7. Tanpa Belas Kasih

1700 Kata
“Ustadzah, ternyata Anda di sini?” Suara Reyhan yang tiba-tiba cukup mengejutkan Zohrah. Begitupun dengan Alex dan Nessa yang sedang berpelukan sambil tertawa-tawa kecil. Keduanya segera melepas pelukan itu dan menoleh ke tempat Zohrah dan juga Reyhan berdiri. “Reyhan! Ada apa?” tanya Zohrah menjadi gugup. Malu juga karena Alex dan Nessa jadi tahu kalau dirinya sedang melihat mereka. Zohrah kemudian segera berjalan meninggalkan tempat itu. “Lho, kok pergi lagi sih?” protes Reyhan bergegas menyusulnya. Zohrah sudah beberapa langkah berjalan di depan. “Kenapa? Ada apa, Ustadzah? Apa tadi Anda ada masalah dengan Alex? Anda ingin bicara padanya? Katakan saja. Mungkin saya bisa membantu,” ucap Reyhan sambil jalan beriringan. “Tidak ada masalah. Tadi saya cuma mau cari buku di perpustakaan. Tapi karena ada yang sedang berbicara serius, saya tunggu sebentar di situ,” jelas Zohrah terpaksa berbohong. Sebenarnya di saat seperti ini dia ingin sendiri. Menyendiri di sebuah ruangan yang sepi untuk menenangkan diri. Mencerna sebuah peristiwa yang baru saja dia dengar dan dia lihat. Namun itu, rasanya mustahil. Zohrah tidak sanggup untuk mengusir Reyhan. “Oh begitu,” sahut Reyhan serius. Reyhan kemudian mengambil posisi di depan Zohrah sambil berjalan mundur. “Apa Ustadzah masih ada tugas?” tanya Reyhan sambil memperhatikan gurunya yang berjalan agak menunduk. “Tidak. Ada apa Reyhan?” tanya Zohrah. “Kalau begitu, kita pulang sama-sama saja, Ustadzah. Saya juga mau pulang.” Reyhan tersenyum menatap gurunya itu. “Apa Ustadzah membawa kendaraan ke sini?” tanya Reyhan lagi. Zohrah tersenyum seraya menggelengkan kepala. “Tadi bawa motor. Tapi tadi bannya bocor di jalan sewaktu berangkat kemari.” “Wah, kebetulan sekali. Kalau saya siap jadi sopir Ustadzah hari ini dan seterusnya sampai motor selesai diperbaiki,” sahut Reyhan semangat. “Terima kasih. Saya akan naik taksi saja,” tolak Zohrah dengan senyuman lembutnya. “Kenapa Ustadzah? Takut menimbulkan ftinah, ya?” tanya Reyhan masih berjalan dengan mundur menatap ustadzahnya itu. “Jangan cemas. Saya sudah mengantisipasinya. Saya akan mengajak Bima juga. Jadi aman, ‘kan?” Reyhan tersenyum penuh keyakinan. “Maaf, itu juga tidak boleh. Kalian berdua laki-laki semua,” jelas Zohrah hanya sekilas melihat Reyhan lalu tetap fokus pada jalannya. “Oh iya ya. Saya akan ajak kak Meta. Saya lihat tadi dia juga belum pulang. Kita ajak dia juga. Tadi dia juga sedang sibuk cari tumpangan,” jelas Reyhan belum mau menyerah. Dia sangat paham gadis seperti Zohrah memang sangat menjaga diri dan pergaulannya. Bagi sebagian orang, duduk dalam satu mobil berdua saja bukanlah masalah. Tapi bagi gadis yang sangat memegang teguh ajaran agamanya itu adalah sebuah masalah besar. Zohrah berhenti dan menatap Reyhan serius. “Terima kasih. Tidak usah repot-repot. Saya akan naik taksi saja. Kalau kamu mau menolong kak Meta silakan. Tapi maaf, saya tidak bisa ikut dengan kamu Reyhan.” “Lihatlah, Ustadzah. Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan. Mendungnya sangat gelap. Anginnya juga cukup kencang. Sepertinya hujan akan turun cukup deras. Akan lebih baik Ustadzah pulang bersama kami,” jelas Reyhan lagi. “Sekali lagi saya minta maaf, Reyhan. Saya akan naik taksi saja,” jawab Zohrah seraya menyatukan kedua tangannya. “Apa kamu tidak punya malu? terus memaksa wanita yang sudah menolak menumpang mobilmu.” Suara Alex dengan nada dingin dan sinis di belakang Zohrah. Zohrah melihat wajah Reyhan berubah agak kemerahan karena malu. Kemudian dengan cepat dia segera membalikkan badan. “Tolong jaga ucapan Anda tuan Alex. Apa merendahkan dan mencampuri urusan orang lain adalah salah satu hobi Anda?” Tatap Zohrah tajam. “ Rahang wajah Alex