8. Surprise

1113 Kata
Pagi ini sangan menyenangkan, tidurku sangat nyenyak ditambah lagi dengan mimpi indah yang menemani tidurku. Dan tidak ada lagi suara berisik yang di sebabkan oleh lampir tua itu. Aku melihat suamiku sudah tidak ada di sebelahku, mungkin Rei sudah bangun lebih dulu dan tak mau mengganggu tidurku. Sungguh suami yang pengertian. Aku segera mandi, dan berniat untuk turun sarapan. Karena cacing-cacing di perutku sudah bernostalgia. Dan mungkin, calon anakku juga sudah kelaparan. Saat aku ingin menuruni tangga, seketika langkahku terhenti. "Bayar utang kamu. Janjinya hari ini, kalau tidak saya akan laporkan ke polisi." kata perempuan itu. Dia di dampingi oleh dua laki-laki bertubuh besar, mungkin itu adalah bodygoardnya. "Hutang apa, jangan mengada-ngada. Saya tidak pernah meminjam uang dari kalian, bahkan saya tidak pernah punya utang. Anda mau menipu saya? Mengancam saya dengan melaporkan ke polisi? Saya tidak takut, justru anda yang akan di tahan oleh polisi." Brugg.. Satu tinjuan mendarat di pipi suamiku. Suamiku terhuyung ke lantai, aku histeris "Hentikan! Apa yang kalian lakukan pada suamiku? Saya akan laporkan kalian ke polisi" ancamku. "Kau ingin melaporkanku, laporkan saja, haha. Aku kesini hanya meminta uangku, dan kalian harus mengembalikannya. Kalau tidak, kedua anak buahku ini akan mematahkan tulang suamimu" aku terkejut mendengar ucapannya. "Uang apa? Maksudnya apa ini? Sayang, uang apa yang di maksud ibu ini? Sejak kapan kau memakai uangnya? Kenapa kau tidak beritahu padaku?" Aku beralih melihat suamiku. "Aku tidak tau sayang, tolong kamu percaya padaku. Aku gak pernah meminta atau meminjam uang padanya." Rei mengelus kepalaku. "Maaf ibu, saya tidak mengerti maksud ibu apa, dari tadi ibu membahas soal uang dan uang. Saya tidak kenal dengan ibu, bagaimana bisa say a meminjam uang pada orang yang tidak saya kenal" lanjut Rei kepada ibu itu. Yah, sepertinya dia seorang rentenir. "Memang bukan kamu yang minjam, tapi mama kamu yang minjam uang kepada saya. Jadi kalian harus bayar" Aku dan Rei sontak kaget mendengarnya. 'Apa yang di rencanakan lampir itu?' batinku. "Mama saya? Untuk apa mama saya meminjam uang? Mama saya tidak pernah kekurangan uang, saya selalu menafkahi mereka. Ibu jangan mengada-ngada. Lagipun kalau mama saya meminjam uang, kenapa tidah tagih ke mama saya saja? Kenapa ibu tagih ke saya? Yang minjam uang ibu kan bukan saya." jelas suamiku. "Itu bukan urusan saya, yang jelas mama kamu menyuruh saya menagih kesini. Katanya itu buat keperluan pernikahan kalian. Lagian tidak punya uang tapi ingin pernikahan yang meriah, tidak sadar diri akan keuangan" Lagi-lagi kami melongo. "Memangnya mama saya pinjam uang berapa sama ibu? Saya akan bayar tapi saya tanya mama saya dulu" aku hanya diam. "Lima ratus juta, di tambah bunganya jadi enam ratus juta" Rasanya jantungku sudah tidak pada tempatnya, atau mungkin sudah berhenti berdetak. Kakiku mulai bergetar, rasanya tak mampu lagi untuk berdiri. "Untuk apa mama saya meminjam uang sebanyak itu? Dan bagaimana bisa bunganya sebanyak itu?" tanya Rei. Dia mulai kebingungan. "Saya tidak tidak perduli. Yang penting, bayar hutang kalian. Ini kartu nama saya, hubungi saya setelah kamu meminga penjelasan ada mamamu. Saya beri waktu seminggu, jika kamu tidak menghubungi saya, saya akan datang lagi dang menghancurkan rumah ini" Meletakkan kartu nama di kena lalu keluar meninggalkan kami. Rasanya aku hampir gila. Lima ratus juta? Bukan, tapi enam ratus juta? Bagaimana mungkin kami punya hutang sebanyak itu. Aku menangis memikirkan nasibku, atau mungkin nasib kami. Entahlah, aku tidak habis fikir dengan semua ini. Aku terduduk lemas disofa dekat kartu nama itu di letakkan. "Sayang, kamu jangan khawatir. Aku akan meminta penjelasan mama. Aku akan tanya apa maksud semua ini. Kamu tenang ya sayang, jangan banyak fikiran. Kamu harus ingat, kamu sedang mengandung bayi kita" Rei memenangkanku. "Bagaimana bisa aku tidak kepikiran hiks..hiks... Lima ratus juta bukan uang yang sedikit. Lebih tepatnya kita harus membayar enam ratus juta. Dari mana kita akan mendapatkan uang sebanyak itu? Dan untuk apa uang sebanyak itu? hiks..hikss" aku semakin terisak. "Iya sayang, makanya kamu tenang dulu ya, kita akan tanyakan ke mama. Semalam kata mama akan kesini, lebih baik kita sarapan dulu. Kamu harus jaga kesehatan, supaya anak kita juga sehat" Rei berusaha tegar meski sebenarnya dia sangat kepikiran. 'Semoga semua baik-baik saja Tuhan' batinku. Akhirnya kami memilih sarapan sambil menunggu mama mertuaku. Bukan, tapi lampir tua. Aku ingin mendengarkan semuanya. Aku harus makan banyak supaya aku tetap kuat menghadapi semuanya. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi lampir tua itu belum muncul juga. 'Apakah dia takut? Apakah dia sudah tau apa yang terjadi di rumah ini? Lihat saja lampir tua, aku akan membalas semuanya.' batinku. Rei mencoba menghubungi mertuaku. Pertama tersambung, tapi tidak ada jawaban. Rei mencoba menghubungi lagi, dan Lampir tua: Halo nak, ada apa nelpon mama? Rei: Mama gak jadi kesini? Kata mama mau kesini, kami udah nungguin mama loh dari pagi. Lampir tua: Ah..itu, iya nak mama minta maaf ya, Rosa tiba-tiba ngajakin mama keluar. Makanya mama gak jadi kesana. Kapan-kapan ya mama mampir kesana Rei: Oh yasudah kalau begitu ma Rei memutuskan telepon. Seketika darahku mendidih, "Kenapa kamu gak nanya masalah tadi, kenapa kamu cuman ber oh ria saja?" aku semakin kesal. "Sayang, bukan begitu. Aku gak mau membicarakannya lewat telepon, aku mau mendengar penjelasan mama langsung. Lagipula mama sedang diluar, aku gak enak sama mama, takutnya mama malu kalau bahas-bahas begituan di luar" bujuknya. "Yah, begitu saja terus, jaga perasaan mamamu tanpa memikirkan perasaanmu dan perasaanku juga. Sekarang kita ditimpa hutang enam ratus juta, itu semua ulah mamamu. Tapi kamu masih menjaga perasaannya, apa mamamu menikirkan perasaanmu saat akan meminjam uang itu?" aku sedikit menaikkan nada suaraku. "Dia, jaga bicaramu, biar bagaimanapu itu mamaku, mama mertuamu juga" bentaknya. "Terserah" aku meninggalkan rei dan langsung menaiki tangga. Aku tidak peduli apa yang Rei lakukan disana. Aku kesal jika dia harus selalu dan selalu membela lampir tua itu. Jam sudah menunjuk pukul 20.00. Aku bahkan belum mandi, rasanya kepalaku ingin pecah. Rei menghampiriku, menyentuh bahuku. Aku tak mau menoleh, aku tetap memunggunginya. "Sayang, aku minta maaf. Besok kita akan ke rumah mama untuk meminta penjelasan. Aku juga pusing mikirin uang sebanyak itu." "Aku kesal Rei, kau selalu membela mamamu meskipun sudah jelas mamamu bersalah. Bahkan kau sanggup membentakku demi mamamu. Aku tak masalah kau memarahiku jika mamamu benar, tapi ini mamamu sudah keterlaluan, hiks..hiks.. Utang sebanyak itu, mau sampai kapan kita akan membayarnya?" aku menangis di pelukan Rei. "Sudah sudah, besok kita tanyakan sama mama. Sekarang lebih baik kita tidur." "aku belum mandi" jawabku jujur. "Gak usah mandi, ini udah malam. Tidak baik ibu hamil mandi malam-malam" Rei mencium keningku. 'Awas saja kau lampir tua, kau memberikan rumah tanggaku beban yang begitu berat, tapi kau malah asyik bersenang-senang dengan rubah kesayanganmu itu. Tunggu saja pembalasanku besok' batinku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN