Bagian 17 : Papi Sakit

1059 Kata
Setelah mendapatkan chat dari Deva, Jena tidak bisa tidur semalaman karena Deva mengajak nya pergi jalan-jalan. Ada rasa takut dan senang pas di ajak Deva. Kebetulan tempat yang mau mereka datangi itu adalah pantai. Jena sangat suka yang nama nya pantai. "Besok pakai baju apa ya?" Gumam Jena sambil membongkar isi lemari nya. Saat asik mencari baju apa yang akan ia kenakan besok, Kisum datang dengan ketukan pada pintu. "Masuk!" "Non, ada berita buruk." "Kenapa?" Aktifitas Jena terhenti, ia lebih asik menatap ke arah Bi Kisum yang nampak gelisah dan sedih. "Non, saya dapat kabar dari nyonya, kalau tuan besar sedang sakit berat di rumah sakit." "Lalu?" Cukup tahu saja, sampai sekarang Jena masih tidak bisa akrab dengan ayah nya. Dia masih teringat saat ayahnya memukul Jendral saat itu. "Tuan besar terus-terusan nyari nona, kalau mau datang pergi ke rumah sakit maret juli." Seakan tidak dengar, Jena kembali memilah pakaian apa yang akan ia kenakan besok. Sedangkan Kisum ia menatap Jena dengan tatapan sedih, lalu keluar dari kamar nya Jena. Jena menatap ke pergian Kisum, ia berjalan menuju pintu lalu mengunci nya. Melupakan pakaian yang berserakan di lantai dan kasur, ia berjalan menuju nakas. Terdapat foto dirinya dan Jendral disana. "Jen, mbak ternyata masih belum bisa maafin papi, kata Kisum papi sakit berat, dan mbak gak mau kesana, mbak teringat perlakuan papi ke kamu. Jen, mbak harus gimana?" Tidak di sangka, Air mata Jena turun begitu saja. Pandangan nya kita tertuju pada pakaian yang berserakan. Ia membereskan lagi, dan memilih satu set pakaian yang ia gunakan besok. Setelah itu, Jena memilih tidur karena rasa kantuk nya menyerang. ### "Enaknya pakai lipstik apa ya?" Ujar Jena sambil melihat diri nya di kaca kamar. Dia sedang bersiap-siap di ajak pergi oleh Deva. Dia senang, gugup, dan sedih menjadi satu. Sedih nya itu, dia teringat oleh ayahnya. Tapi tetap, Jena tidak mau kesana. "Non, ada tamu." "Oh, iya bi, dia boss Jena. Suruh duduk!" Jena berlari menuju pintu utama, dan... Wow, bukan Deva yang berdiri di depan nya tapi--- "LEON!" "Selamat pagi mbak, Leon kesini karena mendengar papi jatuh sakit, sakit berat. Jadi Leon libur dulu disana terus nginap disini sebentar." "Oh gitu," "Mbak mau pergi kesana juga? Ayo bareng Leon, kita sama-sama kesana," Ajak Leon dengan senyum manis nya. Leon kelihatan agak beda sekarang, dia agak tinggi, dan perawakan nya sudah terlihat dewasa. "Mbak?" Leon memanggil Jena hingga melambaikan tangan nya. Dan, Jena pun langsung tersadar. "Nggak, lo pergi duluan aja. Gue kapan-kapan, nakasih." Jena meninggalkan Leon yang berdiri di sana dan menatap kepergian Jena yang berjalan menuju mobil hitam. Setelah itu mobil nya pergi. "Oh, jadi ini raden? Bibi kira tamu nya nona Jena. Ayo raden, masuk, terus duduk." Leon menanggapi nya dengan senyuman lalu berjalan sambil menarik koper milik nya. "Susah juga bujuk mbak, emang gak berubah dari dulu." Sedangkan di lain tempat, setelah mengucapkan selamat pagi kepada Deva, mereka berdua canggung akan masing-masing. "Jen, kamu ingat saya tidak?" Deva mulai membuka percakapan dengan pertanyaan. "Ingat, pak Deva 'kan?" "Bukan begitu Jen, maksud saya, kamu pernah kenal saya tidak sebelum kamu magang di perusahaan ayah saya." Jena tau, Jena tau arah pembicaraan nya. Ia tersenyum lalu membalas ucapan Deva. "Perkumpulan pencinta Permen kaki! Hahaha.. Ternyata udah balik dari China toh, pak Kadeva Xio Runawan." "Tuh ingat, iyanih balik-balik udah bawa perusahaan aja. Hahaha, Kabar orang tua kamu gimana?" Tepat saat Deva bertanya hal ini, muka Jena kembali murung. "Aduh salah kata ya, kalau gitu kabar nya Jendral sekarang gimana?" Pertanyaan Deva yang kedua malah makin membuat Jena murung. "Astaga, salah pertanyaan lagi. Kalau gak mau di jawab gak papa kok," Kata Deva. Setelah itu senyap, mobil sekarang kembali sepi. Namun, Tiba-tiba. "Jendral udah meninggal pas bertepatan dengan kepergian lo ke China, eh sorry pak saya pakai lo-gue," Ucap Jena dengan rasa bersalah. "Gak papa, santai saja. Kita kan dulu teman, sekarang juga tempat, besok-beosk mungkin teman hidup." Ucapan Deva yang terkesan gombal itu, menarik senyuman di bibir Jena, walaupun tipis. "Btw, innalillahi WA innailaihi rojiun, padahal saya mau nagih janji saya ke Jendral waktu itu," Kata Deva. "Janji apa?" Kini Jena menatap ke arah Deva dengan penasaran. "Dia pernah bilang, kalau nanti, 'Jendral gak ada atau pergi ke luar negeri, Mas Depa tolong jaga mbak Jena' si Jendral bilang seperti itu, tau nya kita sama-sama pergi ninggalin Jena. Saya pergi ke China, dia pergi ke tempat asal nya di surga." Tepat saat itu juga, air mata Jena mengalir begitu saja, membuat Deva panik dan memberhentikan mobil nya di pinggir begitu saja. "Jen, kamu nangis kenapa?" "Gue kangen Jendral, pengen peluk Jendral, pengen ajak Jendral main bola lagi. Lo tau dep? Semenjak kehilangan Jendral, papi sama mami gue angkat salah satu anak di panti asuhan, dan kalau lo lihat ada cowok berdiri di depan pintu rumah gue, dia orang nya, adik angkat gue." "Saya kira tadi Jendral, pantas muka nya agak beda." Jena masih menangis, bakal tidak berhenti-henti. "Gue harus gimana Dep? Papi lagi sakit berat, tapi gue gak mau kesana. Bayangan perlakuan papi gue terhadap Jendral sering terlintas begitu saja," Deva sebenarnya tidak tahan, ia ingin memeluk Jena sebagaimana saat SMP dia juga memeluk Jena saat menangis, tapi sekarang kondisi nya beda. Mereka sama-sama sudah dewasa tidak sekecil saat SMP dulu. Dan akhirnya, ia hanya dapat mengelus pundak Jena dengan sambil mendengarkan semua cerita Jena. "Jen, saya antar kamu ke rumah sakit ayah kamu, ke pantai hari ini bisa di ganti lain waktu." Jena mengeleng-gelengkan kepala nya, ia tidak mau bertemu dengan papi nya. Tapi Deva tetap bersikeras untuk membawa Jena kesana. "Jen, kamu bilang ke saya cepat, alamat rumah sakit nya." Mimik wajah Deva terlihat serius, Jena menghapus air mata nya lalu melirik ke arah Deva sebentar, "rumah sakit maret juli." Langsung pada saat itu, Deva menacapkan gas mobil nya menuju rumah sakit Maret Juli. Sesampai nya Jena dan Deva disana, Jena sudah berinisiatif untuk kabur, namun di tahan oleh Deva. Ia sedari tadi menggretu. "Kamar untuk pak Aditama dimana ya sus?" Tanya Deva. "Pak Aditama? Kamar nya di lantai lima, ruang VIP 825." "Baik Sus, terimakasih. Deva menarik Jena menuju Lift, sampai di lift ia bertemu Wenda, yup, ibu nya Jena. "Jena? Loh ini siapa?" ### Thank you buat para readers! Sambil baca jangan lupa cerita nya di masukkin ke perpustakaan yaa, biar tau kapan aku uptade! Dan jangan lupa buat follow akun ini. See you! ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN