6. Terluka

1162 Kata
Zohrah berusaha menguasai diri dengan tersenyum. “Tidak apa-apa. Di madrasah Darussalam ini kita belajar bersama-sama. Banyak orang dewasa baru belajar membaca Al Quran.” Padahal di dalam hatinya begitu terguncang bagai dilanda gempa tremor saja. Bagaimana tidak. Suaminya bukan hanya tidak bisa ilmu agama. Tapi bahkan huruf hijaiyah saja tidak hafal. Di tempatnya anak berusia satu setengah tahun saja ada yang sudah sangat hafal huruf-huruf itu. Ya, kalau bicara makhraj, tentu belum sepenuhnya benar. Karena anak seumuran itu biasanya masih cadel. “Alex, benarkah kamu benar-benar tidak tau huruf hijaiyah?” tanya Nessa. Alex mengabaikan pertanyaan Nessa. Dia masih sibuk dengan game di ponselnya. “Huruf hijaiyah itu contohnya alif, ba, ta, tsa dan seterusnya. Kamu ingat?” tanya Nessa. “Tidak,” jawab Alex singkat tapi menatap Nessa dengan tatapan tidak suka. Melihat itu, Nessa segera sadar. Dia pun tidak memilih diam. “Ya sudah. Tidak ada kata terlambat bagi siapa pun bagi yang mau belajar,” ucap Zohrah, lalu berjalan ke papan tulis. Lalu dengan cepat dia menulis huruf-huruf hijaiyah sampai selesai. Zohrah membalikkan badan menghadap ke arah murid-muridnya. “Reyhan, tolong kamu baca huruf hijaiyah ini satu persatu dengan benar.” “Ke depan atau di sini, Ustadzah?” tanya Reyhan. “Terserah. Maju boleh. Di situ saja juga boleh. Saya akan bantu tunjuk huruf-hurufnya,” jawab Zohrah. “Maju! Maju! Maju!” Suara murid-murid lain kompak memberi dorongan semangat pada Reyhan. “Maju Reyhan. Gitu aja malu. Jangan malu-maluin kaum Adam dong!” ucap Bima. Melihat keriuhan itu Zohrah hanya menggelengkan kepala saja. Reyhan akhirnya memilih maju ke depan. Sorak-sorai riuh pun tak terhindarkan. “Silakan, dibaca,” perintah Zohrah seraya memberikan tongkatnya pada Reyhan. “Terima kasih, Ustadzah,” ucap Reyhan sambil terus menatap Zohrah. Sementara tangannya mengambil tongkat itu dari tangan Zohrah. Zohrah menjadi gugup juga. Sementara Reyhan ternyata tak kunjung mengambil tongkatnya. Malah berlama-lama menatap Zohrah. Murid-murid yang lain semakin riuh memberi dukungan. “Halalin... Halalin... Halalin... “ suara murid-murid kompak. Zohrah merasa semakin tidak nyaman. Apalagi tanpa sengaja dia melihat ternyata Alex juga memperhatikannya dengan tatapan tidak senang. “Reyhan, bagaimana? Kamu jadi baca nggak?” tanya Zohrah dengan pipi semu kemerahan. “Oh iya. Ja--- Jadi, Ustadzah,” ucap Reyhan segera mengambil tongkatnya lalu menjauh dari Zohrah sekitar dua langkah saja. Selanjutnya satu persatu dia baca huruf hijaiyah yang tertulis di papan tulis sampai selesai. “Bagus,” puji Zohrah begitu sambil mengacungkan jempolnya. “Terima kasih.” Reyhan kemudian kembali lagi ke mejanya. “Baiklah. Sekarang saya minta kalian semua perhatikan baik-baik ya. Huruf hijaiyah ini tidak boleh dibaca asal bunyi saja. Karena salah pengucapan bisa mengubah artinya,” jelas Zohrah sesekali mengarahkan pandangan pada murid-muridnya. “Saya yakin sebagian besar kalian sudah hafal dengan huruf hijaiyah. Namun, makhrajnya saja yang belum sepenuhnya benar. Nah, sekarang kalian ikuti saya ya.” Zohrah mengarahkan tongkat penunjuknya ke huruf-huruf hijaiyah yang telah dia tulis tadi. “Alif, ba', ta', tsa', jim, kha', kho', dal, dzal, ra', za', sin, syin, shod, dhod, tho'.... “ Zohrah membacanya sampai huruf terakhir. Dia juga mengulangi sampai beberapa kali. Menjelaskan di mana tempat-tempat huruf hijaiyah itu keluar saat pengucapan atau biasa disebut makhraj. *** Pelajaran telah usai. Zohrah masih mencemaskan Alex. Selesai salat Ashar berjamaah di masjid, dia lihat mobil Alex masih ada di depan madrasah seperti tadi. Sambil mengalungkan tasnya, Zohrah berjalan mencarinya di sekitar halaman masjid dan juga madrasah. Namun sayang, Alex tidak terlihat. “Hmm, ke mana dia?” tanya Zohrah masih sambil melihat ke sana kemari. “Apa kira-kira dia mencariku ke kantor?” tanyanya lagi. Zohrah kemudian bergegas ke kantor. Dalam hati dia merasa sedikit GR. Mungkin Alex ingin mencari dirinya dan mengajak pulang bersama. Mungkin dia ingat jika tadi dirinya datang ke sini dengan naik taksi. Sekarang dia dirinya pulang bersama sekalian. Saat berjalan di teras dekat ruangan guru, Zohrah tak sengaja melihat Alex sedang berdiri berhadapan dengan Nessa di sebuah lorong depan ruang perpustakaan. Tangan Alex terlihat sedang memegang HP. Zohrah yakin Alex sedang melakukan video call seseorang. Zohrah merasa penasaran. Kemudian dia berdiri di balik tembok. “Ayolah, mas. Aku merasa kesulitan untuk mempelajarinya. Aku tidak sanggup jika belajar huruf arab itu. Ganti saja suaraku saat mengaji dengan suara lain. Gampang, ‘kan!” ucap Alex pada sutradaranya. “Gampang kepalamu itu. Tidak bisa! Bos besar minta semuanya asli dan sempurna. Kamu jangan asal minta ganti-ganti aja. Anak TK aja bisa. Masak kamu tidak? Jangan cepat menyerah,” tutur sang sutradara. Suaranya terdengar agak kesal. “Baiklah. Kalau begitu aku keluar dari film ini saja,” ucap Alex terkesan mengancam. “Keluar katamu!” Suara sutradara terdengar mulai emosi. “Iya, mas Yon. Aku akan keluar saja,” tegas Alex. “Hahaha.... Kemarin sebelum menandatangani kontrak apa tidak baca semua poin-poin yang tertulis?” tanya sutradara Yon. “Tidak. Aku percayakan semuanya pada manajerku. Aku hanya perlu tahu nilai kontrakku saja,” sahut Alex santai. “Sangat pongah terkesan pintar tapi sebetulnya kamu itu bo doh Alex,” pikir Zohrah yang masih menyimak percakapan itu. “Alex... Alex.... Lain kali kalau kamu mau menandatangani kontrak baca semua isinya dengan baik. Jadi kamu nggak asal bilang keluar,” tutur sutradara. “Memangnya kenapa, mas Yon? Itu adalah hakku. Siapa pun tidak bisa melarang?” tanya Alex dengan angkuh. “Ya, silakan saja. Asal kamu mau memberikan ganti rugi sepuluh kali lipat dari nilai kontrakmu di film ini,” sahut mas Yon. “Sepuluh kali lipat? Yang benar saja. Itu namanya pemerasan,” protes Alex terkejut. “Bukan pemerasan. Kamu telah menyetujuinya. Sekarang terserah kamu, Lex. Aku hanya mengingatkanmu saja. Produser sangat tahu watak aktor papan atas seperti kalian. Kami hanya berjaga-jaga saja,” jelas mas Yon. Lalu memutus panggilan Alex. Alex tampak kesal. “Sial! Bagaimana bisa Opi bertindak seceroboh ini? Sekarang aku tidak bisa menekan mereka. Justru mereka yang telah menekanku.” Nessa tiba-tiba memeluk Alex. “Tenanglah, Lex. Aku akan membantumu. Kita setiap hari akan belajar bersama. Kamu jangan takut. Setiap ramadhan aku selalu khatam tiga puluh juz baca Al Quran. Belajar huruf hijaiyah tidak sesulit yang kamu bayangkan. Kita hanya butuh biasakan diri membacanya. Nanti lama-lama akan lancar juga.” “Masalah aku juga merasa muak belajar di sini, Nes. Rasanya aku tak tahan belajar di kelas itu,” sahut Alex mendorong badan Nessa pelan untuk melepaskan pelukan gadis itu. Tapi saat kaki Nessa akan menjauh, tanpa sengaja justru tersandung kaki Alex. Nessa terhuyung ke belakang. “Nessa, awas!” Alex segera menangkap tangannya lalu menariknya kembali ke dalam pelukan Alex. Sesaat keduanya terengah melepas ketegangan. Lalu secara kompak saling menatap dan tertawa bersama. “Kamu tahu nggak tadi itu artinya apa?” tanya Nessa menatap manja. “Tidak. Apa artinya?” tanya Alex. “Artinya kamu tidak boleh melepaskan aku dari pelukanmu,” jawab Nessa. “Ehmm, masak sih?” tanya Alex tidak yakin. Nessa sedikit mengerucutkan bibirnya. Lalu mempererat pelukannya lagi. Mereka tidak tahu. Di balik tembok ada sepasang mata indah yang menatap dengan perasaan terluka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN