Sore itu Arjuno telah membuat janji bertemu dengan Shopia di Gunung Kapur, ini adalah sebuah taman wisata yang tidak terlalu luas di pinggiran Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Sebenarnya menurut Arjuno Gunung Kapur tidak terlalu menarik, mungkin karena dia tumbuh dan besar di sana jadi terkesan biasa-biasa saja. Dulu sebelum rumah orang tuanya pindah ke Kampung Kandang, mereka tinggal di Gunung Kapur. Tepat di samping rumah di sebelah Utara berbatasan langsung dengan tanah taman wisata itu. Mungkin suasananya akan berbeda saat dia datang ke sana bersama dengan Shopia.
Sebenarnya nama gunung yang disematkan di kata Gunung Kapur tidaklah tepat karena tingginya yang hanya beberapa meter saja, akan lebih pantas jika disebut dengan bukit. Uniknya dari Gunung Kapur ini adalah di sana mengeluarkan air panas yang berbau belerang, banyak pengunjung yang datang ke sana untuk terapi dengan air tersebut. Berdasarkan cerita yang sampai ke telinga pemuda itu, saat garam belum dapat dibeli bebas di warung masyarakat sekitar menggunakan air belerang tersebut sebagai bahan pembuat garam. Air dari Gunung Kapur itu diendapkan di kolam-kolam tanah buatan yang dibuat ala kadarnya.
Dulu pernah ada bangunan tinggi seperti menara, katanya bekas tempat pembakaran kapur yang dibuat pada zaman penjajahan. Sayang sekali bangunan tersebut dibongkar untuk kepentingan bisnis oleh pengelola awal Gunung Kapur. Mungkin penilaian mereka bangunan ini mengganggu karena letaknya tepat di depan panggung hiburan dangdut. Padahal bangunan itu adalah saksi sejarah yang tidak seharusnya dihilangkan. Gunung Kapur juga sebelum dibangun seperti sekarang, sering dijadikan tempat shooting untuk film-film persilatan. Jika mau melihat kerennya bukit itu versi lawas bisa dilihat di film Jaka Sembung atau Bajing Ireng di YouTube.
Jika bukan hari libur Gunung Kapur sepi pengunjung, hanya ada satu dua yang datang dan biasanya mereka berpasangan. Sebenarnya itu bukanlah masalah untuk Arjuno karena dia memang tidak suka dengan keramaian. Dia merasa kurang pede juga saat jalan bersisian dengan Shopia di luar.
Kebanyakan pedagang di Gunung Kapur ini berjualan dengan jenis makanan yang homogen seperti bakso, mie ayam, gado-gado, kelapa muda, hampir semua warung memiliki menu yang demikian.
Walaupun sepi pengunjung beruntung masih ada warung yang buka, bisa untuk sekadar mengisi perut. Mie ayam akhirnya menjadi menu pilihan karena memang tidak ada pilihan lain juga di warung itu, pelayan yang seorang nenek-nenek menyiapkan sebuah mangkuk mie ayam dengan terampil. Arjuno hanya memesan untuk gadis pujaan hatinya karena dia masih merasa kenyang padahal baru saja bangun tidur, mungkin dia mimpi makan di tidurnya.
Shopia menyadari saat pemuda di samping kanannya memperhatikan dia diam-diam saat dia asyik menggulung mie di sumpitnya. Mata mereka secara tak sengaja beradu beberapa detik, Arjuno menggunakan momen itu untuk menikmati mata sendu Shopia yang disukainya itu.
“Mengapa kamu suka aku, Jun?” ujarnya setelah perlahan menelan mie tadi. Arjuno tersentak, dia tidak menyangka akan ada pertanyaan semacam itu secara dadakan. Pemuda itu menelan ludah karena Shopia merambati wajahnya dengan kedua matanya. Masya Allah.
d**a pemuda itu mulai bergemuruh dan mulai disergap dengan kegugupan. Otaknya terasa mulai dikendalikan oleh rasa itu. Dibawah tekanan grogi, Arjuno berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan gadis bermata sendu di sampingnya. Kata-kata itu harus tepat mengena ke dalam lubuk hati gadis pujaannya. Sebuah helaan napas melengkapi benaknya yang berusaha keras. Pemuda itu merayu hatinya supaya tetap bisa fokus merangkai diksi.
“Siapa bilang aku suka kamu, Phia?”
Mengapa jadi kalimat mengelak begitu yang tiba-tiba keluar dari mulut Arjuno?
“Kalimat yang selalu kamu bilang itu, Jun. Aku suka banget sama kamu, Shopia.” Arjuno mengernyitkan dahinya saat gadis di sampingnya menirukan kalimat itu, dia mulai merasa sepertinya dia terlalu sering mengucapkan kalimat itu sehingga Shopia menghapalnya. Mata gadis itu masih memandang tajam. Alamak, Pemuda bertopi hitam itu dibuatnya salah tingkah.
“Shopia, kamu dengar ya ... ” Arjuno berusaha mengendalikan dirinya yang sepertinya tiba-tiba hilang kendali karena tatapan mata gadis di sampingnya. Shopia menunggu kata-kata yang akan keluar selanjutnya. “Tentang kalimat yang selalu aku bilang tentang kamu, tentang aku suka kamu itu ... tidak benar, itu hanyalah kebohongan.”
Shopia diam mendengar kalimat yang keluar dari mulut Arjuno, seperti ada rasa tidak percaya dari tatapan matanya. Dia menunduk sambil memainkan mie di pinggir mangkuknya dengan sumpit. Entah apa yang ada di benaknya sekarang?
“Aku enggak suka kamu, tetapi aku sayang kamu bahkan aku cinta kamu. Kamu telah membuat aku jatuh hati, Phia.”
Gadis bermata sendu itu urung menyuap mie ayam yang sudah dekat ke mulutnya mendengar lanjutan kalimat tadi. Arjuno melihat ada sesuatu yang lain di mata Shopia. Entah apa itu?
“Bohong, aku enggak percaya,” katanya sambil tersenyum simpul.
“Mengapa enggak percaya? Coba kamu lihat mataku, Phia, apa yang kamu lihat?” Arjuno menirukan gaya film-film di televisi, jika tidak percaya biasanya diminta untuk melihat mata. Mata tak bisa berbohong. Ya iyalah yang berbohong itu mulut karena yang bisa bicara itu mulut, mata tidak. Pemuda itu mengernyitkan dahinya saat menyadari dia berdialog dengan diri sendiri?
Shopia memperhatikan mata Arjuno beberapa saat, menyusuri setiap sudut mata pemuda di sampingnya. Arjuno merasa menjadi aneh di tatap oleh pujaannya seperti itu, dia tiba-tiba khawatir masih ada belek yang bertahta di pojok matanya.
“Enggak ada apa-apa di mata kamu kok, Jun. Cuma merah saja,” ujarnya sambil tertawa memamerkan giginya yang putih. Pemuda itu telah gagal menirukan scene film, Shopia malah menggaris bawahi matanya yang merah.
Pemuda itu menjawab kalimat yang diucapkan oleh Shopia dalam hatinya, mata ini merah karena kurang tidur, Sayang. Ini dikarenakan aku selalu ingin bersama kamu, menghabiskan hari–hari Bersama kamu. Walaupun itu berarti membungkam rasa kantuk yang berkuasa.
“Lalu mengapa kamu cinta aku, Jun?” ujar Shopia setelah beberapa saat terdiam. Itu adalah sebuah pertanyaan sulit yang dilontarkan untuk Arjuno. Perasaan ini datang dengan kebodohan dan kegilaan yang ada. Kebodohan karena menafikan iman yang ringkih demi berkompetisi dengan keinginan yang gila.
“Kamu 'kan tahu, aku sudah punya cowok, Jun.” Pertanyaan yang lebih dulu saja belum dijawab, sudah ditambah lagi. Itu adalah sebuah pertanyaan yang selalu membuat Arjuno terlihat bodoh, jatuh hati dengan perempuan yang sudah ada punya cowok.
“Shopia ....” Arjuno memanggil nama gadis di sampingnya dengan lirih. Entah supaya terdengar mesra atau karena menekan grogi. Rangkaian kalimat seperti apa yang akan dilontarkan untuk menjawab pertanyaan Shopia tadi. Gadis itu menunggu, nampak sekali dia penasaran dengan rangkaian kalimat yang akan keluar dari mulut Arjuno.
“Jujur aku enggak punya alasan mengapa aku cinta kamu, Phia. I don’t know, I just do. Love doesn’t come from mind to know but from heart to feel.” Shopia terdiam, mungkin dia meresapi atau mungkin tidak mengerti apa maksud Arjuno. “Aku enggak punya kalimat yang tepat untuk menjabarkan semua yang ada di dalam d**a, tapi yang pasti adalah aku bahagia dekat kamu.”
Shopia masih terdiam. Arjuno menatap mata indah yang kini tertunduk dan terdiam beberapa detik, sepertinya kalimat yang diucapkan tadi tepat mengenai sasaran.
“Sudah yuk, Jun. Kita jalan-jalan saja.” Shopia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan sepertinya dia speechless. Gadis itu menarik tangan Arjuno keluar dari warung, tergopoh pemuda itu membayar mie ayam.
Mengapa tempat yang biasanya biasa saja untuk Arjuno sekarang terlihat berbeda sekali. Indah sekali, bunga bermekaran dengan warna-warni. Kupu-kupu beterbangan mencumbu bunga, langit tidak terlihat birunya tapi terlihat pink. Pemuda itu mengucek matanya beberapa kali. Ternyata itu hanyalah halusinasinya ternyata.
Jika sedang bersama dengan Shopia, sebenarnya dia merasa seperti Beauty And The Beast, si Cantik dengan makhluk jelek di sampingnya. Beberapa pasang mata karyawan Gunung Kapur yang kebetulan berpapasan dengan mereka sempat menyiksa pemuda itu dengan mata jijik. Mungkin menurut mereka Arjuno dan Shopia adalah pasangan super absurd yang pernah ada.
Setelah tidak ada lagi hal menarik yang bisa dilakukan di sana, Shopia mengajak berpindah ke Gunung Panjang, berlokasi bearada di sebelah Utara dan lebih alami. Sesuai dengan namanya, bentuk gunung ini memanjang. Di sini juga ada sumber air panas berbau belerang. Sebenarnya di sebelah timur ada Gunung Peyek yang tiba-tiba viral gara-gara diposting di i********:. Di sana pun ada sumber air panas yang keluar, walaupun tidak sebanyak di Gunung Kapur. Gunung Peyek menjadi gunung yang paling pendek dari kedua gunung tersebut. Memang sebutan ‘gunung’ untuk ketiga tempat itu tidaklah pantas karena memang lebih pantas dengan sebutan bukit.
Mereka menikmati sore yang luar biasa di gunung yang memanjang dan membelah itu, nampak di bagian tengah air belerang itu keluar dari perut gunung. Arjuno dan Shopia menatap langit sore yang hampir dipeluk senja. Angin berulang kali mencumbui wajah gadis di samping pemuda itu, sehingga membuat wajahnya terlihat begitu indah. Rasanya ingin sekali Arjuno menampar angin yang sudah berani menyentuh wajah pujaannya itu.
Tidak jauh dari tempat Shopia duduk, terlihat beberapa bunga ilalang berwarna kuning yang sedang menari. Bunga itu sangat berjasa sebagai pemberi pesan dan rasa hati Arjuno, ilalang itu selalu diberikan ke Shopia untuk menyambut pagi dan sorenya di pabrik roti. Pemuda itu berdoa dalam hatinya semoga hari tidak cepat berakhir, mudah-mudahan siang kali ini lebih panjang dari biasanya. Dia tidak keberatan jika khusus hari ini satu jam menjadi tiga ratus enam puluh menit, jika ternyata lebih dari itu dia lebih tidak keberatan.
“Sudah setengah enam, Jun. Kita pulang yuk,” katanya setelah melihat jam tangannya. Apa yang diucapkan oleh Shopia tadi telah membuyarkan semua doa yang baru saja Arjuno panjatkan. Ternyata sore masih saja seperti seperti hari-hari yang lalu, tidak ada penambahan menit apalagi jam. Pemuda itu menggerutu dalam hatinya.
“Ayo, Phia.” Suara pemuda itu pelan, sepertinya dia meredam rasa kecewa dalam hatinya. Mereka beranjak, Shopia mulai menuruni bukit dengan hati-hati. Arjuno mengikuti langkahnya di belakang. Uluran tangan pemuda itu untuk membantu turun ditolak dengan sebuah gelengan kepala. Arjuno mendengus pelan, aku hanya khawatir kamu jatuh, Sayang. Karena jatuh dari bukit pasti tidak akan seindah jatuh hati.
Akhirnya mereka berhasil turun dari bukit dengan selamat, tanpa ada adegan jatuh terpeleset dan berguling-guling. Jika dibandingkan antara naik dan turun, lebih sulit turun dari bukit itu karena pijakan yang ala kadarnya.
Shopia tiba-tiba meraih dan menarik tangan Arjuno, dia mengajak pulang lewat pematang sawah, bukan jalan yang biasa dilalui manusia pada umumnya. Pemuda itu mengernyitkan dahinya dan bertanya-tanya dalam hatinya, Mengapa tidak lewat jalan biasa saja, Phia?
Jalan pematang sawah itu tidak datar saja, ada beberapa bagian yang menanjak. Pemuda itu berpikir pasti Shopia akan untuk melewatinya, dia memutuskan untuk jalan terlebih dahulu, tujuannya supaya dia bisa mengulurkan tangan untuk menolong pujaannya. Kali ini uluran tangan Arjuno tidak ditolaknya seperti tadi di atas bukit.
Bulir-bulir keringat mulai lancang membasahi dahi gadis bermata sendu itu, sepertinya trek yang dipilihnya lumayan membuat peluh. Arjuno berhenti sebentar, dia mengusap keringat yang mulai membasahi dahi gadis pujaannya dengan tangan kanan. Shopia diam saja beberapa saat, dia seperti menikmati momen itu. Mengapa tebersit di pikiran pemuda itu jika Shopia seolah-olah menunggu Arjuno untuk ... astaghfirullahaladzim, hampir saja tumbuh dua tanduk di kepala pemuda itu.
“Yuk kita pulang, sudah mau Magrib, Phia.” Arjuno menarik tangan gadis di depannya, kalimatnya otomatis membuyarkan suasana yang hampir saja mengundang kehadiran makhluk durjana hadir. Shopia terdiam sejenak dengan suasana yang tiba-tiba ambyar itu, akhirnya dia pun mengikuti tarikan tangan pemuda itu.
Jalan pematang sawah itu sebenarnya adalah jalan pintas menuju jalan raya, Arjuno pernah melewatinya sesekali. Hanya saja sejak berstatus sebagai sales malam di pabrik roti dia tidak melewatinya lagi. Pemuda itu baru teringat kalau lewat jalan pintas itu berarti mereka akan melewati samping rumah yang memelihara anjing, makhluk berkaki empat itu galak sekali. Anjing menggonggong Arjuno dan Shopia tetap berlalu.
Shopia berjalan dengan setengah berlari gara-gara gonggongan binatang penjaga itu. Sebuah tertawa menghiasi bibirnya saat langkah mereka sudah menjauh dari sana. Ya Allah, ciptaan-Mu sangat indah.
Ternyata ada sapu tangan berwarna merah di saku celana jeans Arjuno, Dia memberikannya kepada Shopia untuk sekadar menyeka keringat, bulir-bulir peluh itu mulai membanjiri dahinya. Ya Allah, mengapa waktu cepat sekali berlalu hari ini?