Aku tak melihat Rei mengejarku, mungkin lampir tua itu menahannya. Aku tidak perduli lagi, aku mengambil telepon genggam di tasku. Aku menghubungi salah satu temanku
?Hallo
?Hallo Lan, apa aku bisa main ke rumahmu? Hiks..hiks..
?Kamu kenapa Dia? Kok kamu nangis? Kamu datang aja, aku juga lagi di rumah kok.
?Yaudah aku kesana ya, aku tutup teleponnya.
Aku menghentikan taxi yang lewat tepat di depanku. Taxi langsung menuju alamat yang kusebutkan. Tak membutuhkan waktu lama, aku tiba di rumah Wulan. Dan sungguh kagetnya aku melihat dua temanku yang gesrek ini juga ada disini.
"Ayo, kita ke kamarku aja" ajak Wulan. Kami bertiga mengekori Wulan ke kamarnya.
"Lan, kenapa mereka berdua ada disini. Bisa-bisa heboh satu kampung" kataku menunjuk kedua temanku.
"Dia, kita dengar ya" protes Sarah.
"Tadi selesai kita teleponan, Sarah nelfon aku, katanya mau main ke rumah barumu. Yah aku bilang aja kamu mau kesini, jadinya mereka berdua datang kesini." jelas Wulan. "Oh iya, kamu kenapa tadi nangis, ada masalah apa?" lanjutnya.
"Kenapa kamu nangis Dia? Ibu hamil gak boleh nangis, cup..cup.." Asih mengelus rambutku lebay. "Tunggu..tunggu.. Kamu habis nangis, jangan bilang itu karena ulah lampir itu?" lanjut Asih menebak.
"Eh" Sarah menoyor kepala Asih. "Kamu jangan asal ngatain orang bego, lampir..lampir.. Gitu-gitu itu juga mertua Dia, kamu gak ada hak manggil lampir. Tapi emang benar lampir sih" mereka berdua tertawa bersama. Memang sama-sama gesrek.
"Sudah-sudah, kok malah kalian berdua yang heboh. Memang benar ya kata Dia, bisa heboh satu kampung gara-gara kalian." Wulan kembali menatapku. "Memangnya ada apa Dia, cerita sama kita" bujuk Wulan.
"Aku bingung harus gimana, aku serba salah sekarang. Kalian tau tidak?"
"Tidak" potong Asih.
"Asih, kamu diam dulu" protes Sarah. "Lanjut Dia, kayaknya seru nih" Wulan menoyor kepala Sarah.
"Baru kemarin aku menikah, aku sudah ketimpa hutang lima ratus juta ke rentenir, ditambah bunganya jadi enam ratus juta." aku berbaring di ranjang Wulan, aku membuang nafas kasar.
"What? Enam ratus juta? Kamu gak salah Dia punya utang segitu? Gaji sepuluh tahun saja gak sampai segitu. Bagaimana bisa kamu punya hutang sebanyak itu Dia?" tanya Sarah.
"Benar Dia. Lagian setau kita kamu bukan tipe orang yang suka meminjam uang. Apalagi pinjam uang sama rentenir. Apa jangan-jangan Rei menyetujui menikahi kamu karena memang sudah terlilit hutang? Jangan-jangan nanti kamu di jual buat bayar hutangnya seperti di sinetron-sinetron. Kalo gak salah judulnya seperti ini, kujual istriku buatr bayar hutang-hutangku" cerocos Asih.
"Eh Asih, itu mulut. Dengerin dulu penjelasan Dia. Lama-lama mulut kamu aku jahit nih, biar gak bisa ngerocos lagi" protes Wulan. "Kok bisa gitu Dia, kemaren semua baik-baik aja kan?" tanya Wulan.
"Yah, semua baik-baik saja sebelum pernikahanku. Tapi sesudah pernikahanku, semua terbalik seratus delapan puluh derajat." aku menarik nafas, " Kalian tau kan, gaun pernikahanku yang super duper norak sampai-sampai aku di cemooh orang dengan selera rendahan, dan resepsi pernikahanku yang begitu sederhana? itulah utang kami yang enam ratus juta itu." jelasku.
