Pagi Suram

1754 Kata
Suara telepon yang tergesa memecah ketenangan pagi hari. Di ruang kerja yang biasanya hanya diisi denting jam dinding dan bunyi kertas disusun rapi, nada panggilan itu terdengar seperti tanda bahaya. Jeremi, yang sedang menata dokumen di meja besar, menoleh spontan ke arah sumber suara. Ponsel di meja bergetar tanpa henti. “Tuan Rox,” panggil Jeremi. Rox yang duduk di kursi kulit menegakkan tubuh. “Ya?” jawabnya tanpa menoleh. Namun ketika melihat nama yang terpampang di layar, sorot matanya berubah. “Halo Elizah. Kenapa kamu menelponku?” Jeremi berhenti menulis. Ada nada panik dalam suara Rox. “Elizah, ulangi pelan-pelan,” suara Rox meninggi, tapi bergetar di ujung kalimat. “Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini lebih tegas. “Tony... dia rut.” Hening sejenak. Hanya terdengar napas tersengal di ujung sambungan. Air wajah Jeremi berubah pucat, tubuhnya menegang seolah baru menerima hantaman keras. Ia tanpa menunggu perintah dengan cepat ia berlari keluar ruangan. Detik berikutnya, Rox bangkit dari kursinya, menarik jaket dengan gerakan kasar, dan meninggalkan kantor tanpa sepatah kata pun. Membuat orang-orang yang melihat mereka kebingungan. Pagi yang tenang berubah jadi badai. Di lorong gedung, langkah mereka beradu dengan suara alarm lift dan sapaan karyawan yang belum sempat mengerti apa yang terjadi. Di luar, angin dingin menggigit membuat tangan Jeremi bergetar, panik. “Sini aku saja yang mengemudi,” Rox menyambar kunci mobil. Mau tidak mau Jeremi berlari ke seberang kursi penumpang. Mereka melaju dengan kecepatan di atas nalar. Di sisi lain kota, di kantor cabang pusat, layar komputer Josephine menampilkan grafik merah menyala. Angka-angka merosot seperti darah yang menetes pelan dari luka tak terlihat. Ruangannya sunyi kecuali suara mesin pendingin dan klik mouse yang tak berhenti. “Laporan divisi pengembangan belum selesai, dan sekarang kamu bilang investor menarik dana?” suaranya berat, nyaris meledak. Asisten di sebelahnya menunduk, menelan ludah sebelum menjawab, “Ya, Direktur. Mereka... mereka bilang, terlalu banyak campur tangan eksternal.” Josephine menatap grafik itu lama. Dalam warna merah itu, ia bisa melihat namanya perlahan ditarik ke jurang. Ia tahu siapa yang dimaksud ‘campur tangan eksternal’. Para penentang. Mereka yang sejak awal menganggap posisinya tak pantas ditempati seorang Omega. Di balik punggungnya, Hyun berdiri di dekat jendela besar. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai marmer, tenang seperti seseorang yang sudah terbiasa menonton dunia terbakar. Tatapannya keluar — pada langit mendung yang seolah ikut meredam suasana. “Sepertinya luka anda sudah membaik,” ucapnya pelan, seperti peringatan lembut tapi menusuk. Josephine memutar kursi, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Kamu bicara seperti bukan dokter, Hyun.” “Saat ini saya memposisikan diri lebih dari itu,” jawabnya lembut. “Saya adalah orang yang ingin memastikan anda tidak terbunuh di dalam perang ini.” Ucapan itu menggantung lama. Hening di antara mereka seperti tali tipis yang bisa putus kapan saja. Josephine berdiri, melangkah pelan mendekatinya. Setiap langkah terdengar jelas, terukur, membawa udara tegang bersamanya. “Aku tahu apa yang mereka rencanakan,” katanya perlahan, suaranya bergetar tapi tegas. “Tapi aku tak akan bersembunyi. Aku tidak seperti Ayah.” Hyun tersenyum samar, bukan senyum lembut seorang dokter, tapi lebih mirip pengamat yang baru menemukan sesuatu yang menarik. “Julien mungkin takut pada kekuasaan, tapi anda... saya tahu anda menikmatinya.” Josephine mengangkat dagu, menatap lurus. “Bukan kekuasaan,” katanya. “Kendali.” Kata itu seperti mantra. Menggantung di udara dingin, membuat Hyun menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang berubah di sana — dalam cara Josephine bicara, berdiri, bahkan bernapas. Ia bukan lagi perempuan yang berjuang bertahan. Ia sudah menjadi seseorang yang siap menantang badai. Hyun membalas dengan senyum nyaris tak terlihat. “Lalu kendali macam apa yang anda pertaruhkan hari ini sampai tidak mengunjungi saya?” tanyanya. Josephine tidak menjawab. Ia hanya berbalik, kembali ke meja kerja, dan mengaktifkan layar besar di dinding. Data investor yang menurun, daftar karyawan yang mulai gelisah, pesan anonim berisi ancaman — semuanya terpampang jelas. Ketika Hyun mendekat, ia bisa merasakan hawa tegang yang menebal di sekitar Josephine. Bukan karena ketakutan, tapi karena semangat yang berbahaya. Terdapat dorongan untuk tetap tegak meski seluruh sistem ingin menjatuhkannya. “Apa anda tidak takut?” bisik Hyun nyaris tidak terdengar. Josephine menatap layar, suaranya datar. “Takut? Aku sudah terlalu lama hidup dengan rasa itu. Sekarang aku hanya menghitung berapa banyak yang bisa kuselamatkan sebelum semuanya runtuh.” Hening kembali menelan mereka. Di luar, langit mulai gelap meski masih pagi. Sementara itu, di jalan raya, sirene mobil Rox menggema. Ia menekan gas hingga jarum speedometer hampir menyentuh batas. Setiap lampu merah diterobos, setiap klakson dibalas dengan dentingan roda yang meraung. Ia hanya berpikir satu hal yaitu Tony. Anak itu dalam keadaan rut — berarti bahaya. Di rumah sakit, Jeremi langsung masuk lebih dulu tanpa menunggu di koridor, ia menemui dua perawat yang tampak gelisah. Wajahnya kaku, tetapi matanya menyiratkan kepanikan yang dalam. Ketika Rox muncul, mereka hanya bertukar pandang — tanpa kata, tanpa waktu. Namun, tubuh mereka tergerak untuk saling menumpahkan perasaan. Di kantor, Josephine masih menatap layar yang penuh laporan. Cahaya dari monitor memantul di matanya, memunculkan sorot tajam di antara rasa lelah. Di belakangnya, Hyun masih berdiri diam, memperhatikannya tanpa suara. Ia tahu hari itu baru dimulai, tapi kekacauan sudah merambat dari setiap sisi — keluarga, bisnis, dan hati manusia yang berusaha tetap waras di tengahnya. Dan di antara semua itu, dua hal yang paling berbahaya sudah saling berhadapan: kekuasaan dan kasih sayang. Suara langkah kecil berlari memecah kesunyian ruang kerja yang tegang. Dari balik pintu kaca yang masih terbuka, muncul sosok muda berambut gelap dengan wajah panik — Elizah. Nafasnya tersengal, seolah menempuh tangga sepuluh lantai tanpa henti. “Kak Josephine! Kakak!” serunya dengan nada setengah menangis. Josephine menoleh cepat. Helaan nafasnya tertahan di tenggorokan. “Hei, ada apa kamu kok bisa ke sini?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski jantungnya sudah memukul keras di d**a. “Di mana Paman Rox dan Paman Jeremi?” “Mereka akan berangkat ke luar negeri,” jawab Josephine, matanya menyipit karena curiga akan maksud kedatangan adiknya itu. “Ah pantas saja gak bisa ngehubungi Paman Jeremi.” Elizah memegangi dadanya, masih berusaha mengatur napas. “Tadi aku menelpon Paman Rox kalau Tony sedang rut, sekarang dia di rumah sakit kita.” Untuk sesaat dunia berhenti berputar. Josephine memejamkan mata sejenak, menekan pelipisnya dengan dua jari. “Sial... semuanya berantakan hari ini.” Hyun yang sejak tadi berdiri di sisi meja segera mendekat, langkahnya mantap tapi lembut. Ia menyentuh bahu Josephine, menyalurkan kehangatan yang menenangkan — tapi juga menuntut. “Biar saya yang kirim tim medis. Nona Elizah tetap di sini. Kita masih punya krisis yang lebih besar.” Nada suaranya tenang, namun ada lapisan tegas yang tak bisa dibantah. Tapi Josephine bukan tipe yang bisa diam. Ia menepis pelan tangannya dan berkata, “Pamanku pasti membatalkan jadwalnya, dia pasti sudah sampai ke rumah sakit. Pastikan anak itu aman.” Hyun menatapnya tajam, pupil matanya menyempit seolah ingin memastikan setiap kata Josephine benar-benar berasal dari logika, bukan emosi. “Jangan cemas.” Ia ingin membalas, tapi tatapan Hyun — dingin, dalam, dan melindungi — membuatnya ragu. Ketika Elizah keluar dari ruangan untuk menelpon ulang rumah sakit, Josephine berdiri di depan jendela besar. Pandangannya menembus kaca, ke arah kota yang bergerak cepat — kendaraan, orang, dan semua rutinitas yang tidak tahu betapa mudahnya dunia seseorang bisa hancur hanya dalam hitungan menit. Ia teringat masa kecilnya. Dulu, setiap kali badai datang, Ayahnya — Julien — selalu memintanya duduk di dekat jendela dan menghitung suara petir. “Kendalikan ketakutanmu, Jo,” katanya waktu itu. “Kalau kamu tahu kapan kilat datang, kamu tidak akan takut lagi.” Kini, bertahun-tahun kemudian, kalimat itu terasa seperti ironi. Karena meski Josephine sudah belajar memprediksi segalanya — keuangan, politik perusahaan, bahkan pergerakan lawan — ia tetap tidak bisa mengendalikan satu hal yaitu rasa takut apabila Rox meninggalkannya. Hyun memperhatikannya dari jauh. Ada sesuatu di balik ketenangan Josephine yang membuatnya sulit berpaling — seperti seseorang yang terbakar perlahan tanpa menyadari dirinya mulai berasap. Ia mendekat lagi, dengan langkah yang hati-hati. “Anda tahu,” katanya pelan, “kadang pengendali terbaik pun tidak bisa menahan badai. Mereka hanya belajar menari di dalamnya.” Josephine menoleh, tersenyum kaku. “Apakah itu nasihat dari seorang dokter?” “Dari seseorang yang lelah melihat pasiennya menolak beristirahat,” balas Hyun, suaranya tenang tapi tajam. Josephine menahan tawa getir. “Kalau aku berhenti, semuanya runtuh.” Hyun tidak membantah. Ia hanya menghela napas panjang, lalu beralih menatap tumpukan laporan di meja. Tangannya yang besar tapi halus menyentuh berkas-berkas itu, membaca cepat, menilai dalam diam. Ia tahu banyak hal yang tidak bisa ia bantu. Tapi kalau Josephine jatuh — baik fisik maupun mental — seluruh struktur yang mereka bangun akan ambruk bersamanya. “Nona Josephine,” panggilnya, “Anda bukan ayah anda. Anda tidak ada keharusan membayar kesalahan yang bukan kesalahan dari diri Anda.” Kalimat itu menghantam Josephine seperti batu berat. Ia berpaling sepenuhnya menatap Hyun. “Kalau aku tidak membayar, siapa yang akan melakukannya?” suaranya rendah, hampir berbisik, tapi cukup untuk membuat ruangan itu terasa sesak. Hyun ingin menjawab, tapi pintu terbuka lagi. Elizah kembali masuk, membawa ponsel di tangan. “Kak, Paman Rox sudah di sana. Dia bilang Tony sudah distabilkan tapi masih belum sadar. Mereka minta keputusan apakah mau dilakukan terapi hormonal tambahan.” Josephine langsung mengambil ponsel itu. “Aku yang bicara.” Nada suaranya berubah — cepat, terukur, dan penuh kendali. Begitu ia mendengar suara di seberang ternyata ia sudah tahu. “Paman, stabilkan dulu. Jangan beri dosis tambahan sampai Tim medis Dokter Hyun lihat hasil pemeriksaannya. Saat ini mereka akan segera ke sana.” Dari seberang, suara Rox terdengar berat, lelah, tapi juga lega mendengar suara keponakannya yang tegas. “Baik. Aku tunggu.” Sambungan berakhir. Josephine menatap layar ponselnya lama, seolah mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ternyata saat di mana Pamannya memilih sudah tiba. Hyun kembali ke mejanya, menulis cepat di tablet medisnya. “Saya sudah siapkan data untuk tim di sana. Tapi, Nona Josephine, saya sangat serius. Anda perlu istirahat.” Josephine mendengus pelan. “Kalau semua orang bilang itu padaku, mungkin dunia ini akan kehabisan orang yang bekerja.” Hyun menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Atau mungkin dunia ini akan sedikit lebih waras kalau ada yang berhenti sejenak.” Josephine tidak membalas. Ia melangkah menuju rak besar di belakangnya, menarik satu map merah, dan menatap deretan formula yang belum sempat diselesaikan. Dalam pikirannya terdapat Rox, Jeremi, dan bahkan bayangan Papanya muncul berselang-seling. Semuanya terhubung, semuanya bergantung pada satu hal — keputusannya hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN