ada yang ambil makanan kamu kok" Rei menyodorkan minuman.
'aku hanya bersemangat mengisi tenaga untuk melawan lampir itu, kali ini aku sudah tidak tahan, aku akan menantangmu lampir tua'batinku.
Selesai makan kami berangkat. Di dalam mobil, aku dan Rei memilih untuk diam. Aku hanya bergelayut dengan pikiran dan hatiku yang sudah membara. Apa yang akan terjadi setelah kami tiba?
'Mungkin Rei akan marah besar dan tidak mau membayar hutang lampir tua itu, ya semoga saja' lagi-lagi aku membatin.
Kami tiba di rumah mertuaku, kutarik nafasku sebelum turun dari mobil. Rasanya aku ingin berlari dan menjambak lampir tua itu, tapi aku menahannya. Aku mengekori suamiku yang berjalan masuk lebih dulu,
"Mama" keterkejutan dan kepanikan terlihat jelas di wajah mama mertuaku. Aku masih menahan diri. Aku akan menghantamnya setelah mendengar penjelasannya. Aku ingin tau, alasan apa yang akan lampir tua ini berikan. Kami duduk di sofa tempat lampir tua dan rubah alias Rosa itu duduk.
"Eh Rei, kok datang gak bilang-bilang?". Sandiwara yang di sertai kepanikan itu sangat jelas.
'Lampir tua ini sepertinya ingin menjadi pemain sinetron, tapi dia belum pintar untuk ber-acting. Yah bisa saja dia di terima menjadi pemain sinetron, cocoknya di sinetron azab atau karma. Cocok dengan sifat dan kelakuannya yang perlu sesekali kena karma, dan itupun hanya sebagai pemeran pengganti. Karena acting lampir tua ini masih di bawah rata-rata, terlalu gampang ditebak' lagi-lagi aku membatin seperti seorang sutradara.
"iya ma, aku sengaja gak bilang sama mama. Kalau aku bilang, mama pasti akan selalu beralasan untuk tidak bertemu denganku. Aku bingung, sepertinya mama sedang menghindar dariku. Apa mama menyembunyikan sesuatu?" Rei bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Membuat mertuaku semakin memucat.
"Ma..maksud kamu apa nak, mama gak ngerti. Apa yang mama sembunyikan? Mama tidak pernah menyembunyikan apa-apa darimu nak"
"Baiklah, tidak perlu berbasa basi. Kami datang kesini karena ada yang ingin kami tanyakan sama mama" mertuaku mulai panik, "Ini soal resepsi pernikahan kami" Rei langsung pada intinya.
'Habislah kau lampir tua, tamat riwayatmu' batinku.
"Bukankah sebelum pernikahan kami mama bilang kalau mama yang akan mengatur semuanya? Kami hanya perlu memikirkan masalah biaya, iya kan ma?" tanya Rei.
"Eh iya. Lalu apa masalahnya nak?" masih dengan sandiwaranya.
"Apa kami tidak perlu membayar biaya resepsi kami?" lagi-lagi Rei bertanya.
"Ya dibayar dong" jawab mertuaku spontan dengan wajah tidak terima. Aku dan Rei sontak kaget. "Maksud mama, ya kamu harus bayar dong nak. Kalau kamu gak bayar, lalu siapa nanti yang akan membayarnya nak?" jawabnya mertuaku sedikit melembut.
"Kalau gitu, kenapa mama tidak membicarakannya pada kami?"
"Ah iya mama lupa, lagian kalian kan baru saja menikah, mama tidak enak jika langsung membahasnya. Tapi bukan berarti jadi mama yang bayar kan? Kamu kan tau sendiri, mama gak kerja. Mama gak bisa bantu kalian, bahkan semua keperluan mama, papa dan adik kamu itu dari kamu nak. Bagaimana bisa mama membayar biaya resepsi kamu kan?"
"Yah, kalau tidak bisa membantu, setidaknya bisa kan ma jangan menyusahkan kami?"
'Aku saja mendengarnya begitu sakit. Bagaimana dengan lampir ini?' batinku.
"Maksud kamu apa Rei, mama menyusahkan apa? Jadi selama ini kamu menganggap mama menyusahkan kamu? Mama tidak bisa membantu kamu dari segi materi, tapi mama tetap berusaha membantu kamu untuk mengurus pernikahan kamu. Mama minta maaf kalau mama tidak bisa berbuat lebih, hiks..hiks.., tapi mama sudah berusaha semampu mama hiks..hiks.." lampir tua itu menangis, tentu saja itu hanya kepura-puraan.
"Kakak tega ya sama mama, biar bagaimanapun mama sudah berusaha ka. Seharusnya kakak menghargai usaha mama, pasti kakak sudah di hasut oleh perempuan murahan ini" aku naik darah, belum sempat aku bicara, Rei langsung berdiri,
Plak...
Satu tamparan mendarat di pipi Rosa.
"Sudah berkali-kali kakak peringatkan kamu Ros, jaga bicaramu apalagi pada Dia, Dia itu kakak ipar kamu. Jangan sampai kakak mendengar kata PEREMPUAN MURAHAN lagi keluar dari mulut kamu ke istri kakak. Kamu menghina Dia, sama saja kamu menghina kakak" aku hanya diam, tak perlu bergerak, suamiku tercinta sudah mendahului perasaanku.
"Rei, apa yang kamu lakukan, dia itu adik kamu. Hanya gara-gara resepsi kamu sampai tega menampar adik kamu. Apa salahnya, Rosa hanya membela mama karena kamu sudah keterlaluan sama mama"
"Seharusnya aku yang bertanya sama mama, apa yang mama lakukan? Masalah resepsi, mama bilang hanya masalah resepsi?" Rei kembali duduk, menarik nafas dalam dan membuangnya kasar. "Aku mau tanya sama mama, berapa biaya untuk resepsi kami?" mertuaku mulai gelagapan, tapi tidak menjawab. "Kemarin ada orang yang datang ke rumah kami, aku tidak tau dia siapa. Tiba-tiba langsung menagih utang yang tidak pernah aku pinjang, bahkan mereka memukuliku. Katanya itu utang mama, bagaimana bisa mama minjam uang sebanyak itu? Dia juga bilang kalau itu buat resepsu pernikahan kami. Sebenarnya apa ini, aku sungguh bingung. Dan bagaimana bisa dia tau rumah kami?" lanjut Rei dengan seribu pertanyaan.
"A...aa itu, mama meminjam uang buat resepsi pernikahan kalian. Bukankah kalian sudah setuju kalau biaya pernikahan kalian tetap kalian yang nanggung? Mama hanya mengatur semuanya" lampir tua itu mencoba membela diri. "Soal bagaimana dia tau rumahmu, itu mama yang memberitahunya. Sebelumnya dia sudah kesini untuk menagih, sesuai perjajian kalian yang akan membayar resepsi, yah... Kalian harus membayar itu, karena itu untuk pernikahan kalian" dengan santai lampir tua itu menjawab tanpa merasa berdosa sedikitpun.
"Mana mungkin hanya untuk resepsi pernikahan kami sebanyak itu?" protesku, Rei sudah mulai menggaruk-garuk kepalanya.
"Perempuan murahan, ini bukan urusanmu" aku sudah tersulut emosi. Habis sudah kesabaranku menghadapi lampir tua ini.
"Dia benar ma, tidak mungkin resepsi pernikahan kami menghabiskan uang sebanyak itu, itu diluar logika" aku sudah tak sabar lagi.
"Berapa sih biaya pernikahan, dengan resepsi sederhana, gaun yang norak. Bukannya aku tidak mensyukuri, tapi ini sudah melebihi batas. Aku diam meski pernikahanku sederhana. Aku juga diam meski gaunku begitu norak, bahkan aku di cemooh orang-orang dengan selera rendahan. Tapi aku gak bisa diam jika biaya pernikahanku yang sederhana itu menghabiskan uang lima ratus juta. Bahkan jika di hitung, seratus jutapun itu tidak sampai. Jangan mama fikir kami diam, mama jadi seenaknya sama kami". Amarahku meletus seperti gunung berapi. Semua yang kupendam kini kuluapkan.
"Itu bukan urusanmu, itu uang anak saya. Mau saya apakan itu hak saya. Sekarang saya tau, kamu menikahi anak saya hanya demi hartanya saja kan? Dasar perempuan murahan, matre." Sebelum aku menjawab,
"Ma, tolong jangan berdebat sekarang. Yang ingin aku tau, mama kemanain uang sebanyak itu?"
"Mama beli perhiasan"jawabnya santai. "Mama gak salah kan, mama hanya mengambil sedikit. Lagian juga nanti setoran kamu kan gak sepenuhnya lagi buat mama. Mama gak bisa shopping-shopping lagi seperti dulu. Gak bisa beli perhiasan lagi, makanya mama sengaja membelinya. Anggap saja itu salah satu syarat dari mama, karena mama sudah merestui kalian. Makanya mama bilang sama kamu, ngapain langsung beli rumah. Uang untuk beli rumah kamu, sudah bisa untuk membayar ke rentenir itu. Kalau tidak, kamu jual saja lagi rumah kamu Rei." Rei hanya diam.
'Apa-apaan ini, bagaimana bisa ada orangtua seperti ini. Memang benar ini bukan orang tua, tapi lampir yang menjelma jadi manusia. Suamiku pun hanya diam saja, kenapa dia selalu sebodoh ini kalau berurusan dengan mamanya? Bisakah sekali saja dia tidak bodoh? Ya Tuhan, maafkan hamba telah durhaka kepada suami hamba, tapi dia memang bodoh. Aku gak berdosa kan Tuhan?' batinku.
"Tidak" protesku. "Kami tidak akan membayar utang itu. Kami akan membayar sesuai pengeluaran resepsi kami. Untuk resepsi jika di hitung-hitung tidak sampai seratus juta. Tapi tidak apa-apa, kami genapkan untuk membayar seratus juta, sisanya itu urusan mama" lanjutku. "Kamu tidak berniat untuk mebayarnya dan menelantarkan kami kan Rei?" kutatap suamiku sambil kuelus pelan perutku. Rei membuang nafas kasar.
"Sudah-sudah, ayo kita pulang." Aku terbelalak.
"Jangan bilang kita akan membayar semuanya? Kamu tau kan, itu bukan jumlah yang sedikit" aku semakin kesal.
"Lalu harus bagaimana? Siapa yang harus membayar kalau bukan kita? Kamu tau kan mama gak kerja, papa sakit, Rosa masih kuliah. Bahkan kuliah Rosa dan biaya mama papa juga dari kita." aku berdiri.
"Kalau tau tidak ada penghasilan, harusnya tau diri. Tidak perlu belagak kaya, dan membuat anak menantunya tertimpa masalah." kutatap mertuaku tajam.
Plak..
Satu tamparan mendarat di pipiku.
"Jaga bicaramu. Beginikah cara orangtuamu mendidikmu. Pantas saja kau begitu murahan, tidak berpendidikan. Berani sekali kamu menggonggong seperti anjing di rumahku."
Plak..
Aku tidak mau kalah.
"Itu tamparan karena anda telah menghina orangtuaku, dasar lampir. Selama ini aku diam, tapi aku tidak akan diam jika anda menghina orangtuaku. Didikan orangtuaku jauh lebih tinggi daripada didikan anda. Anda tidak pantas mengajarkan saya soal pendidikan, karena anda lebih tidak berpendidikan"
"Dia" aku menoleh.
Plak..
"Jaga bicaramu, kamu harus tau sedang bicara dengan siapa, dia itu mamaku" air mataku tak bisa kubendung lagi.
"Yah dia mamamu, dan aku siapamu? Dia menghinaku, bahkan menghina orangtuaku, bagaimana tanggapanmu? Apa kau membelaku? Aku bahkan menerima tamparan darimu. Aku menghargai orang jika dia menghargaiku, tapi mamamu selalu menghinaku bahkan orangtuaku. Apa aku harus tinggal diam? Bagaimana kamu membela mamamu barusan, itu juga yang kulakukan demi membela orang tuaku, apa kau tau itu? Dasar b******k". Aku mengalihkan pandanganku ke lampir tua itu. "Dan kau, lintah darat, kau bukan manusia, tapi lampir yang tidak akan pernah punya hati" Lampir tua itu menatapku, aku tidak memberikan dia kesempatan untuk menjawabku. Kuambil tasku, aku berlalu keluar dan meninggalkan mereka disana. Aku masih sempat mendengar Rei memanggilku, tapi aku tidak menghiraukannya.