"Sebanyak itu? yang benar saja" protes mereka serentak.
"Yah, aku juga terkejut mendengarnya. Sehari setelah kami menempati rumah baru, rentenir itu datang dengan dua bodygoardnya untuk menagih hutang. Aku juga sempat berfikir kalau itu hutang suamiku, bahkan tadinya aku berfikir suamiku membeli rumah kami dari uang itu. Tapi suamiku terus berkata tidak mengenal mereka, bahkan mereka memukuli suamiku sampai babak belur. Rentenir itu bilang, yang meminjam uang itu mertuaku, untuk keperluan pernikahan kami. Aku sempat syok dengan apa yang ku terima, bagaimana mungkin gaun yang super duper norak dan resepsi sederhana menghabiskan uang sampai lima ratus juta. Akhirnya kami memutuskan untuk menemui lampir itu, karena setiap kami hubungi, lampir itu selalu sibuk. Ternyata uang itu sebagian dipakainya untuk membeli perhiasan, dengan alasan tidak akan bisa membeli perhiasan lagi karena sudah pasti aku akan mengontrol keuangan suamiku, dan juga itu untuk syarat lampir itu merestui kami. Aku protes tidak mau membayar, aku hanya akan membayar untuk keperluan pernikahan. Tapi suamiku malah menyetujui membayarnya bahkan menamparku karena aku melawan lampir tua itu" kukepalkan tanganku.
"Lampir tua itu menaparku terlebih dahulu dan menghina orangtuaku, aku menampar balik karena aku tidak terima lampir itu menghina orangtuaku. Tapi suamiku tetap membela lampir itu. Bukannya aku tidak menghargai, tapi aku akan menghargai jika aku di hargai" lanjutku.
"Kenapa tidak kau jambak saja rambutnya, sampai botak sekalian. Dan Rei juga, bagaimana bisa dia menamparmu sementara kamu lagi hamil. Dasar tidak punya perasaan" kata Sarah.
"Benar Sar, suami macam apa Rei itu, masih saja selalu memikirkan ibunya yang jelas-jelas lampir tidak punya hati. Disini sudah jelas Dia, lampir itu mengajak kita untuk berperang. Kamu jangan takut, kita disini untukmu" Asih menimpali.
"Yang sabar ya Dia, masih ada kita. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa hubungi kita. Yang paling penting, jaga kesehatanmu. Kamu harus tetap sehat dsn kuat demi kandunganmu. Dan satu lagi, kamu gak boleh stres" mereka bertiga memelukku. Kami bercanda ria yang membuatku sedikit lebih tenang. Rei berkali-kali menghubungiku, tapi aku tidak menghiraukannya.
Hari sudah sore, aku memilih untuk pulang.
"Aku pulang dulu ya, kapan-kapan kita nongkrong" kataku. Kami berempat berjalan ke luar dan menunggu taxi.
"Oke Dia, tapi beneran ya nongkrong. Memangnya kamu di izinin sama suamimu?" tanya Sarah.
"Kenapa tidak, kecuali aku pergi dengan laki-laki, itu baru salah. Yaudah aku pulang ya, taxi nya udah ada tuh, bye" aku masuk ke taxi dan meninggalkan mereka disana.
Aku tiba di rumah, aku melihat mobil suamiku disana. Tanpa melirik kiri kanan, aku menaiki anak tangga menuju kamarku. Disana aku melihat suamiku duduk di ranjang seperti orang gila. Dia langsung bangkit berdiri begitu melihatku.
"Sayang, kamu sudah pulang. Kamu dari mana saja sayang? Aku menghubungimu berkali-kali tapi kamu gak mau angkat teleponku. Apa kamu marah sama aku?" aku diam saja.
Aku langsung ke kamar mandi dan membersihkan diri. Selesai mandi, aku rebahan, rasanya begitu lelah hari ini.
"Sayang, apa kau marah?" tanya Rei sekali lagi.
"Menurutmu?" aku balik bertanya. "Dengan apa kau akan membayar semuanya hah? Dengan entengnya kamu bilang bayar? Enam ratus juta Rei enam ratus juta, itu bukan jumlah yang sedikit. Demi membela mamamu yang jelas sudah bersalah, bahkan kau tega menamparku yang sedang mengandung anakmu" cairan bening mulai mengalir dari mataku. "Apa kau akan menjual rumah ini? Apa kau akan menjual mobilmu? Apa kita akan kembali lagi ke rumah terkutuk itu?"
Plak..
Tamparan yang begitu keras mendarat di pipiku. Rei melihat tangan yang digunakannya menamparku. Terlihat jelas tangan ini gemetar, aku menatapnya penuh kebencian.
"Kenapa kau selalu membuatku marah? Kenapa kau selalu menyalahkan mamaku? Aku menamparmu itu karena kau menghina mamaku dan menamparnya" jelasnya.
"Oh ya, kau bisa menamparku karena aku menghina mamamu bukan? Kenapa aku tidak bisa menampar mamamu karena telah menghina orangtuaku? Terlihat jelas kau memang dibaeah ketiak mamamu. Kau sudah berkeluarga Rei, tapi kau tetap lebih mengutamakan mamamu daripada rumah tanggamu. Kalau saja mamamu memberikan kita resepsi dan pelayanan yang layak, bisa saja aku terima kalau kita menghabiskan uang sebanyak itu. Tapi kenyataannya apa? Hanya resepsi sederhana dan gaun yang menurutku sangat jelek menghabiskan uang ratusan juta. Bahkan aku harus menerima cemoohan orang-orang." kuseka air mataku yang semakin mengalir. Aku emosiku sudah sampai ke ubun-ubun. "Sudah jelas mamamu bilang kalau uang itu untuk membeli perhiasannya, kenapa tidak jual perhiasannya saja untuk membayar hutang pada rentenir itu?" lanjutku.
"Mama gak akan mau menjual itu. Mau tidak mau ya kita harus membayarnya, tidak ada pilihan lain. Tolonglah mengerti aku Dia" Rei menggenggam tanganku. Dengan cepat kulepaskan genggamannya.
"Terserah. Lakukanlah semaumu, anggap saja aku bukan istrimu yang perlu memberi persetujuan. Lakukanlah apa yang membuat lampir itu senang, tidak perlu memikirkanku. Yasudah, aku capek, aku mau tidur." aku berbaring memunggungi Rei.
"Sayang, aku mohon jangan seperti ini. Kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita harus membayarnya. Kamu mau kan sayang?" tanya Rei.
"Untuk apa kamu tanya aku kalau jawabanku gak ada artinya bagimu. Aku bilang tidak kamu juga bakalan tetap bayarkan? Jadi lakukanlah semaumu, tidak perlu meminta pendapatku." Rei terdiam. Tiba-tiba Rei menghubungi seseorang.
?Hallo
?Hallo bu, ini saya Rei anaknya bu Clara. Kalau ada waktu, besok saya ingin bicara dengan ibu mengenai pinjaman mama saya. Enaknya kita bertemu dimana ya bu?
?Saya kerumahmu saja besok.
?Baik kalau begitu, saya tunggu bu. Terimakasih sebelumnya.
Rei memutuskan sambungan teleponnya dan tidur di sampingku.
'Dasar b******k, aku tau kamu kepala rumah tangga. Aku tau kamu yang mencari uang, tapi gak seharusnya kamu bertindak sendiri seenakmu. Bahkan kamu tidak menghargai aku sebagai istrimu. Jangankan menghargai, kamu bahkan tega menamparku dua kali hari ini, padahal kamu tau aku sedang hamil. Tunggu saja' batinku. Kami pun terlelap dengan posisi saling memunggungi.