tampak jelas terlihat. Ia merasa tersinggung dan marah dengan lontaran pertanya daro istri rahasianya itu. Dengan cepat dia menyambar pergelangan tangan Nessa dan menariknya turun dari teras. “Alex, jangan terlalu kencang. Pergelangan tanganku sakit,” keluh Nessa saat mengikuti tarikan tangan Alex. Alex tidak peduli. Ia melepasnya setelah mengantar Nessa sampai di dekat pintu mobil. Zohrah tanpa sadar menggelengkan kepala melihat itu. “Kadang Alex memang suka bersikap kasar dan terkesan tidak punya perasaan seperti itu. Ustadzah jangan masukin hati ya,” tutur Reyhan. Zohrah segera melihat kembali Reyhan. “Kamu yang dia hina. Kenapa kamu malah menghiburku?” Zohrah turun dari teras. Reyhan mengikutinya. “Bukan begitu Ustadzah. Saya hanya cemas. Anda mungkin tidak pernah mendengar perkataan kasar seperti itu,” jelas Reyhan. “Seingat saya, memang belum pernah mendengar ucapan sekasar itu,” jawab Zohrah. “Tapi saya sudah terbiasa bersabar menghadapi murid yang nakal. Jadi sepertinya itu kurang lebih sama,” jawab Zohrah. “Anginnya sangat kencang sekali. Lebih saya antar Anda saja.” Reyhan mencoba menawarkan jasa sekali lagi. Zohrah tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Terima kasih. Maaf, saya tetap akan naik taksi saja.” “Baiklah. Tolong hati-hati Ustadzah. Saya akan pulang lebih dulu,” pamit Reyhan. “Terima kasih. Silakan,” ucap Zohrah tersenyum. Reyhan kemudian meninggalkan Zohrah menuju ke mobilnya. “Bima! Yuk, kita pulang.” Reyhan melempar kunci pada Bima yang duduk di tangga teras bersama temannya. Sementara itu, Zohrah berjalan menuju pintu gerbang sambil memegangi bagian bawah bajunya yang berkibar diterpa angin cukup kencang. Tak lama kemudian mobil Reyhan lewat dan menyapanya dengan membunyikan klakson. Zohrah melihatnya seraya mengangguk saja. Gerimis mulai turun. Untuk sesaat Zohrah menjadi agak panik. Dia bingung. Harus kembali ke madrasah untuk berteduh lebih dulu atau tetap berjalan keluar pintu gerbang. Saat melihat ke belakang, dia berpikir hasilnya akan tetap sama. Dirinya akan tetap kehujanan juga. Zohrah pun memilih untuk tetap berjalan keluar. Sayang sekali, taksi yang tadi terlihat mangkal di depan sudah tidak ada lagi. Akhirnya hanya dia hanya berdiri di pinggir jalan pasrah diguyur hujan yang mulai turun dengan deras. Saat tangannya sibuk merogoh ponsel untuk memanggil taksi online di dalam tas, dilihatnya, mobil Alex keluar dari pintu gerbang masjid dan madrasah. Tidak sadar matanya bergerak mengikuti arah mobil itu bergerak. Seakan seperti sedang membuat Zohrah kesal, dia melintas di depan Zohrah dengan sangat pelan. Sementara jendela kacanya setengah terbuka. Zohrah dapat melihat dengan jelas Alex dan Nessa melihat ke arah dirinya tanpa belas kasih. Tak malu atau berkecil hati. Zohrah sengaja membalas tatapan suami tak berperasaan itu. Sedikit saja dia tidak mau terlihat sedih atau kecewa. Sebaliknya, Zohrah ingin menunjukkan ketegarannya. *** Saat Zohrah tiba di rumah, hari sudah malam. Bajunya masih basah. Walau sudah tidak ada air yang menetes. Ketika sampai di depan kamar, sengaja dia ketuk pintu dulu sebelum membukanya sendiri. “Assalamualaikum,” ucapnya begitu membuka pintu dan masuk ke dalam. Alex tak membalasnya. Padahal dia sedang duduk di sofa berbicara dengan seseorang di telpon. Zohrah melihat suaminya hanya melihatnya sebentar lalu kembali fokus dengan penelponnya itu. Alex terlihat sudah rapi dengan baju hangat lengan panjang. Tampak tampan dan modis meski hanya mengenakan pakaian kasual. Zohrah membayangkan betapa sudah nyaman badan Alex sekarang. Tidak seperti dirinya yang masih dan kedinginan. Setelah menaruh tas di meja, Zohrah segera pergi ke kamar mandi dan mengguyur dirinya dengan air hangat. Namun, dia tidak bisa berlama-lama memanjakan badannya itu. Karena belum menunaikan salat maghrib. Setelah merasa bersih dan rasa dinginnya hilang, Zohrah pun segera mengakhiri aktivitas mandinya. Selesai mengerjakan salat, Zohrah memegangi perutnya yang terasa lapar. Tubuhnya juga kembali merasa agak kedinginan. Ingin sekali dia menyantap mi rebus dan teh hangat. Tapi dia masih malu untuk pergi ke dapur. Apalagi sekarang baru jam tujuh malam. Mungkin sebentar lagi akan ada makan malam bersama. Karena Alex masih menempati sofa. Zohrah memutuskan untuk merebahkan diri di ranjang saja dan membenamkan diri dalam kehangatan selimut. Mungkin rasa lapar dan dinginnya akan berkurang. Namun, baru beberapa menit dia menikmati itu, ponselnya berdering. Dengan malas dan berat hati Zohrah bangun dan turun dari ranjang. “Assalamualaikum... Halo,” sapa Zohrah pada penelpon yang tidak diketahui namanya itu. “Waalaikumsalam, Ustadzah. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Prasetyo. Saya sutradara Alex dan teman-temannya,” balas mas Tio. “Apa kabar Mas? Apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya Zohrah. “Sebelumnya saya ingin mengucap pada Ustadzah telah bersedia mendidik anak-anak saya yang sudah hampir uzur itu tapi belum bisa mengaji,” ucap mas Tio diselipi canda itu bermajas hiperbola. “Hehe... Mas ini bisa saja. Masak uzur sih?” Zohrah tak kuat menahan tawa. Sementara kedua matanya menyempatkan diri melirik Alex yang ternyata juga sedang memperhatikannya dengan mata menyipit serta alis ditekuk. Sementara kedua tangan menyilang di dadda. “Begini, Ustdzah. Saya meminta perhatian khusus pada Alex. Tolong, Ustadzah memberikan perhatian lebih pada anak saya satu itu. Saya baru dapat informasi tadi, katanya dia belum tahu huruf hijaiyah. Saya mohon, Anda menambah jam pelajarannya. Saya janji, saya akan memberikan jasa sepantasnya untuk Ustadzah,” ucap mas Tio. “Tidak perlu begitu, Mas. Saya lillahi ta’ala, kok. InsyaAllah saya laksanakan perintah Anda secepatnya. Anda jangan khawatir,” tegas Zohrah. “Baiklah kalau begitu. Saya pamit dulu Ustadzah. Maaf telah menganggu istirahat Anda. Selamat malam. Assalamualaikum,” pamit mas Tio. “Waalaikumsalam,” jawab Zohrah. Setelah membalas salam itu, Zohrah meletakkan ponselnya ke meja lagi. Kemudian dia buka tasnya tadi dan mengambil sebuah tablet. Setelah itu dia berjalan mendekati Alex dan duduk di sampingnya. Zohrah meletakkan tablet itu di meja setelah membuka dan menyiapkan sebuah aplikasi belajar membaca Al Quran. “Alex. Kita belajar dulu ya. Sebentar saja hanya tiga puluh menit saja. Bagaimana?” tanya Zohrah. “Aku lelah sekali. Aku mau tidur,” sahut Alex segera berdiri. “Tapi ini perintah mas Tio. Kamu memang harus belajar lebih keras dibandingkan teman-temanmu yang lain. Ini tidak lama Alex. Mungkin hanya butuh satu atau dua hari saja kamu untuk menghafalnya. Jangan merasa berat. Aku yakin kamu akan segera bisa,” jelas Zohrah. Tio lagi. Dalam hati Alex ingin sekali menyumpahi sutradaranya itu. Rupanya orang yang baru menelponnya tadi adalah mas Tio. Alex duduk kembali. Zohrah tersenyum lega. “Mulailah,” ucap Alex dingin. “Baik,” balas Zorah lalu mengambil tablet itu dan memeganginya di depan Alex. Lalu kembali Zohrah membaca dan menunjuk huruf hijaiyah dengan pelan dan meminta Alex mengikutinya. Namun karena merasa dingin dan lapar sekali, jemari tangannya yang sedang memegang pena menunjuk huruf itu sesekali terlihat gemetar. Zohrah sudah berusaha untuk tidak gemetar dengan memegang pena itu kuat-kuat. Namun rasa gemetar itu makin sulit dikendalikan. Zohrah sangat terkejut ketika tiba-tiba Alex menangkap tangannya dan memegangnya erat. Untuk sesaat keduanya saling berpandangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN